Hari ini cuaca sedang cerah dan ceria, secerah dan seceria hatiku. Masih ada tugas mengajar kelas PPG Dalam Jabatan Angkatan I Kelas L di hari yang ketiga. Materinya, tentang Model-Model Pembelajaran Inovatif dan Soal yang HOTS. Alhamdulillah, mahasiswa mendapat banyak masukan dari bu Ceffi sebagai Guru Pamong yang menjadi partnerku di PPG ini. Bu Ceffi ini adalah mantan mahasiswaku. Dulu, bersama dalam ruang kelas di PGSD. Sekarang bersama di kelas maya PPG Dalam Jabatan.
Kali ini, aku akan melanjutkan bercerita kisah lama, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar dan masih tinggal di rumah kontrakan di jalan Padmosusastro Surabaya. Kalau tidak salah, sekitar tahun 1974 – 1976. Jika mengingat rumah Padmo, dengan jalan berplester yang ada di depan pintu teras menuju ke jalan kampung, aku pasti mengingat tentang sosok kakek tua yang sempat Allah hadirkan dalam kehidupan keluarga kami.
Siapa lagi sosok itu, kalau bukan Pak Minggu. Seorang kakek dhu’afa yang selalu mengunjungi rumah kami di hari Minggu pagi. Maka, Mama pun memberi beliau julukan atau panggilan … Pak Minggu. Nama itu saja yang aku kenal dan kami pun tak sempat mengetahui siapa nama asli beliau.
Seperti biasa, beliau akan duduk lesehan kadang bersimpuh, jongkok, atau malah selonjoran kaki di jalanan berplester depan rumah. Tongkat yang setia menemaninya kemanapun kaki beliau melangkah, beliau letakkan di samping kanan tubuhnya yang kurus tinggi. Berbaju lengan panjang, berpeci hitam, dan bersarung kotak-kotak yang semuanya seperti sama tuanya dengan si empunya. Warnanya tampak mulai memudar. Kadang, apa yang beliau kenakan, kukenali sebagai baju atau sarung Papa yang memang Mama berikan untuk beliau.
Seperti biasanya, Mamaku yang berhati mulia selalu dengan riang hati menyiapkan sepiring sarapan dan segelas teh manis hangat untuk beliau awali hari.
Waktu itu, aku suka mengintip beliau dari balik tirai jendela ruang tamu. Terlihat sekali beliau menikmati menu sarapan pagi dan teh manis yang Mama sediakan. Setelah makan dan bersantai beberapa saat, tiba waktu beliau untuk pamit. Maka, Mama pun pasti sudah menyiapkan selembar atau dua lembar uang yang akan diberikan di saat tangan beliau terulur untuk bersalaman sebelum pamit undur diri.
Betapa semua itu menjadi pengalaman bermakna yang Mama ‘kirim dan pesankan’ pada kami, ketiga anak Mama dan Papa tentang arti berbagi dengan tulus. Juga tentang arti peduli dan keyakinan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengganti kebaikan hamba-hambaNya. Mama tak pernah meneorikan semua itu hanya meneladankan di sepanjang usiamu dan kepada siapapun.
Terima kasih atas teladan kebaikan dan kekayaan hati ini. Selalu, rasa itu bagai mengaliri dan menghangatkan setiap relung hatiku sampai kini dan semoga sampai kapan pun. Semoga, apa yang aku lakukan ini, yang aku pelajari darimu menjadi aliran pahala juga untuk Mama … guru di sekolah kehidupanku. Aamiin ya Rabbal’alamiin.
Ku akhiri kisah ini sampai di sini dulu. Kisah masa lalu, saat Mama dan Papa juga Dik Erry masih membersamai dulu. Kisah yang selalu digemari ketujuh cucu Mama dan Papa sampai saat ini. Love u … with all my heart.
Kreator : Maryam Damayanti Payapo
Comment Closed: 15. Mama dan Pak Minggu
Sorry, comment are closed for this post.