Semua orang pasti pernah membenci hujan, aku juga. Bukan karena aku tidak membawa payung. Masih ada tempat untukku berteduh. Aku hanya membenci fakta bahwa hanya ada satu tempat untukku berteduh. Andai saat itu aku menerobos hujan saja.
Namaku Van, seorang pengangguran… untuk saat ini. Aku saat ini sedang melamun di tengah-tengah keramaian manusia. Dengan pakaian rapi yang mulai kusut, membawa map plastik berisi tumpukan kertas. Aku berkali-kali menghela napas, aku merasa lelah. Matahari nampaknya akan segera terbenam sebentar lagi. Kerumunan manusia ini mulai bergerak bersama begitu melihat lampu lalu lintas menyala merah. aku mengikuti tanpa berpikir terlalu banyak. Benakku sudah berkelana entah menuju sudut mana. Kurasa aku sudah berjalan lumayan jauh ketika aku merasakan tetesan air di wajahku. Kupikir itu adalah air mataku, sebelum aku menengadah menatap langit.
“Hujan…” gumamku pelan.
Tanpa menunggu lagi aku mulai mempercepat langkahku menuju rumah. Setidaknya, suatu tempat untuk berteduh. Tanpa sadar, secara perlahan aku mulai berdebat dengan diriku sendiri di bawah hujan.
“Sungguh konyol…”
“Apanya?”
“Hidup ini, tentu saja.”
“Bagaimana mungkin?”
“Bagaimana tidak? Setelah seharian penuh berjuang dengan keyakinan indah bahwa semuanya akan baik-baik saja, aku mulai diserbu ribuan kemalangan.”
“Mungkin saja itu hanya sebuah kebetulan…”
“Kebetulan matamu! Bagaimana mungkin kebetulan berlangsung tanpa jeda sama sekali?!”
“Entahlah, kurasa Tuhan memiliki alasannya tersendiri.”
“Ke-“
“Permisi!!”
“Hm?”
Dalam waktu singkat aku tarik kembali kesadaranku dari lamunan yang terkesan gila. Tanpa kusadari aku sudah berteduh di bawah halte bus. Entah bagaimana caranya aku bisa tiba di tempat ini. Di sampingku ada seorang wanita yang sedari tadi menatapku dengan wajah khawatir. Sepertinya barusan dia memanggilku?
“Anu-”
“Kamu gak apa-apa?”
“Eh? Oh, iya, aku gak apa-apa”
Wanita ini kenapa? Dia tiba-tiba memotong ucapanku, dan lagi, bertanya tentang kabarku? Sepertinya dia adalah tipe manusia yang dianggap eksentrik, ya?
“Syukurlah… maaf ya, tiba-tiba nanya kayak begitu. kamu barusan keliatan kayak hantu soalnya.”
Wanita itu tertawa kecil menceritakan alasannya
“Bukan masalah…”
Aku reflek membuang muka melihat tawanya. Jujur saja, aku sendiri tidak tahu alasannya.
“Ngomong-ngomong, aku Lena.” Dia mengulurkan tangannya ke arahku.
“Van.” aku menjabatnya dengan kaku.
Aku merasakan sesuatu yang aneh di tanganku, seolah dia tengah memberikan sesuatu kepadaku. Ketika dia menarik tangannya, kulihat sebuah bungkusan kain kecil yang diikat dengan pola yang rumit menggunakan pita abu-abu. Aku menatap Lena sejenak, dan dia balas menatapku dengan sebuah senyuman usil. dari tatapannya, dia seolah mengatakan kepadaku untuk membuka bungkusan itu. Yah, aku tidak akan terlalu curiga untuk saat ini.
Setelah berkutat dengan pita untuk beberapa waktu, aku akhirnya berhasil membuka bungkusan kecil itu. Lena tertawa kecil melihat perjuanganku dan bertepuk tangan pelan begitu aku berhasil. Entah kenapa aku merasakan kebanggaan yang aneh ketika mendapatkan tepuk tangan darinya. Sungguh, seperti anak kecil saja. Di dalam bungkusan itu ada sebuah kubus kecil berwarna cokelat.
“Cokelat?”
Aku reflek menyuarakan kebingunganku sendiri dan dia tertawa menyaksikannya
“Iya, aku membuatnya sendiri. Kamu adalah orang pertama yang berhasil membukanya lho.”
“Serius? Memangnya sudah berapa orang yang kamu tawarkan?”
“Ehm… baru satu sih.” Dia langsung memalingkan wajahnya.
“…”
Aku kehabisan kata-kata mendengarnya. Yah, saatnya mengganti topik
“Ini kamu yang buat, kan?”
“Eh? Iya, itu aku yang bikin.”
“Aku makan gak apa-apa kan?”
“Gak apa-apa kok, memang tujuannya buat aku kasih.”
Untuk sekilas, aku melihat suatu kesedihan di matanya.
Aku tidak terlalu menghiraukannya dan langsung melahap cokelat itu seutuhnya. Ukurannya cukup kecil, tapi rasanya sungguh luar biasa. Aku merasakan betapa renyahnya tekstur luar dan begitu digigit, ledakan kecil terasa, menumpahkan campuran antara krim cokelat dan bubuknya. Rasa manis dan pahit yang seimbang membuatku melamun untuk beberapa waktu.
Aku mulai tersadar kembali ketika kulihat sesuatu ada tepat di depan mataku. Tangannya melambai beberapa kali di depan wajahku, seolah ingin menyadarkanku dan dia memang berusaha menyadarkanku. Dia menunjuk wajahku dan aku spontan meraba wajahku sendiri. Dengan cepat aku menemukan sebuah ‘Air terjun’ tengah mengalir dari ujung mulutku. Aku menyeka ‘Air terjun’ itu secepatnya dalam diam. Lena tertawa begitu kencang melihatku. Kurasa wajahku samar-samar merona malu mendengarnya.
Begitu tawanya mulai mereda, dia menatapku lembut dan bertanya.
“Bagaimana? Enak?”
Aku menjawabnya dengan mengangguk. Lena memasang wajah tidak percaya seolah kata-kataku hanya penghibur saja.
“Aku serius Lena.”
“Begitu…”
Lena memalingkan wajahnya sembari bergumam pelan. Rasanya wajahnya merona barusan.
Rasa canggung yang asing mulai hadir di antara kami. Dalam jeda sunyi itu, akal sehatku perlahan berjalan kembali. Membuatku mulai memikirkan sejenak, tentang apa yang tengah terjadi saat ini. aku sejujurnya enggan untuk merasa peduli dengan alasan, namun untuk yang satu ini, rasa penasaranku tergelitik dengan kuat. Sampai-sampai aku tak bisa lagi tertawa dan hanya kesulitan bernapas. Maksudku, hei, kami baru saja berjumpa. Agak sulit bagiku untuk percaya bahwa ada seseorang yang akan bersikap seramah ini. aku tahu, tidak semua orang itu sama. Tapi-
“Van?”
“Ng?”
Aku kembali menatap matanya yang tengah menatapku. Dia tersenyum lembut dengan ekspresi yang entah kenapa terasa familier. Pendaran mentari berpendar lembut di belakangnya, menciptakan siluet samar yang menutupi matanya. Tunggu, mentari?
“Hujannya berhenti. Kamu gak pergi?” suaranya bergetar samar.
Ada apa?
“Ah, benar juga…”
Aku punya kesempatan, lebih baik mulai bertanya sekarang daripada tidak sama sekali. Kutatap matanya dengan ekspresi datar yang sama. Aku harap dia tidak menyadari ada hal yang aneh dengan sikapku.
“Kamu sendiri gimana?”
“Aku? Ehm… aku akan tetap disini, Menunggu sampai bus selanjutnya tiba.”
“Begitu…”
Bohong.
Aku tahu itu hanya sebuah kebohongan.
Bahunya bergetar, matanya menghindari tatapanku, tangannya tersimpan di belakang, dia berbohong. Itu, menyakitkan. Tapi tak apa. Aku takkan terlalu khawatir, kami baru berjumpa, aku bukan siapa-siapa baginya.
“Kalau begitu,-“
Aku meregangkan tubuhku sedikit.
“Aku pergi duluan, ya?”
Sekali lagi kutatap mata itu, dan pantulan yang berbeda jelas terlihat disana.
“…Tentu”
Lena tersenyum lebar, namun matanya terpejam. Mungkin jika ini hanya sebuah mimpi, aku akan benar-benar terpesona. Namun hujan baru saja berhenti, dan mimpi takkan selamanya disini.
“Terima kasih untuk cokelatnya.”
Aku segera mengalihkan pandanganku dari wajahnya dan melangkah pergi.
“…Sama-Sama.” Suaranya terdengar begitu pelan.
Aneh, jujur saja, aku merasa aneh. Kami baru berjumpa dan jelas sekali perpisahan seperti ini wajar untuk terjadi. Kami sepasang orang asing, aku terus menekankan hal itu tanpa henti. Tentu, dia memberikan sesuatu kepadaku, bersikap ramah, tapi itu saja. Tidak ada apa-apa lagi setelah itu.
Benar, tidak ada apa-apa lagi setelah itu… kan?
***
“Fuuh…”
Matahari sudah terbenam entah sejak kapan. Yang kutahu aku tiba sebelum itu terjadi. Tanpa banyak mengambil jeda, aku langsung mandi dan membersihkan rumahku yang sebenarnya tidak terlalu berantakan. Sekarang ini aku tengah menikmati segelas teh hangat yang baru kuseduh di ruang santai. Sendirian…
Sebenarnya agak terlalu kasar jika dibilang aku menikmati ini semua sendirian. Toh, masih ada TV yang menyala di hadapanku. Berita yang disiarkan memang membosankan, tapi setidaknya ini lebih baik daripada sunyi. Hujan kembali tumpah beberapa waktu setelah aku sampai. Hawa dingin terasa menusuk walau tidak terlalu dalam. Aku memang hanya mengenakan kaos lengan pendek polos dan celana tidur saja. Mungkin jika kondisiku saat ini dijadikan sebuah episode drama, aku yakin banyak penonton yang akan merasa iba. Seorang pria muda dengan rambutnya yang masih setengah basah, duduk sendirian sembari menggenggam segelas teh hangat yang asapnya masih mengepul samar. Hanya ditemani acara TV yang membosankan, dengan lampu yang sengaja dimatikan. Sungguh, sebuah suasana yang terkesan amat menyedihkan. Walau begitu, aku cukup menyukainya.
Aku masih menikmati suasana ini untuk beberapa waktu. Sebelum acara di TV berubah menjadi horor. Jujur saja, aku sedikit membenci hal yang menakutkan. Jadi, tanpa berpikir panjang, aku langsung mematikan TV dan mulai menikmati teh buatanku dalam sunyi. Walau, yah, hal itu juga tidak bertahan terlalu lama.
Suara ketukan terdengar pelan dan nyaris ditelan oleh suara hujan di luar sana. Aku yakin suara itu berasal dari pintu depan. Dengan santai ku letakkan gelas di atas meja dan berjalan mendekati pintu depan. Pintu rumahku tidak memiliki kaca pengintip, jadi satu-satunya cara adalah membukanya langsung.
“Ha- Lena?”
“Ahaha, halo Van.”
Aku sangat terkejut mendapati Lena berdiri di balik pintu dengan tubuh yang basah kuyup. Kurasa dia terkena hujan di tengah perjalanannya. Tapi bagaimana dia bisa tahu ini rumahku ya? Ah, sudahlah, itu tidak terlalu penting saat ini.
“Masuk saja dulu. Nanti kita bisa berbincang.”
Ku buka pintu lebar-lebar sembari mempersilahkan dirinya masuk.
“…Terima kasih.”
Dia melangkah masuk perlahan dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada dan tubuh yang bergetar. Dia menggigil. Itu jelas sekali.
“Kamar mandinya ada di samping dapur, di dalam ruang laundry. Mandilah dulu, ada air hangatnya. Aku akan segera membawakan handuk dan baju ganti” Kutunjuk pintu ruang laundry lalu berlari kecil menuju kamarku. Aku tidak menunggu sampai dia memberikan jawaban apapun karena kulihat dia sudah kedinginan dan akan merepotkan jika dia jatuh sakit di rumahku.
“Hmm…”
Aku terdiam sendiri di depan lemari pakaian. Akan mudah jika aku hanya perlu membawa handuk. Tapi saat ini pakaiannya basah dan aku jelas tidak bisa memberikannya selembar kaos tipis seperti yang aku gunakan ini, bukan? Dan lagi, memangnya ukuran baju kami sama? Kurasa dia sedikit lebih kecil dariku. Ah, benar juga. Masih ada yang itu. Segera, aku merogoh bagian dalam lemari itu dan menarik keluar satu set piyama tidur bermotif garis. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menggunakan benda ini. Piyama yang kupesan online karena diskon tanpa membaca deskripsinya ini hanya pernah ku pakai sekali saja. Alasannya sederhana, warnanya pink. Selain itu benda ini terlalu kecil untukku. Yah, harusnya ini cukup.
“…Lena?”
Kuketuk pintu ruang laundry secara lembut, memastikan dia tidak sedang berada di luar kamar mandi.
Tidak ada jawaban. Kuputar kenop pintu perlahan dan mulai membukanya. Suara shower terdengar samar di balik pintu. Setelah mengambil jeda beberapa saat aku mulai mengintip kecil melalui celah pintu yang terbuka dan menemukan siluet Lena dibalik pintu kamar mandi yang buram.
‘Fyuh…’ aku menghela nafas lega sebelum kemudian masuk ke dalam ruang laundry dan meletakkan pakaian dan handuk yang kubawa.
“Pakaianmu ada disini ya.”
Aku mengeraskan suaraku sedikit, memastikan Lena mendengarnya. Siluet di balik pintu itu terdiam sebentar sebelum kemudian mengangguk. Aku lalu keluar ruangan dengan pelan dan menutup pintunya.
“Teh atau Kopi?”
Entah kenapa aku sedikit kebingungan dengan minuman. Aku ingin menyajikan sesuatu untuk menghangatkan dirinya, sekaligus untuk membalas cokelat pemberiannya. Sayangnya dapurku memiliki keterbatasan bahan saat ini, dan yang bisa kusajikan terbatas pada teh atau kopi.
“…ah, terserahlah.”
Aku menyerah berpikir dan mulai menyeduh teh. Tidak ada alasan khusus, aku asal memilih saja.
Secara kebetulan, begitu aku selesai menyeduhnya, dia keluar dari kamar mandi dengan handuk menggantung di bahunya. Mata kami langsung bertemu saat itu juga, aku dengan santai membawa gelas miliknya dan berjalan mendekat.
“Duduk saja dulu di depan TV, aku akan menyusul sebentar lagi.”
Aku menyodorkan gelas itu kepadanya dan mengambil handuk dari bahunya. Tanpa menunggu reaksi apapun aku segera masuk ke dalam ruang laundry dan lanjut mencuci pakaiannya. Aku tahu, tindakanku memang terkesan dingin, tapi mau bagaimana lagi. Setidaknya sampai dia mau menjelaskan beberapa hal, aku akan tetap bersikap waspada.
“Hei, maaf ya, agak lama.”
Aku kembali bergabung dengan dirinya di ruang santai. Membawa sepiring biskuit dari dapur, kuletakkan di meja tengah. TV kembali menyala, menampilkan berita tentang kecelakaan yang baru saja terjadi.
“Tidak masalah, dan… terima kasih. Aku gak nyangka malah berakhir merepotkanmu begini.”
Dia meringkuk dengan kedua tangannya melingkari kakinya yang ditekuk sembari menggenggam gelas. Wajahnya terlihat pucat dan lelah. Walau begitu, senyuman lembutnya tak juga luntur.
“Jangan terlalu dipikirkan, anggap saja balas budi untuk cokelat yang kamu berikan.”
“…Begitu. ya…” Suaranya nyaris seperti gumaman pelan, aku kesulitan memahami apa yang diucapkannya.
“Hmm… yah, ngomong-ngomong, bagaimana caranya kamu bisa tahu rumah-“
Kata-kataku langsung terhenti begitu melihat kartu identitasku ada di tangannya.
“Kamu menjatuhkannya di halte. Aku berusaha mengikutimu tapi malah kehilangan jejak di tengah jalan. Aku sampai harus berkeliling area ini beberapa kali karena itu”
“M-maaf… tapi, kenapa gak pake GPS aja?”
“Handphone ku mati.”
“Ooh… mau dicas dulu?”
“Udah.”
Dia mengisyaratkan dengan arah matanya ke colokan di samping TV. Aku sedikit merasa terkejut dan tanpa sengaja mengeluarkan tawa kecil.
“Ada apa?”
Lena sampai memasang wajah kebingungan melihat tindakanku yang tak di duga.
“Bukan apa-apa, hanya saja, aku merasa kalau sikapmu jadi jauh berbeda.” dan entah mengapa senyumku merekah karenanya
“…Entahlah, mungkin karena aku lagi capek.”
Arah pandangannya turun secara perlahan.
Dengan hujan di luar sana, suasana diantara kami mulai terasa kelam. Kesunyian menemani kami untuk beberapa waktu. Hanya saling diam dan menikmati kehangatan kecil milik kami sendiri. Berita yang tampil di layar TV tidak terlalu menarik bagiku, jadi kualihkan pandanganku ke arah jendela besar yang juga menjadi tembok rumah. Dilihat dari betapa gelapnya awan di atas sana, aku yakin hujan ini akan berlangsung setidaknya sampai tengah malam.
“…Hei”
Suara Lena yang pelan memecah keheningan.
“Hm?”
Aku membalas tanpa mengalihkan pandanganku dari hujan di luar sana
“Kenapa… kamu, membiarkan aku masuk?” suaranya yang pelan bergetar samar.
“Hmm… entahlah.” kujawab sekenanya saja. Aku yakin dia merasa kesal dengan sikapku.
“Aku bisa saja bukan orang yang baik, lho.”
Entah kenapa suaranya terdengar sedikit lebih keras.
“Kalau kita membahas orang-orang, sebenarnya tidak ada yang bisa disebut sebagai ‘orang baik’. Dan walaupun begitu, setiap dari kita pasti menerima perlakuan yang berbeda tergantung sudut pandang orang lain.”
“…Maksudmu?”
Aku langsung mengalihkan pandanganku dan menatap matanya lekat-lekat.
“Biar kutanya satu hal, Lena. Kenapa kamu memberikan coklat kepadaku?”
“Itu…”
“Kan? Terkadang ada saja hal-hal yang kita lakukan tanpa memiliki alasan yang sepenuhnya jelas.” Senyumanku kembali merekah tanpa kusadari.
“Tapi tetap saja…” dia kembali bergumam sendiri.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Lagi pula, kita akan segera berpisah lagi bukan?”
Lena seketika mengangkat wajahnya dan menatapku lurus.
“…Jangan ngomong gitu dong. Aku baru mulai tertarik sama sikapmu lho.”
Dia menunjukkan ekspresi seolah merasa sedih namun juga cemberut sembari menggembungkan pipinya.
“Ahahaha, benarkah? Itu cukup mengejutkanku.”
Tawaku mulai lepas melihat sikapnya yang terkesan absurd.
“Biasanya orang akan mulai mengambil jarak begitu aku meletakkan sandiwaraku.”
Pandanganku sedikit mengabur ketika mengingat masa lalu.
“Jadi kamu juga begitu, ya?” Dia tersenyum penuh pengertian.
Aku tidak terlalu yakin dengan maksud perkataannya. Kurasa dia menyadari tatapan kebingunganku dan tertawa kecil.
“Aku juga cenderung berpura-pura di depan orang asing, tahu” dia menjelaskannya dengan kalimat yang menurutku blak-blakan.
“Tahu? Kalau begitu aku tempe, deh!” aku refleks melontarkan candaan basi yang ku punya.
“…Pfft! Hahahaha!!”
Tak kusangka ternyata hal itu bisa membuatnya tertawa. Aku ikut tertawa kecil melihatnya.
Melihat ada seseorang yang tertawa bahagia karena diriku membuat dadaku terasa sedikit sesak. Mungkin ini yang dibilang oleh orang-orang sebagai rasa bersalah. Walau aku sendiri tidak yakin apakah itu benar atau tidak.
Begitu tawanya mulai mereda dia menatapku dengan senyuman kecil.
“Menyedihkan ya?”
“Apanya?”
Aku berpura-pura memasang wajah polos
“Kita, tentu saja.”
Tatapannya kini menyiratkan ironisme, masih dengan senyuman kecil yang sama.
Aku terdiam beberapa saat, mencoba untuk tetap mempertahankan senyuman di wajahku. Kembali, aku mengeluarkan tawa kecil. Tawa yang menyiratkan kepedihan untuk alasan tertentu.
“Bukankah ini aneh? Kalau kita pikir secara logika, ini pertemuan pertama kita, maksudku, yah ini yang kedua sih. Tapi bukan itu yang kumaksud. Maksudnya-”
“Maksudnya, kita baru saja saling mengenal, tapi kenapa kita bisa jadi seakrab ini? begitu, kan?”
Dia menatapku begitu dalam, senyumannya seperti tengah menyiratkan sesuatu yang amat rumit.
“…I-Iya”
Ada apa denganku? Suaraku seperti tercekat, sulit untuk menyusun kalimat di dalam benakku. Seolah diriku takut akan sesuatu.
“Haha, Padahal kamu udah jawab sendiri tadi.”
“????”
“Terkadang, manusia akan melakukan hal luar biasa tanpa mempertanyakan alasannya. Bukan seberapa lama dua orang telah saling mengenal, namun seberapa besar rasa percaya yang mereka miliki satu sama lain.”
“…sungguh sesuatu yang amat ironis.”
Benakku kini kosong. Kata-kata yang tak sepenuhnya kupikirkan mulai mengalir keluar “Bagaimana seorang manusia akan menumpahkan sebagian kepercayaannya pada pertemuan pertama. Hingga waktu mengarahkan arus kepercayaan, untuk kembali pada pemberinya” Apa maknanya? Entahlah, aku juga tak tahu.
“…Kamu puitis ya?”
“Kurasa begitu.”
Kurasa suasana hatiku kembali menari dengan indahnya. Di atas tali tipis pemisah kewarasan dan kegilaan.
“Aku sudah bertemu berbagai macam orang.”
Lena perlahan mengalihkan pandangannya dariku. Ia mulai menatap hujan di luar sana.
“Begitu banyak keunikan, begitu banyak warna, namun satu hal yang menyamakan mereka semua. Kamu tahu apa itu?”
“Fakta bahwa mereka semua manusia?”
“Itu juga sih, tapi yang kumaksud adalah keinginan.”
“…Semua orang memiliki keinginannya masing-masing, kenapa hal itu yang menyamakan mereka?”
“Adakah di antara mereka yang berhasil meraih keinginannya?”
“Mungkin, beberapa.”
“Tidak dengan semua orang yang kujumpai. Mungkin jika kehidupan ini tidak menentukan kita, hasilnya akan berbeda.”
“Maksudmu jika kita yang menentukan kehidupan ini? heh, apa gunanya? Memberikan sayap pada seekor burung yang sejak lahir ada di dalam sangkar tidak akan mengubah apapun.”
“…Benar juga. Kalau begitu-.“ dia kembali menatapku dengan senyuman yang samar.
“Apakah kamu termasuk ke dalam burung yang terjebak di sangkarnya? Ataukah sebenarnya kamu adalah burung yang sudah terjatuh?”
Tubuhku merinding mendengar ucapannya. Dia tidak sedang bercanda.
“…Aku tidak tahu. Mungkin hingga saat ini sayapku belum ditemukan. Bahkan jika sangkar sudah dibuka, apa gunanya tanpa sayap kebebasan?”
Bohong.
Bahkan jika aku mengabaikan pengandaiannya tentang sayap. Yang ia sebut sebagai kebebasan kini tak lebih dari tumpukan sampah yang terus kubawa saat ini.
“Begitu…”
Senyumannya mengendur mendengar itu.
“Lalu, bagaimana denganmu? Mungkinkah hingga kini dirimu masih ada di dalam sangkar yang sama?”
“Hmh, Aku sendiri tidak terlalu yakin tentang itu. Kurasa aku masihlah seekor burung yang terjebak di dalam sangkarnya.”
Apakah itu sebuah kebohongan? Aku kesulitan membaca wajahnya.
“Ah, malam semakin larut. Sekarang bagaimana?” aku mencoba mengalihkan topik. Pembicaraan seperti ini terlalu berat untuk diriku.
“Kurasa tidak ada pilihan lain, aku boleh pinjam payungmu?”
“Ng? Bagaimana dengan bajumu yang masih dicuci?”
“Kita bisa saling mengembalikan barang masing-masing besok.”
“Lalu kamu bakal menerobos hujan dengan pakaian itu?”
“Ah, benar juga.”
Wajahnya menunjukkan dia juga baru menyadari hal itu.
“Haah… tunggu di sini sebentar.”
Aku beranjak bangkit dan mulai berjalan menuju kamarku. Seharusnya mantel milikku masih ada.
***
“Hati-Hati di jalan. Jangan mampir ke tempat-tempat yang aneh, ya?”
Aku mengantarkannya sampai pintu depan saja.
“Maaf, karena gak bisa mengantarmu sampai rumah.”
Entah kenapa aku merasa tidak enak karena hal itu dan berakhir meminta maaf sampai tiga kali.
“Bukan masalah, lagi pula ini memang keinginanku.”
Senyuman ramahnya kembali terpasang. Sama seperti ketika kami pertama berjumpa.
“Baiklah, lalu, janji ketemunya besok pagi, kan?”
“Yup, di cafe dekat rumah sakit. Seharusnya gak akan terlalu sulit buat di temukan. Toh, hanya ada satu cafe di dekat sana.”
“Haha, baiklah, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak tersesat.”
“Bagus, kalau begitu, aku pergi dulu.”
“Ya, hati-hati di jalan.”
“Sampai jumpa.”
Kemudian Lena melangkah pergi meninggalkan rumah ini. dia menerobos hujan yang masih deras mengguyur kota. Aku hanya bisa berharap dia sampai dengan selamat.
Begitu siluetnya tak lagi terlihat, perlahan kututup pintu depan dan melangkah menuju kamarku. Malam sudah begitu kelam, aku rasa akan segera terlelap dalam diam.
Sebuah buku bersampul kulit langsung tertangkap oleh mataku begitu aku memasuki kamar. “Bukankah seharusnya benda ini ada di dalam laci?” aku sedikit kebingungan melihat benda itu ada di atas meja belajarku.
“…Yah, tidak ada salahnya sedikit menulis sebelum tidur.” Aku akhirnya menyerah memikirkan keinginanku sendiri. Kukeluarkan pena dari dalam laci dan mulai duduk di depan meja belajar. Kurasa malam ini akan sedikit dihiasi gemerlap bintang imaji.
Kreator : Clown Face
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: A Cube of Everything Bab 1
Sorry, comment are closed for this post.