Lain Si Busu, lain pula Si Moppi. Suatu kali, ketika kerinduan pada Papa kembali mendera, aku berkisah tentang beliau bersama Si Moppi pada anak-anak.
“Opa juga punya binatang peliharaan lainnya lho. Seekor monyet lucu. Namanya Moppi yang sukanya duduk di pundak Opa lalu pegang bagian belakang kepala Opa. Kalian tahu, apa yang Moppi lakukan saat itu? He he he, Moppi lho bergaya seperti seorang Ibu yang sedang mencari kutu di kepala anaknya.”
Bagaimana respon cucu-cucu Papa? Ya ya yaaa, mereka langsung pada ngakak sambil memegang perut mereka karena merasa saking gelinya membayangkan ada monyet nangkring di pundak Opa-nya. Sungguh luar biasa daya tarik Papaku ini. Cerita lucu tentang diri beliau saja sudah mampu membuat cucu-cucunya tertawa bahagia. Lagi-lagi, ku tak bisa membayangkan jika Papa ada di sisi.
Peristiwa di sore itu, sekitar 46 tahun yang lalu, sangat membekas di hatiku. Ternyata, Papa memang seorang yang berhati lembut penuh kasih pada sesama. Betapa tidak, sore itu, demi gembirakan hati anak-anaknya (Mas Eko, aku, dan Dik Erry), Papa rela merogoh kocek, memanggil tontonan Topeng Monyet untuk beraksi di pelataran depan rumah kami. Begitu dung-dung suara tabuhnya terdengar, tiba-tiba sudah banyak anak kecil dan orang tuanya mengelilingi Si Bapak Tukang Topeng Monyet.
Si Bapak pun beraksi dengan seekor anjing dan ular sawah yang dikeluarkan dari sebuah kotak kayu di bagian belakang sepeda ‘ontelnya’. Memang terasa ada yang kurang. Ternyata, tidak ada bintang utamanya, seekor monyet seperti biasanya untuk sebuah tontonan ‘Topeng Monyet’. Papa mengajak bicara Si Bapak, menanyakan mengapa tidak ada seekor monyet yang menyertai perjalanan mereka mengais rezeki mencari sesuap nasi.
Jika ceritaku sudah sampai di sesi ini, anak-anak seakan sudah tak mampu menahan rasa penasarannya. Mereka seperti ingin memastikan apa yang akan Papa lakukan setelah mendengar penjelasan Si Bapak bahwa monyet teman setianya berjuang mencari rupiah sudah mati beberapa minggu yang lalu. Sebelum cerita kulanjutkan, aku justru
“Kalau menurut kalian, kira-kira … apa yang dilakukan Opa waktu itu?” begitu tanyaku.
Ternyata, aku yang dibuat takjub oleh jawaban mereka. Sungguh membuat hatiku meleleh. Papa tahu apa jawaban mereka Paa?
“Pasti Opa ngasih Moppi ke bapaknya ya, Mik,” tanya mereka dengan semangat namun tidak dapat menutupi rasa sedih yang turut membayang.
“Kok kalian tahu?” jawabku setengah penasaran.
“Ya tahu lah, Mik. Opa kan orangnya baik hati dan peduli pada orang lain,” jawab mereka.
“Wah kalian memang anak-anak hebat!” seruku dengan mata berbinar.
“Memang benar. Akhirnya Opa memberikan Moppi pada bapak Topeng Monyet agar ia punya teman seekor monyet lagi, “ jelasku lebih lanjut.
“Umik nggak nangis waktu Moppi dibawa bapaknya?” tanya mereka kemudian.
“Wah, jelas … Umik ya nangis dong. Kan sudah sayang ama Moppi. Pakde Eko dan Om Erry nangis juga. Kami bertiga nangis bareng-bareng. Maunya ya Moppi jangan dikasihkan ke orang,” begitu terangku.
Tepatnya, aku lupa, sore itu, apa yang Papa ucapkan pada kami bertiga sehingga kami bertiga berhenti menangis dan akhirnya bisa ikhlas melepas Moppi ketika bapak Topeng Monyet pamit hendak beranjak pergi. Kami sempat membelai kepala Moppi beberapa saat sebelum akhirnya hanya bisa melambai-lambaikan tangan seiring Moppi dan keluarga barunya hilang dari pandangan mata kami. Yang pasti, kami mendapat pelajaran berharga baru, peduli dan membahagiakan orang lain itu ternyata begitu bermakna dan membahagiakan diri. Terima kasih Paa, untuk pelajaran hidup luar biasa ini.
Kreator : Maryam Damayanti Payapo
Comment Closed: 11. Papa dan Si Moppi
Sorry, comment are closed for this post.