Aku jadi teringat kalimat ‘Jangan lihat casing-nya tetapi lihat dulu isinya’ atau kalimat ‘Nggak penting casing-nya, yang penting isinya.’
Secara fisik, Papaku memang mudah dikenali. Bukan karena kulit yang putih bersih. Justru sebaliknya, karena kulitnya yang hitam manis.
Hitam, selain karena Papa beretnis orang Ambon juga karena teriknya mentari kota Surabaya yang membakar kulitnya sepanjang hari. Betapa sehari-hari Papa harus melintasi jalanan kota Surabaya dari rumah kami di Simomulyo Baru Ngesong menuju kampus IKIP Ketintang. Lalu membelah jalanan kota Surabaya menuju SMA Muhammadiyah 2 Pucang. Sekian jam kemudian, sudah menuju kampus IKIP Muhammadiyah Kapasan.
Masih teringat dengan jelas betapa aku suka sekali memegang telapak tangan Papa yang hangat dengan punggung tangannya yang berwarna coklat kehitaman. Kontras dengan tangan Mama yang kuning bersih. Ha ha ha, aku jadi tersenyum sendiri mengingat betapa Nyong Ambon Manise ini yang berhasil memenangkan hati Mama.
Mama pernah bercerita padaku di suatu malam yang hening saat aku sudah akan beranjak menuju ke negeri mimpi.
“Papamu itu, orang Ambon tapi njawani. Malah bisa dikata, ngalah-ngalahi wong Jowo lho, Mbak,” begitu kalimat Mama mengawali ceritanya.
“Kok bisa Ma?” tanyaku penasaran.
“Orang Ambon itu biasanya keras mbak, tipikal orang luar daerah. Nah kalau Papamu itu, hati dan sikapnya lembut, kalem, kayak orang Jawa. Justru sebaliknya, ada orang Jawa yang hati dan sikapnya malah keras,” jelas Mama panjang lebar dan penuh penghayatan.
Tak akan pernah ku lupa, ekspresi Mama ketika menceritakan hal njawani ini. Masya Allah, penuh cinta dan sayang. Aku jadi tersenyum sendiri demi melihat ekspresi Mama malam itu. Mama … Mama, paling bisa romantis deh kalau sudah cerita tentang Papa, belahan jiwanya. Urusan ini, emang deh Papa seng (tidak) ada lawan. Seng ada kecap nomor dua pokoknya, bagi Mama.
Kreator : Maryam Damayanti Payapo
Comment Closed: 7. Casing Nomor Kesekian, yang Penting Hatinya
Sorry, comment are closed for this post.