Bab 1: Jejak Masa Kecil yang Hilang
Langit mendung menggantung di atas SMA Gemilang. Hawa gerah membuat suasana terasa berat, seolah menambah beban pikiran Ali yang sejak pagi terus memikirkan satu hal Alliah. Ali berusaha untuk tidak terlihat mencolok saat ia berdiri di dekat lapangan basket, tempat yang sejak kecil menjadi saksi kebersamaannya dengan Alliah. Pandangannya tertuju pada sosok Alliah yang berjalan melintasi lapangan bersama teman-temannya. Rambut hitam pendeknya yang tampak berkilau terkena cahaya matahari sore, bergerak seiring langkahnya yang luwes. Wajahnya yang halus dengan lesung pipit kecil di pipinya membuat dadanya terasa hangat dan perih secara bersamaan.
“Apa dia masih ingat?” pikirnya, mengingat masa kecil mereka saat Alliah selalu menantangnya lomba lari mengelilingi lapangan yang kini terasa semakin kecil.
Di saat yang bersamaan, terdengar suara sorakan dari arah teman-temannya, yang memanggil Ali untuk bergabung bermain.
“Ali! Turun, dong!” seru Bayu, temannya yang tak henti mengajaknya bermain basket.
Ali hanya mengangguk, tapi matanya tetap tertuju pada Alliah, yang kini sibuk menonton pertandingan basket dengan teman-temannya di pinggir lapangan.
Selama permainan, pikiran Ali terus melayang. Ia teringat masa kecil bersama Alliah, pada hari itu, sepuluh tahun yang lalu, langit sore di atas desa mereka dipenuhi warna jingga kemerahan. Ali kecil, dengan tubuh kurus dan rambut hitam berantakan yang selalu menutupi dahi, berlari mengejar Alliah yang selalu lebih cepat darinya. Gadis kecil dengan rambut sebahu yang dikuncir kuda itu memiliki wajah ceria yang sama dengan saat ini, matanya selalu berbinar saat mereka bermain bersama, seolah dunia milik mereka berdua. Ali sering merasa kagum pada mata besar Alliah yang selalu memancarkan kebahagiaan.
“Alliah, tunggu aku!” teriak Ali kecil, mencoba mengejar langkah Alliah yang selalu lebih cepat. Gadis itu menoleh, menunjukkan senyuman cerahnya, lalu berhenti mendadak, menunggu Ali yang terengah-engah menghampirinya.
“Kau ini lambat sekali, Ali!” ujar Alliah, mengejek sambil memukul lengannya pelan.
“Kapan kamu akan bisa lari lebih cepat dariku?”
Ali mendelik pura-pura kesal. “Aku hanya mengalah! Supaya kamu merasa menang terus.”
Alliah tertawa, dan tawa itu selalu diingat Ali sebagai suara terindah yang pernah didengarnya. Mereka duduk di bawah pohon besar yang berada di tepi lapangan, memandang langit sore yang semakin gelap. Di bawah pohon itu, Ali selalu merasa nyaman, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
“Alliah, kita akan selalu begini, kan?” tanya Ali kecil dengan polos.
Alliah tersenyum, mengangguk sambil memetik daun kering yang jatuh di rambutnya.
“Tentu saja, Ali. Selamanya!” jawabnya dengan suara ceria, tanpa beban. Dan janji kecil itu menjadi salah satu kenangan yang paling berharga dalam hidup Ali. Tapi kini, janji itu terasa begitu jauh, seperti bagian dari mimpi yang memudar seiring waktu.
Kenangan lain pun melintas di benak Ali, ketika hujan deras mengguyur desa mereka. Saat itu, mereka baru saja selesai bermain petak umpet di pekarangan rumah Alliah. Langit mendadak gelap, disusul suara petir yang menggelegar dan membuat mereka terkejut. Sebelum sempat mencari tempat berlindung, hujan turun dengan derasnya.
“Alliah! Cepat lari, hujan deras!” seru Ali, menarik tangan Alliah dengan cemas.
Namun, Alliah hanya berdiri diam, mendongak ke atas menikmati setiap tetes hujan yang jatuh membasahi wajahnya. Rambut hitam pendek basah kuyup, dan wajahnya berseri-seri, tersapu air hujan yang mengalir dari dahi hingga ke dagunya.
“Ali, bukankah ini indah? Lihat, airnya mengalir seperti air mata langit,” katanya dengan mata berbinar.
Ali kecil tak bisa memahami kenapa Alliah begitu menikmati hujan deras yang mengguyur tubuh mereka. Namun, ia tetap di sana, berdiri bersama Alliah di bawah hujan, tanpa kata-kata. Bagi Ali, melihat Alliah begitu bahagia dalam hujan adalah momen yang tak akan terlupakan.
Namun, di tengah keindahan itu, sebuah petir menyambar pohon besar tak jauh dari mereka, menciptakan suara gemuruh yang mengejutkan dan membuat Alliah terpeleset, jatuh terduduk di atas tanah yang kini penuh lumpur. Ali, yang refleks ingin membantu, malah menarik tangan Alliah terlalu kuat hingga membuat gadis itu jatuh semakin keras ke tanah. Lutut Alliah berdarah, dan ia mulai menangis, kesakitan.
“Alliah, maaf… maaf… Aku cuma mau menolong!” Ali panik, tak tahu harus berbuat apa selain meminta maaf berulang kali.
Dengan wajah basah oleh hujan dan air mata, Alliah hanya mengangguk sambil menahan tangis. Ali akhirnya menggendongnya untuk berjalan pulang. Sepanjang jalan, ia menggenggam tangan Alliah erat-erat, memastikan bahwa gadis itu tidak akan jatuh lagi. Namun, di dalam hatinya, rasa bersalah mulai menyelinap, dan Ali tak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Sesampainya di rumah Alliah, ibunya terkejut melihat keadaan mereka dan segera membawa Alliah masuk.
Malam itu, peristiwa hujan deras dan cedera Alliah meninggalkan dampak yang lebih besar dari yang Ali duga. Ali kemudian mendengar kabar dari teman-teman bahwa Alliah tidak diperbolehkan bermain di luar rumah untuk waktu yang lama. Orang tua Alliah cemas dan marah pada dirinya, terutama karena Ali adalah yang terakhir bersama Alliah saat gadis itu terluka.
Waktu demi waktu berlalu, dan sejak kejadian itu, Alliah jarang terlihat di luar. Bahkan ketika mereka mulai SMA, Ali menyadari bahwa hubungan mereka tidak pernah kembali seperti semula. Ia merasa seolah ada tembok yang tak kasatmata di antara mereka. Rasa bersalah itu terus menghantui Ali, menjadi alasan mengapa ia tidak pernah berani mendekati Alliah lagi. Ali terus memendam perasaan bersalah itu dalam diam, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Perasaan itu menjadi salah satu kenangan yang paling sulit untuk ia lupakan, karena kejadian itu tak hanya melukai Alliah secara fisik, tetapi juga perlahan merenggangkan ikatan di antara mereka.
Kreator : Thoriq Abdurrohman Taqy
Comment Closed: 20,000 Hz Inaudible Resonance
Sorry, comment are closed for this post.