Maa, alhamdulillah kabar baik dari putri semata wayangmu ini, yang tahun ini, genap di usia 55 tahun. Usia yang sudah separuh abad tetapi masih kekanak-kanakan juga kalau urusan rindu padamu Maa. He he he … setua apapun diri ini … aku tetaplah putri kecil Mama dan Papa.
Beberapa waktu yang lalu, saat aku dan anak-anak dolan ke rumah Mas Eko, di tengah obrolan santai bersama di malam itu, tiba-tiba cerita berkembang ke masa lalu, waktu aku dan Mas Eko masih kecil-kecil dulu, waktu masih bersama Mama dan Papa. Sebelum-sebelumnya, aku sih sudah sering bercerita ke anak-anak yang juga cucu-cucu Mama ini, tentang masa-masa waktu Oma dan Opa serta Om Eri-nya masih membersamai Umi dan pakdenya. Ada cerita tentang nasi bungkus, tentang hewan peliharaan Si Busu, Moppi, dan Pussi, tentang waktu liburan ke Malang, tentang coklat Welco, dan masih banyak cerita indah yang lainnya.
Nah, soal coklat Welco ini yang anak-anak ceritakan ulang di depan pakdenya (Mas Eko). Mereka bercerita berdasarkan cerita yang mereka dengar dariku. Ha ha ha, betapa ekspresi wajah Mas Eko begitu menyimak cerita anak-anak. Mas Eko cuman bisa ‘nyengir kuda’. Cerita ini makin menghangatkan kebersamaan pada malam itu.
Masih segar dalam ingatanku dan Mas Eko, dua anak yang Mama dan Papa tinggalkan ini, saat kami masih menghabiskan waktu di sekolah dasar dengan bertempat tinggal di rumah kita di Ngesong Simomulyo Baru Surabaya. Sekitar tahun 1979 – 1984 itu. Di hari-hari tertentu, seperti hari-hari yang lainnya, kami bertiga (Mas Eko, aku ,dan Dik Erry) selalu menunggu kepulangan Mama dari kantor. Kadang Mama dijemput Papa naik motor Suzuki merah itu, atau nunut teman sekantor yang rumahnya satu kompleks perumahan. Namun, kadang pula Mama pulang dengan naik angkot sampai di terminal Ngesong lalu nyambung naik becak sampai di depan rumah kami.
Masih kuingat dengan jelas, betapa gembiranya kami menyambut kedatangan mama. Mas Eko membawakan tas kerja mama, Adek Erry yang kebagian membawa tas tenteng Mama yang lainnya. Sedang aku, menyiapkan teh manis hangat di meja makan. Setelah makan malam, ini waktu yang kami tunggu-tunggu. Apa pasal? Karena biasanya Mama akan mengeluarkan oleh-oleh untuk kami. Malam itu, sebatang coklat Wellco Mama oleh-olehkan untuk kami. Masing-masing, mendapat satu batang coklat. Alhamdulillah. Senangnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kami peluk Mama dan ciumi wajah Mama sebagai ungkapan rasa terima kasih kami. Kami tahu, pasti Mama sudah menyisihkan uang untuk bisa membelikan oleh-oleh coklat ini.
Ada kejadian lucu tentang sebatang coklat Wellco ini yang jika aku ceritakan pada anak-anak, maka mereka pasti tertawa ngakak membayangkan ekspresi wajah pakdenya.
“Umi makan coklatnya sekotak demi sekotak. Waktu itu, coklat Umi tinggal 3 kotak kecil. Lalu Umi lihat, kok pakde kalian sudah kelihatan nggak punya coklat lagi. Pikir Umi, wah coklat Mas Eko sudah habis dimakan. Karena Umi kalian ini kan adik yang baik hati, akhirnya Umi bagi sisa 3 kotak coklat Umi untuk pakde. Om Erry yang juga baik hati, membagi pula coklatnya yang sisa 4 kotak kecil itu dengan pakde. Masing-masing dapat 2 kotak kecil. Jadi, total, pakde dapat sumbangan 3 kotak kecil coklat Wellco. Setelah dimakan siang dan malam itu, akhirnya habislah sudah coklat Wellco oleh-oleh Oma.
Nah, esok siangnya sepulang sekolah, lha kok Umi dan Om Erry lihat, Pakde sedang makan coklat Welco lagi? Padahal, sudah habis 3 kotak kecil coklat yang Umi dan om Erry bagikan kemarin. Pakde makan coklatnya dengan asyik. Umi dan om Erry jadi ikutan ‘menelan air liur’ lagi demi melihat pakde menikmati coklatnya. Setelah Umi dan om Erry tanya, ternyata coklat pakde sebetulnya masih ada 4 kotak kecil. Memang sengaja akting wajah memelas seakan sudah habis coklatnya, supaya dapat sumbangan dari Umi dan om Erry. Wah, emang pakde kalian ini ada-ada saja akalnya. Selanjutnya, ganti Umi dan om Erry yang protes, berharap pakde mau berbagi dengan kami. Apa yang terjadi selanjutnya? Ternyata pakde hanya mau berbagi 1 kotak kecil untuk Umi dan Om Erry. Bayangan bakal dapat satu kotak kecil untuk masing-masing jadi menguap.
Langsung Umi dan Om Erry melaporkan hal coklat ini pada Mama. Saat itu, Mama hanya tersenyum simpul sambil berkata, “Masmu itu memang daokeh.”
“Daokeh itu apa maksudnya maa?” tanya kami berbarengan.
“Daokeh itu sebutan untuk orang yang pelit,” jelas Mama pada kami.
“Ooooo … gitu ya Maa,” sahut kami kompak.
Saat itu, kami seakan jadi memaklumi mengapa Mas Eko hanya membagi sebuah kotak kecil coklat Wellco untuk kami berdua. Ha ha ha, rupanya Mas-ku ini memang penyuka coklat banget sampai enggan berbagi dengan kedua adiknya.
Alhamdulillah, dengan didikan Mama dan Papa, dengan teladan dan nasihat, akhirnya kami senang berbagi kepada sesama saudara dan orang lain. Beberapa kali mendapat oleh-oleh dari Mama dan Papa, akhirnya membuat Mas Eko bisa merasakan senangnya bisa berbagi. Buktinya, Mas Eko bisa jadi merasa cukup makan 3 kotak kecil coklat Wellco-nya dan membagikan sisanya untukku dan Adik Erry. Jadinya, kami tetap bisa makan 5 kotak kecil coklat Wellco. Namun, 3 kotak coklat saja yang asli milik kami, oleh-oleh mama. Sedang yang 2 kotak adalah hasil berbagi sesama saudara. 5 coklatku, ada 3 kotak yang asli milikku plus 1 kotak pemberian Mas Eko dan 1 kotak pemberian adek Erry. Makin asyik karena makannya bareng-bareng. Aturan Mama selanjutnya adalah jika ada di antara kami bertiga, yang mau menyimpan coklatnya untuk dimakan di beberapa hari berikutnya, diperbolehkan tetapi nanti pada saat memakannya tidak boleh di depan saudara-saudaranya yang sudah habis lebih dulu coklatnya. Kalau ‘pamer’ di depan saudaranya, berarti harus siap berbagi lagi. Tidak boleh membuat saudaranya hanya gigit jari dan ‘ngeleg idu’/ menelan air liurnya karena kepengen.
Bagi kami, Mama dan Papa luar biasa sebagai orang tua karena selalu punya cara kreatif untuk mendidik kami senang berbagi dan peduli serta dalam karakter-karakter baik lainnya. Aku selalu bersyukur sepenuh hati atas 14 tahun plus 6,5 bulan yang sungguh bermakna ini. Sejak kelahiranku, di Oktober 1969 hingga saat Mama dan Papa meninggal di Mei 1984. Terasa sekali selain karena karunia Allah SWT juga didikan itu yang membentuk aku dan Mas Eko hingga menjadi seperti ini. Semoga semua ini, menjadi amal jariyah Mama dan Papa yang pahalanya senantiasa mengalir hingga yaumul hisab kelak. Aamiin ya Rabbal’alamiin.
Malam itu, di teras rumah Mas Eko, anak-anak (cucu-cucu Mama ini) tertawa bersama dengan pelajaran hidup berharga untuk senang berbagi dan peduli dari cerita tentang sebatang coklat Wellco ini. Kata mereka, cerita yang menginspirasi lho Maa. Dan seperti biasanya, setelah menyimak cerita tentang Mama, Papa, dan Adik Erry membuat kangen mereka pada kalian selalu membuncah. Aku harus memeluk mereka dulu beberapa saat. Sama-sama meredam rindu yang seakan tiada ujung ini.
Untuk ini kali, aku cukupkan sampai di sini dulu. Insyaa Allah, akan aku sambung lagi dengan surat-surat berikutnya dengan cerita masa lalu yang lain lagi. Terima kasih untuk semua yang telah Mama lakukan untuk kami. Peluk hangat selalu untuk Mama dalam angan dan doa-doa kami. Love u … Maa … always.
Kreator : Maryam damayanti Payapo
Comment Closed: 16. Sebatang Coklat Welco
Sorry, comment are closed for this post.