Ini adalah hari dimana 33 tahun yang lalu, resepsi pernikahan kami berlangsung. Ma shaa Allah, waktu bergulir begitu cepat. Aku merasa baru beberapa waktu yang lalu aku masih disibukkan mengurus anak-anak yang masih kecil-kecil. Kini aku dan Mas Adi, suamiku tinggal hanya berdua di rumah. Ke enam anak-anak kami bisa dikatakan sudah mandiri. Jadi kami sekarang hanya mengurus dan melayani diri kami sendiri.
Awal September yang sangat cerah.
Udara hangat membuat suasana hati ikut cerah. Tumben, mas Adi minta makan sore pakai bakso. Padahal beliau bukanlah pencinta makanan favorit banyak orang itu.
Wah, itu ajakan yang menarik. Aku tentu saja langsung setuju. Dengan berbekal dua puluh ribu rupiah aku ke warung bakso yang tidak jauh dari rumah. Hanya butuh waktu 15 menit, aku sudah tiba di rumah. Plus aku membawa satu botol air kelapa tua 1 literan. Kebetulan di depan warung bakso ada kios parut kelapa, nah pemiliknya adalah seorang laki-laki paruh baya yang sangat ramah. Air kelapanya hanya dibagikan secara gratis. Dia sudah hafal siapa saja yang sering datang minta air kelapa termasuk aku.
Ngomong-ngomong kenapa aku membahas air kelapa ya? Oiya, air kelapa tua sangat cocok bagi orang yang tua seperti kami. Sedang air kelapa muda cocok bagi orang muda. Begitu kata dr. Zaidul Akbar, seorang dokter keturunan Arab yang terkenal konsen pada pengobatan alami. Katanya, cairan Isotonik yang terkandung dalam air kelapa dapat mengikat racun di dalam tubuh dan kemudian mengeluarkannya lewat air seni. Andai saja banyak orang menyadarinya, tentu tidak ada cerita tentang air kelapa dibuang percuma, seperti cerita bapak pemilik kios parut kelapa. Tidak jarang air kelapa hanya dibuang begitu saja, tidak diminum. Padahal aku bahkan rela membelinya jika tidak dibagikan secara gratis.
Demikianlah kami makan bakso berdua ditambah dengan minum air kelapa. Sungguh nikmat tak terkatakan.
Sebenarnya yang membuatnya nikmat adalah perasaan bahagia yang sedang bersemi di hati kami. Tak sengaja kami kembali mengenang masa-masa 33 tahun lalu. Masa sulit yang mewarnai masa lalu kami seakan hanya sebuah cerita biasa yang lewat begitu saja. Kami bersyukur bisa melewati semua kesulitan-kesulitan itu dan kini sampai dititik dimana kami selalu mengucapkan “Alhamdulillah”.
Menghayati betapa indah kehidupan yang kami jalani itulah yang menjadikan makan bakso terasa nikmat tak terkira.
Aku tak tau kenapa, aku merasa sudah membayangkan rumah kami ini puluhan tahun yang lalu. Rumah mungil dengan halaman yang penuh bunga. Kicauan burung terdengar sepanjang hari dari alam bebas. Lingkungan yang ramah dan hangat. Sungguh aku sudah membayangkan semua itu jauh-jauh hari sebelum kami berada di tempat ini. Kenyataannya jauh lebih indah dari yang aku bayangkan. Allah maha baik telah menganugerahkan semua ini kepada kami.
Hari-hari kulalui dengan jadwal yang padat. Aku merasa perputaran waktu 24 jam itu sangat cepat. Ada beberapa agendaku yang tidak tergarap setiap harinya.
Seperti biasa aku berada di Mushola dari jam 03.30-06.00. Ini dapat berjalan sesuai target jika tidak ada anak-cucu yang menginap. Sebab biasanya Mushola dipakai secara bergantian. Ukurannya terlalu kecil untuk digunakan bersamaan. Tidak bijaksana kalau aku berlama-lama di sana. Kalau aku belum sempat mandi sebelum sholat Subuh maka biasanya aku mandi dulu sebelum ke luar rumah. Hasrat utama tentu saja melihat kebun bungaku. Aku sangat menikmati meneliti satu persatu tanaman hias yang kutanam sendiri. Adakalanya hanya sekedar melihat, adakalanya membuang daun-daun yang mengering atau menggunting dahan yang terlalu panjang. Atau memindahkan posisi mereka yang kurang cocok. Misalnya ada tanaman yang daunnya mengering karena berada di tempat yang terlalu panas atau mengeluarkan tanaman dari tempat teduh ke tempat yang cukup sinar matahari. Menyiram tanaman yang tidak kena siraman air. Hal ini bisa saja terlewatkan bila penyiraman dilakukan dengan selang air.
Pokoknya berada di kebun itu sangat mengasyikkan bagiku. Aku bisa berlama-lama di kebun di hari Senin dan Kamis sebab di hari selain kedua hari itu, hariku disibukkan dengan membuat sarapan dan memasak di dapur. Biasanya waktuku habis beberapa jam untuk menyelesaikan pekerjaan emak-emak. Pekerjaan yang tak pernah aku sukai, bahkan sampai aku sudah bercucu delapan orang pun seperti sekarang ini. Meskipun demikian pekerjaan itu tetap aku lakukan dengan riang hati dan kuselesaikan dengan tuntas.
Aku selalu berusaha meninggalkan dapur dalam keadaan bersih, rapi dan kinclong usai kegiatan masak memasak tersebut.
Ya, ada beberapa pekerjaan yang harus kita kerjakan tidak peduli kita suka atau tidak dan ada pekerjaan yang kita sukai harus ditinggalkan tidak peduli kita rela atau tidak rela. Ini biasa terjadi dalam perkawinan.
Jika dua belah pihak mau berkorban untuk orang yang disayangi maka akan tercipta kebahagiaan bersama. Tetapi jika ada salah satu yang egois, tidak mau mengalah maka tunggu saja waktunya, “perang” dalam rumah tangga akan berkobar. Cepat atau lambat.
Wejangan ini yang sering kami sampaikan ke anak-anak. Kami berharap, mereka dapat mengambil beberapa pelajaran berharga dari kehidupan kami diusia senja ini.
Comment Closed: 4 September 2021
Sorry, comment are closed for this post.