
“Di balik pintu rumah yang tampak tenang, ada luka yang tak pernah diberi nama—tertanam di antara percakapan yang terputus, senyum yang dipaksakan, dan kehangatan yang lama hilang. Luka itu tumbuh dalam diam, membentuk jarak tak kasatmata yang membuat rumah terasa asing, seolah dindingnya lebih paham rasa sakit daripada penghuninya sendiri.”
* Aku Rani, seorang ibu dari dua anak perempuan yang kini beranjak remaja. Dulu, saat pertama kali menggendong anak sulungku, aku berjanji akan menjadi ibu yang baik, sabar, dan adil. Kupikir itu mudah, sebab kasih sayang seorang ibu katanya tanpa batas. Tapi kenyataan berjalan di luar dugaanku.
Dalam rutinitas yang melelahkan, kesabaran sering kali menguap. Aku lebih cepat meninggikan suara daripada menurunkan ego. Ada masa ketika aku terlalu condong ke satu anak, tanpa sadar membuat yang lain merasa tak dianggap. Janji yang dulu suci kini terasa seperti pecahan kaca—aku yang memecahkannya, aku pula yang terluka karenanya.
Setiap kali menatap mata mereka, aku tahu luka itu bukan hanya di hatiku, tapi juga membekas di hati mereka.*
** Bom Yang Meledak di Rumah**
Pekerjaan kantor tak lagi memberi semangat. Setiap langkah menuju gedung ber-AC terasa berat. Aku kerjakan tugas seperlunya, lalu diam menunggu waktu pulang. Hanya di lapangan aku masih merasa berguna—setidaknya disana, orang-orang tulus meminta bantuanku, bukan memanfaatkanku.
Di tengah kebosanan itu, tanpa kusadari, sebuah bom mulai menghitung waktu di rumah.
Perubahan pada Hanin kuanggap hal wajar, fase remaja yang keras kepala. Hingga suatu pagi ia menolak bangun, mengaku sakit. Sebagai mantan perawat, aku tahu bedanya sakit sungguhan dan alasan. Tapi hari itu aku biarkan ia di rumah. Kukira esok akan membaik.
Ternyata tidak. Keesokan paginya Hanin tetap enggan berangkat sekolah.
“Bunda tahu Mbak tidak sakit,” kataku.
“Ada apa, Nak?”
Ia menunduk. “Mbak nggak mau sekolah,” ucapnya pelan.
“Kenapa? Ada masalah di sekolah?”
Ia menggeleng. Diamnya membuatku curiga, tapi aku biarkan.
“Baiklah. Tidak sekolah seminggu, tapi Bunda ingin tahu kenapa nanti.”
Aku berusaha mencari tahu lewat guru, berharap hanya masalah sepele. Tapi dua hari kemudian, panggilan datang dari sekolah. Aku dan suami duduk di ruang pertemuan bersama wali kelas, Pak Ikhsan, dan guru yang dekat dengan Hanin, Bu Yanti. Dengan hati-hati, Bu Yanti menjelaskan: Hanin menjadi korban bullying oleh adik kelasnya.
Aku terdiam. Suamiku meledak, menuntut nama pelaku dan orang tuanya. Namun, Pak Ikhsan menenangkan—pelaku sudah dipanggil dan dijatuhi sanksi, karena bukan hanya Hanin yang menjadi korban.
Aku tidak peduli lagi siapa pelakunya. Yang kupikirkan hanyalah satu hal: mengapa Hanin tidak bercerita padaku? Mengapa ia memilih menanggung sendiri?
Saat itu, aku merasa seperti ibu asing di matanya. Tidak dipercaya anak sendiri rasanya seperti ditikam diam-diam. Luka itu menganga.
**Cermin yang Retak**
Sejak hari itu, rumah terasa sepi walau ramai. Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri.
Selama 17 tahun, ke mana saja aku?
Kupikir aku telah menjalankan peranku dengan baik—membiayai sekolah, menuruti keinginannya ikut les dance, membeli apa pun yang diminta. Kukira itu cukup. Ternyata tidak.
Aku sadar, aku hanya hadir dalam bentuk uang, bukan jiwa.
Aku memenuhi segala kebutuhan mereka, bahkan yang tak diminta, tapi tak pernah sungguh hadir.
Aku marah ketika Hanin menolak mencuci piring, sementara Aisyah yang lebih rajin justru jarang kuberi pujian. Aku menegurnya demi kebaikan, agar ia mandiri. Tapi, kini aku ragu: apakah itu benar kebaikan, atau hanya pelampiasan lelahku sendiri?
Lalu aku mulai menyalahkan suamiku. Ia terlalu lembut pada anak-anak, selalu damai, tak pernah menegur. Kuota internet selalu tersedia, gawai dibiarkan tanpa batas. Hingga Hanin tenggelam dalam dunia game online, dan aku menyalahkannya karena tak hadir sebagai ayah yang tegas.
Aku ingin marah, tapi tak ingin melukai egonya. Maka kami memilih diam. Dan, diam itu menjadi dinding di antara kami.
**Mencari Jalan Pulang**
Dalam ketidakpastian, aku tahu satu hal: aku tak bisa terus begini. Ada yang salah, tapi aku belum tahu apa. Maka aku mencari bantuan.
Melalui rekomendasi di media sosial, kutemukan sebuah klinik kesehatan mental. Dengan ragu, aku mendaftarkan kedua anakku. Aisyah tampak baik-baik saja, tapi aku tak ingin kecolongan lagi.
Pada sesi pertama, kami sekeluarga menjalani konseling bersama. Psikolog meminta kami bercerita satu per satu, tanpa saling menyela. Dari situ, mulai terlihat betapa renggangnya hubungan kami—semua saling ingin didengar, tapi tak ada yang benar-benar mendengarkan.
Ketika giliranku tiba, aku berkata, “Mungkin aku terlalu keras. Aku meniru cara ibuku mendidikku dulu. Ia tegas, bahkan sering memaksa. Tapi aku bisa tumbuh, jadi kupikir anak-anakku juga bisa.”
Psikolog menatapku lembut. “Ibu tidak salah ingin mendidik anak agar kuat. Tapi, kekuatan tanpa kasih, hanya membuat mereka menahan luka yang sama seperti dulu Ibu rasakan.”
Kata-kata itu menampar. Ternyata aku masih memelihara luka lama yang belum selesai. Aku kehilangan ibu, tapi belum benar-benar berdamai dengan kehilangan itu. Aku hanya menutupinya dengan sibuk bekerja, membeli cinta lewat uang, mengukur kasih dari seberapa banyak aku memberi, bukan dari seberapa dalam aku hadir.
Psikolog memintaku memaafkan diriku yang dulu—anak kecil yang menahan banyak perintah, yang belajar bertahan tanpa pelukan. Aku diminta berdamai dengan masa lalu agar bisa kembali menyentuh masa kini.
Prosesnya tidak instan. Kadang aku menangis tanpa sebab. Kadang ingin berhenti. Tapi perlahan aku mengerti: berdamai bukan berarti melupakan, melainkan menerima bahwa luka pernah ada, dan tetap memilih melangkah dengan hati yang terbuka.
**Menemukan Diri di Tengah Reruntuhan**
Hari demi hari, kami menjalani sesi terapi. Hanin mulai terlihat ceria, walau tak sepenuhnya. Dia mau ke sekolah, bisa tersenyum di sekolah tapi di rumah seperti kembali pada mode asal, lebih banyak diam.
Aisyah, yang tampak baik-baik saja, ternyata juga memendam lelah. Ia merasa selalu harus menjadi “anak penurut” agar tidak menambah beban bunda.
Dan suamiku, yang selama ini kupikir tak peduli, ternyata memendam ketakutan sendiri: takut gagal menjadi ayah, takut dianggap tidak cukup.
Di ruang terapi itu, aku melihat kami seperti rumah tua yang retak di banyak sisi. Tapi, bukankah retak bukan akhir dari rumah? Retak justru tanda bahwa dinding sudah lama menahan beban terlalu berat. Yang dibutuhkan bukan menyalahkan siapa yang menyebabkan, tapi bersama menambalnya.
Aku mulai belajar hadir tanpa syarat. Tidak lagi menilai mereka dari kepatuhan, tapi dari keberanian mereka jujur tentang perasaan.
Aku belajar menurunkan suara sebelum bicara, mendengar sebelum menilai.
Kadang Hanin masih menutup diri, kadang Aisyah masih ragu bicara. Tapi sekarang aku tahu, mereka tidak butuh ibu sempurna. Mereka hanya butuh ibu yang mau duduk bersama dalam diam, dan tidak pergi ketika suasana menjadi sulit.
Ada hari-hari ketika aku masih merasa gagal.
Kadang aku menatap mereka dan berpikir, “Terlambatkah aku berubah?” Tapi setiap kali pikiran itu datang, aku ingat wajah Hanin yang perlahan kembali tersenyum, dan tangan Aisyah yang kini lebih sering merangkulku tanpa aku minta.
Mungkin kesembuhan bukan soal cepat, tapi soal keberanian untuk terus mencoba hadir.
Kini, aku tak lagi menilai diriku dari seberapa banyak yang bisa kuberi, tapi dari seberapa tulus aku mendengarkan.
Aku berharap mereka akan sepenuhnya pulih. Tapi aku percaya, setiap langkah kecil menuju kejujuran adalah bentuk penyembuhan juga.
**Di Antara Harapan yang Rapuh**
Kupikir setelah semua sesi konseling, setelah semua air mata dan percakapan panjang di ruang beraroma lavender itu, segalanya akan mulai membaik. Aku ingin percaya bahwa luka yang sudah diberi nama akhirnya bisa sembuh. Bahwa aku, Hanin, Aisyah, dan suamiku akan mulai menata hidup seperti keluarga dalam iklan susu yang menampilkan tawa di meja makan. Tapi kenyataan kembali menunjukkan wajah aslinya—lebih dingin, lebih sunyi, dan jauh lebih melelahkan dari yang kubayangkan.
Ini karena aku merasa tak sanggup menanggung beban bersamaan. Rasa tak nyaman di Kantor masih terus menjadi batu berat yang harus ku pikul sementara masalah di rumah dengan harapan membaik tapi justru tak bisa menyingkirkan batu pekerjaan ketika berada di rumah maka saat itulah emosiku kembali merusaknya.
Aku mulai kehilangan arah antara menjadi karyawan yang patuh atau ibu yang hadir. Keduanya menuntut kehadiran penuh, dan aku tak lagi tahu bagian mana dari diriku yang tersisa untuk masing-masing.
Pagi-pagi aku memaksakan diri tersenyum di depan cermin. “Kamu kuat, Ran,” kataku pada bayangan sendiri. Tapi bahkan bibirku pun tak lagi percaya dengan kalimat itu.
Tubuhku membaca sinyal “bahaya” namun aku terus berusaha kuat, namun akhirnya menyerah, aku tumbang dan harus dirawat lagi. Terasa usahaku kembali nol, aku tak bisa memulihkan kondisi anak-anak sementara aku pun tak bisa memulihkan diriku sendiri.
Aku mencoba tidur lebih cepat, tapi pikiranku terus berputar—tentang pekerjaan, tentang rumah, tentang diriku yang terasa semakin menjauh dari semua hal yang dulu kucintai.
Aku berpikir tentang kata “berjuang.” Semua orang bilang aku harus kuat, harus terus bertahan, harus percaya proses. Tapi bagaimana jika proses itu justru perlahan mengikis bagian terbaik dari diriku? Bagaimana jika bertahan justru membuatku kehilangan makna?
Beberapa kali aku menatap ponsel, ingin menghubungi psikolog kami lagi, tapi jariku ragu. Rasanya malu mengaku bahwa aku kembali jatuh setelah tampak baik-baik saja. Seolah semua kerja keras itu sia-sia. Seolah aku kembali ke titik nol.
Malam-malam berikutnya, aku mulai menulis di buku catatan kecil—bukan untuk mencari solusi, tapi untuk mendengar diriku sendiri lagi. Tulisanku berantakan, penuh coretan, tapi di sanalah aku menemukan sesuatu yang selama ini kutolak: aku tak bisa terus menjalani dua dunia yang sama-sama menuntut seluruh diriku.
Aku mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kecil yang terasa seperti pisau: apakah aku ingin berhenti bekerja, apakah aku ingin istirahat sejenak, apakah aku butuh waktu untuk diri sendiri. Semua pertanyaan itu terasa seperti tuduhan. Karena berhenti berarti menyerah, dan menyerah berarti gagal.
Namun di dalam hati kecilku, aku tahu sesuatu harus berubah. Aku tidak bisa terus hidup setengah—setengah ibu, setengah karyawan, setengah manusia.
Pagi ini aku kembali duduk di ruang tamu, menatap sinar matahari menembus tirai. Ada sesuatu yang ingin kuputuskan, tapi lidahku kelu. Di antara rasa takut, lelah, dan segenggam kecil keberanian yang tersisa, aku tahu: akhirnya aku harus memilih.
Pilihan itu belum kuucapkan, tapi sudah terasa menggantung di udara, seperti nafas terakhir sebelum kata “ya” atau “tidak.”
Dan dari dalam dada yang masih bergetar, aku tahu—bab berikutnya akan menjadi titik balik yang tidak bisa diundur lagi.
Kreator : Puspa Raito
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Luka Dalam Cinta Bab 5
Sorry, comment are closed for this post.