Siapkan telinga untuk mendengar karya Eric Mueller D-19 pada tiap bagiannya.
ONE : BELANTARA
TWO : RUMAH BIASA
THREE : PUBERTAS YANG KASAR
FOUR : DETIK TRAUMA
FIVE ; PEMUJA BENDA
SIX : GERAKAN TERSEMBUNYI
SEVEN : TARIAN PANTAI
EIGHT : MANIPULASI INTUISI
NINE : GARPUTALA
TEN : RESONANSI PECAH
ELEVEN : KAMAR SANG PE R/S AKIT
TWELVE : KEMATIAN HEROIK
THIRTEEN : HIDUPI HIDUP
FOURTEEN : GENERASI DELUSI
SIXTEEN : SETAPAK PETUALANGAN
SEVENTEEN : KONSER MALAIKAT
EIGHTEEN : SAPI JALANAN
NINETEEN : KOSMIK DI MARS
BELANTARA
Ada keheningan di dalam belantara, kami menyebutnya suara alam. Dia tidak bernyanyi atau bersenandung melainkan memberi tanda pada setiap bayi bayi yang lahir. Begitu juga pada setiap benih baru yang tumbuh menghujam ke atas permukaan tanah. Lalu hewan hewan mulai berkicau dengan caranya melebihi suara burung itu sendiri. Dengan kata lain sambutan hangat telah dimulai.
Aku lahir di belantara, di tanah yang airnya melimpah dari perbukitan sebelah sana saat matahari terbit dan tenggelam dengan teratur dan tepat waktu. Jadi harinya adalah hari senin dini hari tanggal 10 bulan Juli 1995. Yang pertama kulihat mungkin bukanlah wajah ibuku atau ayahku, melainkan wajah perempuan tua yang berkeringat dan tersenyum mengharapkan saatnya tiba untukku menangis sekencang kencangnya untuk memberi tanda pada suara alam , aku telah lahir ke dunia dan diberi nama arutala.
Andai saja ramuan yang ditumbuk ibuku 9 bulan lalu berhasil diminumnya, maka aku tak harus bersusah payah membaca masa depanku. Aku tak perlu mendengarkan cerita tentang seorang lelaki yang sudah menikah dan belum mampu menjadi seorang ayah yang baik untuk bakal calon anaknya. Beruntung, laki laki ini tidak melarikan diri. Dia hanya tidak mengikat diriku dengan tali hubungan yang erat di 6 bulan pertama kehidupan. Dan itu tidak masalah, tidak semua orang akan merasa terhubung satu sama lain meskipun dari darah dagingnya sendiri.
Mencuci baju di aliran sungai yang deras. Di atas batu yang besar bongkahannya cukup untuk menghempaskan pakaian basah hingga rontok kotorannya. Ibuku adalah seorang perempuan tangguh yang mengandalkan kemampuan bertahan hidup yang luar biasa, meskipun dengan cara yang tidak diduga.
Saat pagi semua orang di dalam belantara pergi ke dalam perkebunan. Daerah ini berhawa dingin, kabutnya tebal. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian lama yang sudah robek atau koyak di bagian bawah lipatannya lalu dipakai berlapis dengan baju yang sedikit tebal. Kadang ditambahkan ornamen ikat kepala dan sarung tangan yang sama lusuhnya. Tidak lupa membawa wadah tradisional yang terbuat dari rotan untuk memanen hasil.
Tidak seperti penyambutan bayi lainnya, hariku tidak Istimewa. Bayi yang masih merah mungkin akan diberi hadiah atau sedikit perjamuan untuk mengumpulkan keluarga. Di bawah pondok kayu yang tanpa pelita, musim ini musim sulit bagi semuanya. Tak ada yang bisa dilakukan selain bertahan dan terus bekerja keras mengolah tanah, mencabut hama, atau setidaknya mencari bahan makanan yang tersedia melalui umbi, akar, batang dan daun yang ada.
Hari hari berikutnya, aku merasakan tubuhku digantung di antara beberapa pohon kopi membentuk ayunan bayi yang dibuat seadanya. Dibawa kesana kemari dan mataku melihat semut berkoloni di batang dan ranting. Semut warna merah yang besar dan suka menggigit membuatku tertawa.
“Jika langit begitu biru, maka aku mohon jagalah aku sampai tua.”
Aku mungkin akan berkata begitu sambil memandang langit di dalam ayunan renggang yang kedua sisinya sangat rentan.
Lalu, hari berikutnya aku mulai makan serangga dan menyeringai karena rasanya. pengalaman yang berkesan bagi ibuku, namun tidak bagiku.
Aku punya baju biru bermotif bunga hitam, pemberian sepupu dan juga anting emas berat yang tak seharusnya kupakai. Seseorang pernah memfotoku dan mengabadikannya beberapa kali saat aku berusia dua tahun. Rambutku halus, hitam, dan tebal. Kulitku kuning langsat seperti kayu jati. Mataku kecil seperti putri kaisar Jepang. Itu yang orang katakan saat aku berlarian di lembah yang terjal. Di antara pagi dan petang, aku suka berada di jendela karena melihat awan dan matahari tidak membuatku merasa aku hanyalah seorang yang kecil di tubuh ini.
Menyadari sesuatu di usia ini akan menimbulkan banyak pertanyaan yang akan menyusahkan suatu hari nanti. Dan begitulah ingatan yang ada terutama saat seorang Ibu membawaku dan meletakkanku di meja judi para Ayah yang tidak dewasa. Kemarahan yang seperti itu membawa banyak dampak dan tidak cukup bagus untuk diceritakan dengan cara apapun.
Sewaktu muda, Dia yang kupanggil Bapak suka sekali bermain bola hingga mematahkan lengan dan kakinya. Rela untuk cedera dan masih suka bercanda saat usianya bahkan belum tiga puluh. Sulit memahami kapan para Ayah akan dewasa dan aku tidak suka menggurui orang tua. Bukan karena takut dosa, hanya saja bagiku memiliki pasangan itu akan menjadi pilihan sebagian besar manusia, namun memiliki anak/keturunan adalah hal lain.
Bagian dari kewajiban spesies untuk berkembang biak atau mungkin investasi jangka panjang saat usia tidak lagi muda. Apapun itu aku masih tidak memahaminya. Merawat, menjaga, memberi makan adalah bagian terpenting dari menjaga keberlangsungan hidup spesies, maka dari itu Bapak cenderung tertawa saat anaknya makan ikan besar dari sungai hasil mancing sedari pagi daripada melihatku belajar merangkak atau berdiri.
Dia suka hal hal seperti itu.
Di hari lain saat dia mulai berkelakar dengan membawa jerigen racun rumput dan satu set alat semprot racun di punggungnya. Dia suka menceritakan tentang rangka mirip ikan besar di langit yang terbuat dari besi.
Aku berteriak keras,
”Suatu hari aku akan naik rangka besi itu sambil menunjuk ke atas.”
Dia hanya terkekeh mengiyakan.
Kemampuan lain adalah dia hebat dalam menangkap burung dengan ketapel atau batu. Kami memanggangnya di tengah belantara.
Saat inilah, aku paling mengaguminya.
Kemudian hujan turun, diambilnya daun talas lebar, dipotongnya batang daun yang berongga itu dan muat untuk kami berdua pulang ke pondok tanpa pelita. Sebuah payung paling efisien yang mampu terpikir olehnya.
Definisi hasil didikan alam, tidak pernah memberikan kekurangan ataupun penilaian pada manusia yang ingin diajari cara yang benar memanfaatkan alam. Dan, ambisi tidak begitu berarti di tempat ini.
Meski sebagai seorang anak, seringkali aku tumbuh dengan rasa ingin tahu yang berlebihan. Seperti kenapa aku tidak suka buang air di sungai?
Aku terus membayangkan hewan apa di dalam sungai, lebih tepatnya apakah ada sesuatu di bawah sana saat aku setengah duduk. Dan, tumbuhan pakis ini sangat mengganggu, pohon besar yang menjuntaikan dahan serta lumut lumut hijau di bebatuan atau di atas permukaan tanah yang lembab.
“Itu menggangguku.”
Sekeliling terasa seperti area yang tidak aman saat aku mengitarinya dengan pandanganku ke segala arah. Bagaimana jika orang lain tiba tiba datang?
Aku akan dilihat seperti seorang anak kecil, tentu saja.
Tapi lebih dari itu, aku ingin ruangan tertutup dengan pembersih yang lebih canggih.
Aku hanya ingin itu.
Saat ibu mencuci baju, aku suka makan Saccharum edule dalam Bahasa Latin. Bunga tebu yang tumbuh di pinggiran sungai, rasanya tawar tapi aku suka teksturnya. Sembari anak lain membawa cemilan enak, itu kerap kali berakhir dengan perkelahian dan aku pemenangnya. Esok harinya aku terjatuh dari tangga karena dendam seorang anak. Dia mematahkan sepeda roda tiga milikku. Sepeda pertama dan satu satunya sebelum usiaku belasan.
“Sedih”?
Biasa saja, tapi sepeda itu seperti seorang Ayah bagiku. Terasa seperti itu.
Lalu, hari-hari seperti itu akan digantikan dengan pertemanan yang lebih baik seperti memetik buah bonsai liar di halaman. Mewarnai kuku dengan tumbuhan Lawsonia Inermis.
Gaun oranye, motif buah cherry. Aku suka mengenakannya saat bermain dengan sahabatku. Lalu pada saat itu juga kami beraksi dengan membuat kasur kapuk. Pohon kapuk tua itu (Ceiba pentandra) memiliki dahan rindang. Jika sudah matang dan berkulit hitam, buahnya akan terlepas, kami akan memungutnya dan mengumpulkannya satu per satu.
Sebetulnya, aku tak begitu suka kasur kapuk.
Nenekku suka menjahitnya, memasukkan kapuk yang seperti kapas halus itu kedalam gulungan kain, kemudian diisi hingga penuh. Aku tidak suka ketika kapuk mulai muncul di sela sela bekas jahitan atau kain tipis pelapis kasur. Meninggalkan sisa disana dan menempel di kulit atau rambutku. Rasanya sedikit gatal dan seperti berdebu.
Namun apapun itu, kasur kapuk jauh lebih baik daripada kasur kematian.
Aku punya seorang Bibi yang terbaring di kasur seharian. Dia baru saja menikah, tapi wajahnya pucat pasi. Lesu dan tidak bertenaga, suaranya lembut dan sangat halus. Perempuan dengan rambut panjang bergelombang. Sungguh malang, dia yatim piatu. Keluarganya hari ini adalah keluarganya di masa depan, setidaknya itulah harapannya sebelum penyakit kanker rahim ganas menggerogoti tubuh kurusnya. Lalu dengan setengah suara dia memanggilku mendekat duduk di atas kasurnya.
Dia bilang :
“Aku harus tumbuh dengan sehat.”
Kita tidak pernah tahu kapan akhirnya kasur akan memenuhi takdirnya sebagai kasur kematian, meski kita terbiasa tidur di sana di hari hari sebelumnya.
Dan di hari berikutnya.
Dia meninggalkan dunia ini, di tempat peristirahatan terakhir di antara pondok-pondok tanpa pelita dengan guyuran hujan yang melankolis.
“Menyedihkan.”
Ibuku sering bermimpi tentang Bibi yang pernah pergi itu semacam permintaan untuk memintaku bersamanya, namun itu kerap kali menimbulkan sedikit ketakutan tentang keberadaanku, namun Bibi mengatakan pada Ibu bahwa akan punya penggantinya jika aku bersamanya.
Tak lama setelah mimpi itu tak pernah menghampiri lagi di malam-malam di pondok tanpa pelita kami. Ibuku mengandung seorang anak yang jika dipikirkan anak itu bisa dilahirkan tanpa aku pernah ingat bahwa Ibu pernah mengandung. Itulah momen dimana seorang kakak perempuan dilahirkan, saat dia ingin masuk kamar persalinan dan semua para perempuan tua disana mengusir dengan cara yang amat halus.
Aku ingat betul bagaimana caraku menunggu di lantai bawah pondok dekat gudang penyimpanan hari itu. Aku bersama seekor anjing hitam yang mendekatiku kemudian kami duduk bersama seperti tuan dan hewan peliharaannya yang menunggu kehadiran bayi mungil di ruang persalinan sebuah rumah sakit. Dan tentu saja maksudku, seekor anjing tidak seharusnya berada disana, tapi aku mengerti dan ingat bagaimana mata anjing itu dengan kelopak kendurnya memandangku seperti memberi dukungan pada majikan yang memberinya makan. Sangat manis dan aneh.
Agak sedikit lama menunggu seorang bayi menangis, nampaknya tangisan bayi ini berbeda dariku. Perempuan tua yang waktu itu membantuku memberi tanda pada suara alam mungkin telah berusaha beberapa kali dan itu agak menyulitkan di awal. Setelah beberapa saat tangisan itu terdengar, tanda pada suara alam sudah terdengar oleh hutan dan belantara ini. Tidak diragukan lagi, kemampuan seorang dukun seorang janda seorang ibu dan seorang nenek yang kini menggendong cucunya sungguh hebat. Dia mampu melakukan yang tidak dilakukan perempuan manapun tanpa gelar pendidikan di masanya juga suka memberi nama pada apapun dihadapannya.
“Arunika, katanya. Sebuah nama yang indah.”
Aku berlarian ke atas tangga rumah meninggalkan anjing hitam yang seperti tim sorak. memanggil dengan keras.
“Nenek, bayinya lahir. Bayinya berdarah, kecil, dan biru.”
Seperti dewa Krisna, namun akhirnya saat ini aku tahu itu disebut asfiksia.
Butuh waktu untuk mengurusnya seperti menggantung tali pegas untuk ayunan yang dibalut dengan kain batik. Setidaknya kali ini bukan di antara batang batang kopi dengan serangga berkoloni. Setidaknya ini lebih baik.
Mengambil air bersih di pancuran air yang jauhnya melebihi panjang bambu tempat air ini mengalir tidak begitu melelahkan malah sangat menyenangkan.
Begitulah di belantara, tidak terlalu banyak yang kupunya karena pada akhirnya semua orang harus pindah meski sementara meski tak selamanya. Tahun itu usiaku masuk usia lima. Masa yang akan jadi tanda tanya bagiku pada dunia, pada saat aku harus keluar dari pelataran belantara. Begitu pikirku.
Aku akan segera punya toilet yang bagus, gumamku tanpa berkata.
RUMAH BIASA
Ada yang bercerita tentang makna sebuah kisah, kenapa selalu diceritakan berkali kali lagi dan lagi selama beberapa waktu hingga beberapa keturunan. Sebuah kisah tak selalu harus benar benar ada, biasanya yang terlihat menghibur dan sederhana. Seperti anak anak yang menyukai kisah tentang para hewan di hutan, laba laba malang dan juga perempuan sepatu kaca. Tidak tampak begitu menakjubkan, namun itu cukup membuat kagum mereka. Imajinasi seperti itu membutuhkan rasa simpati dan juga perasaan iba yang dalam untuk mendalami perasaan tokoh utama, tetapi aku selalu penasaran seberapa banyak anak anak bisa berbohong untuk menceritakan kembali sebuah kisah?
Setelah aku sampai pada ingatan tentang kelahiran dan kematian, aku kembali lagi pada ingatan masa kini. Diriku sudah dewasa, 29 hampir 30 dan itu membuatku agak bergidik setiap seseorang menanyakan usiaku tidak peduli siapa yang bertanya. Hari ini stasiun nampak ramai, telah nampak di luar hingga peron. Aku selalu duduk menunggu disini memikirkan banyak hal tentang masa kecil dan juga perjalanan ini. Aku tidak menyangka perjalanan ini begitu nampak mustahil bagi orang sepertiku, namun aku selalu tak mampu bergeming dari kursi 19 D. Aku selalu memilihnya, aku suka terutama jika itu ada di Gerbong 6.
Lalu akan selalu mengingat hari hari dimana sekolah terasa begitu mengasyikkan. Tahun 2000 adalah milenium yang baru. Semuanya terasa baru, tas baru, buku baru, dan juga teman baru. Pindah ke kota yang katanya provinsi lumayan membuatku kagum saat itu.
Di tengah bundaran itu ada seekor garuda perkasa yang terperangkap dan tak mampu terbang ke atas sana. Lampu jalanan malam dan lampu merah sudah cukup membuatku berbinar. Mungkin itu adalah salah satu alasan kenapa lampu lalu lintas dibuat terang berwarna. Siapa tahu ada jiwa kecil yang memperhatikannya berkedip kedip di tengah keramaian lalu menamainya sebagai lampu besar bermata merah, kuning, dan hijau.
Mata itu akan berganti saat manusia mulai tidak sabar menunggu atau sedang terlihat lelah sehabis pulang kerja. Maka mata itu terkadang jadi olokan atau kelegaan di saat bersamaan.
Rumah Nenek tidak begitu jauh, ada sebuah rumah kecil yang halamannya luas. Rumah yang sebelumnya ditempati seorang jawa yang biasa dan menyisakan ornamen keris di salah satu sisi dindingnya. Cat dinding nya putih tulang dan bagian dapurnya masih papan dan kayu. Aku paling suka jendela belakang karena bisa ditutup dan dibuka seperti pintu bunker besar yang melindungi rumah kecil ini dari serangan politik pada tahun itu yang begitu menggebu gebu.
Ada televisi di atasnya, sebuah televisi antik tanpa warna. Hitam putih dan juga kadang berubah bersemut abu abu. Keluarga dari Bapak tampaknya suka sekali menonton liputan dan berita. Aku tidak mengerti kenapa sekelompok orang mengambil batu dan kayu kemudian melemparkannya pada petugas di jalanan milik negara. Seringkali bus tumpangan itu nampak seperti akan oleng dan tumpah ruah. Lalu aku bertanya apa yang dilakukan orang orang pada saat itu?
Kakekku menjawab karena seorang penguasa diminta paksa turun oleh rakyatnya.
Sudah 2 tahun dan seperti tidak akan pernah usai.
Itulah arti Millenium baru di benakku.
Sekolahku biasa saja, sekolah taman kanak kanak yang dipenuhi dengan murid laki laki dan perempuan dengan identitas keagamaan yang lekat. Disana kami diajarkan mengaji, membaca, mempraktikkan gerakan sholat, dan tentunya bermain. Teman pada masa kanak kanak mungkin adalah yang paling pendiam, namun juga paling mengingat hal hal pertama. Ingatan pertama ku tentang sebuah kisah ku anugerahkan pada Abu nawas, kisahnya begitu jenaka. Dia juga pintar dan sangat cerdas meski terkesan agak licik dalam situasi tertentu. Saat itu kupikir ternyata sebuah kisah juga bisa bercanda, namun aku bukan pencerita yang baik. Aku tidak pernah bisa menceritakan kembali semua kisah di negeri 1001 malam.
Begitulah pada akhirnya aku menyadari keberadaanku di tengah tengah anak anak lain yang punya segudang keingintahuan dibungkus dengan kepolosan itu. Aku tidak begitu punya banyak teman, hanya 2 yang kuingat dan itu sudah termasuk perundungku. Pada waktu tertentu kami suka membeli permen manis berwarna di luar pagar sekolah dan itu sudah cukup untuk membuat kami menangis hingga pagar itu terbuka.
Di hari lain kadang mereka menjahiliku, mengataiku, dan juga bersikap sangat ketus. Anak anak dengan gigi berwarna coklat dan bergerigi yang meresahkan, tetapi aku masih merasa mereka hanyalah anak anak yang ingin berteman. Pernah satu kali mereka menjatuhkan ku dari ayunan, lalu besoknya aku membalas dengan menggigit tangan salah satunya tanpa memberi jeda. Anak itu menangis meronta ronta minta diselamatkan ibunya, sementara yang satunya melihatku tak berani dan seketika diam membatu tak berani mengadu.
Dengan seragam kecil serta sarapan yang berganti ganti tiap hari. Aku suka semuanya, aku suka saat ibuku menunggu ku di depan kelas. Dia tersenyum sumringah dan melupakan jalan panjang yang telah dilalui untuk mengantarku sampai ke sekolah. Jalanan sebuah perumahan yang jauhnya menuju jalan utama cukup melelahkan, satu tangannya menggandeng tanganku dan satunya lagi untuk menggendong arunika.
Kehidupan di perumahan tidak selalu indah seperti kelihatannya. Rasanya seperti baru kemarin orangtuaku berdiri di depan sebuah rumah besar milik seorang tentara. Ada salib besar di dinding ruang tengah dan juga tanaman mangga di sampingnya. Dari depan ada pohon kelapa yang masih remaja dengan batu batu besar di bawahnya dikelilingi pasir bercampur serpihan kerang pantai yang terpecah pecah. Bagian yang paling kusuka dari rumah itu adalah sebuah kamar di ruang tengah yang terpisah dari dua kamar lainnya. Toilet nya bagus dan besar, aku tak perlu khawatir tentang dahan pohon atau aliran sungai. Musim itu adalah musim yang membahagiakan bagi para petani, sebabnya harga kopi naik berlipat lipat dan mampu membuat petani mengantongi uang dalam jumlah besar sehabis panen.
Rumah besar itu mampu dibeli dengan segala pertimbangan yang diambil karena keinginan sepasang orangtua yang ingin menyediakan yang terbaik bagi anaknya dan kehidupannya. Aku suka sekali bermain dengan batu, mencari batu yang permukaannya halus. Merasakan permukaan yang halus dan bersih memberikan ketenangan, warnanya yang kadang biru keabuan kadang lebih hitam dari abu selalu menjadi daya tarik. Aku suka menyimpannya di dalam kantong gaunku yang kusebut kantong bermain. Setiap kerang dan bebatuan kecil di dalam pasir selalu mengajakku menemukan hal hal unik dari mereka. Kadang kadang aku menemukan batu kapur yang dapat kujadikan alat tulis di permukaan batu yang artinya hari itu adalah hari keberuntunganku.
Ada hari dimana aku berlari dengan menunjukkan nilai ulangan harian dan hadiah sebagai kado untuk ibu yang selalu bersemangat bangun pagi dan melakukan semua upaya yang dia bisa. Itulah kenapa semuanya lebih bermakna. Ada beberapa kalimat yang tertinggal dari saat aku disana bagaimana aku begitu mencintai sebuah kamar yang kuharap nantinya akan menjadi kamar rahasia saat aku beranjak remaja dan dewasa. Kamar itu masih kosong masih berupa udara belum ada apapun yang mampu mengisi setiap ruang demi ruangnya.
Dan pemburu harta karun kecil akan mengelilinginya sampai ke tempat bermain istimewanya. Tempat bermain paling besar seumur hidup yang mampu dia dapatkan. Daun mangga yang masih muda itu jadi ajang latihan memasak yang tidak main main. Pohon ketapang dan tumbuhan liar adalah dua tumbuhan yang juga sering ditemukan disini di antara ilalang dan tanah lapang.
Tidak jarang sepupu ku berkunjung bermain bersama dan berlarian kesana kemari. Itu adalah masa paling sulit dilupakan, lalu di antara setiap hal yang kukira tidak ada artinya ada sesuatu yang gelap menanti dan mengintip di balik sana.
Dirandra memanggilku keras sekali.
“Ala, berikan semua batu di kantong bajumu dan aku akan memberikan cemilan enak ini.”
Aku menggeleng.
Anak perempuan yang sangat pemberani dan berwajah masam itu hanya suka bermain denganku meskipun dia sering mengatakan aku bodoh dan menunjuk ke arah kepala ku setiap kali dia merasa dia paling benar. Dengan sifatnya itu, dia sangat sulit berbicara ramah dengan orang lain.
Baju biru dengan motif bunga hitam yang pernah ibunya berikan untukku masih ada, baju bekas Dirandra. Dirandra terlahir sangat cantik dan diliputi keberuntungan. Baju bagus sedari bayi, kulit putih itu, dan juga wajah seperti amoy (anak gadis tionghoa), namun sikapnya jauh dari kata halus nan lembut. Dia bukan orang yang suka basa basi bahkan di hari pertama sekolahnya.
Aku masih ingat bagaimana dia mengenakan baju seragam TK yang manis dan sesuai dengan karakternya. Rapi dan berkelas begitulah gambaran dirinya, kemudian dia memelototiku membalas tatapan lama yang kuberikan padanya karena saking takjubnya.
“Apa liat liat?! Wajahmu seperti orang bodoh!”
“Pasti senang rasanya pergi sekolah di hari pertama”, jawabku.
Dengan ekspresi wajah yang tidak sesuai usianya, dia membalas dengan mengatakan sesuatu yang sangat kuingat.
“Orang bodoh sepertimu ingin pergi ke sekolah, memangnya bisa?”
Aku terdiam sejenak dan bertanya pada diriku lagi kenapa jawaban itu sedikit menyakitkan.
Terlepas dari kepribadiannya, dia adalah orang yang menggemaskan.
Dirandra kadang meninggalkanku dan memilih bermain dengan teman lain, tapi berujung tetap mengajakku atau kembali padaku.Dia selalu memberikan pilihan sulit saat kami masih kanak kanak antara akan mengikutinya atau dia yang akan meninggalkanku. Aku akan memilih untuk selalu mengikutinya karena entah kenapa aku selalu kagum dengan apa yang ada di dirinya.
Semua yang ada di dirinya.
Dengan karakter anak anak yang khas dan juga usaha untuk selalu menjelajah. Seringkali aku masuk ke dalam rumah yang perabotannya lebih banyak dan lebih bagus daripada yang ada di dalam rumahku.
Bagian dalam rumahku agak kosong. Luasnya memang sangat luas hingga mampu menempatkan halaman depan, halaman samping, dan halaman kebun belakang, namun kami hanya punya sebuah tv kecil hitam putih di bagian ruang tengah. Sangat berbanding terbalik dengan ruangan luas yang menunggu diisi. Di bagian dapur juga tidak ada perabotan makan mewah dengan gelas minum anggur yang mulia itu hanya meja panjang yang perabotannya ditumpuk seadanya.
Jadi dari sekian banyak acara anak anak yang ada di televisi pada waktu itu. Aku hanya berkesempatan menonton dua atau tiga dalam sehari sisanya adalah waktu belajar. Pernah suatu kali aku ke rumah tetangga dan dia punya DVD player terbaru berisikan lagu lagu trio dan film kartun kesukaan dan itu cukup menyenangkan menghibur hatiku sebelum pulang.
Aku pernah mengunjungi rumah tetangga yang lain yang lantainya tanah dan di depannya penuh batu bata. Aku tersadar aku harusnya cukup berbahagia apalagi lingkungan sekitar rumah adalah lingkungan yang kusuka. Ada rumah di depan sana, rumahnya tidak mewah terbuat dari kayu dan papan biasa. Tau apa yang Istimewa, mereka punya ayunan di bawah pohon markisa. Jika kita tidur di atas ayunan itu, kita akan melihat sesuatu yang berbeda seperti dahan dengan latar belakang surga.
Bencana juga bisa datang dengan tidak diduga, bencana gempa mungkin salah satunya. Mereka berteriak keras malam itu memanggil-manggil nama sebelum ada korbannya. Untunglah, Ibu, aku dan Arunika dapat keluar bertiga. Bapak sedang jauh di belantara berusaha berjuang bekerja. Malam itu kami tidur di sana di rumah kayu dengan ayunan pohon markisa.
Esoknya muncul berita jumlah korban yang tidak sedikit dan rumah yang porak poranda. Taman belakang rumah terbuka hampir setengah. Ibuku mengelus dada dan menghela nafasnya. Menyaksikan bahwa kita harus selalu waspada dan hati-hati melangkah kemudian bergerak untuk menata sisa sisa.
Ternyata itu adalah awalnya, yang disebut bencana bisa jadi lebih besar daripada itu.
Tak jarang bencana itu tersirat di dalam rumah tangga yang senantiasa terlihat baik baik saja namun sungguh membuat kecewa. Ingatan buruk sebuah rumah berasal dari kenangan yang tidak ingin diulang terutama pada bagian mengingat emosi yang ada di dalamnya.
Bapak pulang dengan terengah-engah dan menemukan Ibu terbaring di kamar setelah menangis seharian. Aku tak pernah lupa bagaimana rasa kecewa itu membuatku berpindah menjauh dari seseorang karena sosoknya tak lagi hangat. Banyak hal yang kurasakan tetapi tidak kumengerti, Bapak terlihat sedang membujuk waktu agar berpihak padanya dan tidak perlu berjibaku.
Dua piring mie ayam diletakkan di depanku sebagai ganti uang celengan ayamku. Lalu aku tak melihat celengan ayam itu untuk beberapa waktu. Bapak pergi tergesa-gesa dengan muka lesu dan sendu. Malam itu aku bertugas menjadi pemandu atau lebih tepatnya pengantar surat yang harus menceritakan situasi dalam bisik-bisik malam yang sangat biru. Aku merasakan sakit di sekitar pipiku, tanda aku gagal jadi pemandu.
Setelah itu, ruangan tengah seperti ruang rapat mertua dan menantu. Ada pihak yang berdebat di sana dan di situ. Aku tidak mengerti keributan apa yang sangat besar hingga mampu membuat satu keluarga saling membantah tanpa ragu. Ternyata di belantara Bapak bertemu dengan hantu, hantu wanita di sungai berbatu. Entah apa yang sebenarnya dilakukan Bapak dan hantu itu, namun apapun itu tak pernah kulihat Ibuku memiliki wajah sesedih itu.
Tidak mudah menyelesaikan suatu perkara hingga beberapa waktu itu terasa sangat lama. Banyak yang terjadi dan dari semua pilihan yang ada. Mereka memutuskan menjual rumah, entah karena kenangannya atau karena keadaan yang tidak berpihak pada keuangan mereka sebagai orangtua muda.
Harga telah ditetapkan, dibandingkan dengan harga membeli harga jualnya sangatlah murah. Aku masih bergelayut di dinding kamar yang ku rencanakan akan jadi kamar masa depanku. Aku tertidur di sana lalu merasakan kehilangan yang dalam. Sangat singkat rasanya menjalani hari dengan perasaan yang tidak terselesaikan. Televisi di ruang tengah dijual juga dengan harga yang tidak seberapa. Aku melihatnya diangkat di depan kedua mataku dan memeluk ibuku. Aktivitas berberes dan mencari rumah baru akan sangat menyebalkan pikirku. Setelah aku melihat calon pembeli dengan seragam rapi, terlihat seperti seorang guru muda.
Kesepakatan itu telah disetujui, sertifikat rumah dan semua yang ada di dalamnya diserahkan dengan resmi menyertakan saksi. Diakhiri dengan berjabat tangan dan ucapan terimakasih. Penghuni baru itu tersenyum padaku seolah mengatakan bahwa mulai dari waktu itu tempat itu bukan lagi rumahku.
Dan disanalah awal sebuah kisah mulai tak menemukan pintu.
Kreator : Vahlufi Eka Putri
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: 19 D
Sorry, comment are closed for this post.