Hitam manis hitam manis,
yang hitam manis, pandang tak jemu pandang tak jemu.
Yang hitam manis pandang tak jemu.
He he he, itu penggalan syair lagu jadul penuh kenangan, tahun 70-an yang aku tulis mengawali ceritaku ini kali. Lagu yang hits masa itu. Yang syairnya masih aku ingat dengan baik. Sayang, justru nama penyanyi yang mempopulerkannya aku malah tak ingat. Andai Papa masih ada di sisi, pasti Papa yang akan kasih bocoran jawaban padaku.
Lagu itu menjadi makin terkenang dalam keluarga kami karena di rumah kami yang mengidolakan lagu itu justru anggota keluarga yang istimewa. Tak lain dan tak bukan, adalah dia Si BUSU. Seekor burung beo pemberian keluarga dari Ambon yang sudah beberapa tahun menjadi anggota dalam keluarga kita.
Masih segar dalam ingatan, betapa Papa adalah orang di rumah yang paling disayang oleh Si Busu. Aku yakin, pasti karena dari Papa ia beroleh banyak kosa kata. Dari Papa juga ia bisa bernyanyi lagu ‘Hitam Manis itu’. Ha ha ha, Papa memang orang yang penyayang. Sampai-sampai hewan-hewan peliharaan kami di rumah, selalu sayang pada Papa.
Aku kisahkan tentang Papa dan Si Busu pada anak-anakku, cucu-cucu Papa. Betapa ekspresi mereka begitu wow demi mendengar cerita tentang Papa dan Si Busu ini?
Wah, luar biasa pokoknya. Nano-nano antara takjub, heran, nggak percaya, ada kagetnya juga dan yang jelas mereka menjadi semakin kangen pada Papa. Opa yang tak pernah dijumpa karena telah pergi sembilan tahun sebelum uminya menikah. Selalu ada drama di setiap akhir sesi ‘umi berkisah tentang masa lalu bersama Opa dan Oma serta Om Erry mereka’ ini. Meleleh air mata di sudut dalam mata mereka hingga aku harus memeluk mereka penuh sayang semata berbagi kekuatan atas rindu yang begitu mendera ini.
Tetapi, memang cucu-cucu Papa ini suka cari perkara kok. Sudah tahu kalau selalu ada sesi drama di setiap akhir cerita tentang Opa, Oma, dan Om Erry-nya, tetapi selalu minta dan minta diceritain lagi.
“Ayo Mik, cerita lagi tentang Opa yang lucu-lucu. Tentang Opa dan hewan-hewan peliharaan atau yang lainnya. Pokoknya cerita masa lalu waktu umik masih kecil, waktu Opa, Oma, dan Om Erry masih ada,” pinta mereka berbarengan penuh harap.
Jujur, aku tak pernah kuasa menolak permintaan mereka. Permintaan seorang cucu yang ingin mengenal lebih dekat Opa, Oma, dan Om Errynya walau hanya lewat cerita. Berhubung mereka anak-anak yang naturalis, yang penyayang binatang, tak heran jika cerita papa bersama hewan-hewan peliharaan yang memenangkan perhatian mereka. Seperti tak ada bosannya walau cerita tentang itu sudah berulang beberapa kali. Papa memang keren. Tak pernah dijumpai tetapi sukses merompak hati cucu-cucunya. Tak bisa kubayangkan, jika kau masih ada di sisi, pasti semua cucu Papa lengket kayak perangko pada Papa, Opa tersayang.
Kembali cerita tentang Si Busu yang lucu dan fenomenal, salah satu cerita yang mereka suka. Aku ceritakan pada mereka bahwa Busu bisa mengucap salam, “Assalamualaikum,” sehingga banyak tamu yang datang ke rumah jadi pada bingung sendiri. Tengok sana tengok sini karena ternyata sudah ada yang mewakili mengucapkan salam. Akhirnya, para tamu jadi tertawa sendiri demi setelah mengetahui bahwa bukan orang yang berucap salam itu melainkan seekor burung Nuri warna merah bercorak biru dan hijau yang sudah mengucapkan salam itu dengan takzim. Ha ha ha, para tamu jadi kepo sendiri, siapa yang ngajarin sampai ada burung Beo pintar ucap salam. Siapa lagi guru Si Busu kalau bukan Papaku. Sekali lagi, engkau memang keren lho, Paa.
Sama halnya seperti lagu Hitam Manis di atas. Papa sukses mengajarinya bernyanyi dengan nada dan syair yang pas seperti lagu aslinya. Masih kuingat dengan jelas, ekspresi lucu Busu yang bernyanyi dengan mengayunkan kepala dan badannya ke kanan dan ke kiri bergantian mengikuti irama lagu yang dinyanyikannya. Ia akan makin semangat bernyanyi demi mengetahui engkau ada di dekatnya dan mulai bergoyang mengikuti nyanyiannya. Papaku yang hitam manis ini (maklum Nyong Ambon Manisse) memang jago badendang juga bagoyang badan ikuti irama lagu.
Bagaimana Papa di hati Si Busu, menjadi pengalaman berharga tanpa teori muluk-muluk yang sukses Papa pesankan pada kami bertiga, anak-anak beliau. Pesan bahwa kami harus menyayangi sesama dengan tulus, bahwa walau kami masih kanak-kanak tetapi kami sudah bisa terlibat dalam merawat Si Busu sesuai kemampuan kami masing-masing. Siapa yang sudah pulang sekolah lebih dulu di saat sudah tiba waktu makan Si Busu, maka ia yang harus memastikan bahwa pisang Busu sudah dilahap sampai habis. Urusan kotoran Si Busu pun, ada jadwal bergantian untuk membersihkannya. Papa yang mengajari kami untuk melakukan semua itu karena rasa sayang pada Busu dan Allah akan sayang pada kami.
Terima kasih atas pelajaran indah berharga ini. Semoga menjadi amal jariyah yang Allah ridhoi sehingga dapat menjadi aliran pahala bagi Papa hingga yaumul hisab kelak. Aamiin ya Rabbal’alamiin.
Kreator : Maryam Damayanti Payapo
Comment Closed: 10. Papa dan Si Busu
Sorry, comment are closed for this post.