KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » A Cube of Everything Bab 1 CHAPTER 2

    A Cube of Everything Bab 1 CHAPTER 2

    BY 02 Feb 2025 Dilihat: 85 kali
    A Cube of Everything_alineaku

    BAB 1 [A Cube Of Chocolate, Mask, and Irony]

    CHAPTER 2 [A Cube That I Owe]

    Dalam kesunyian, seseorang akan mulai memasuki dirinya sendiri. Untuk sementara waktu berkelana di tempat yang mereka yakini kenal dengan jelas. Walau begitu, ketika mereka memasukinya sedikit terlalu dalam, mereka akan menyadari betapa dangkalnya pemahaman mereka terhadap diri mereka sendiri. Aku sendiri meyakini bahwa diriku adalah sesuatu yang takkan pernah bisa kupahami. Sebuah bentuk abstrak dari kekacauan itu sendiri. Sesuatu yang begitu indah, namun begitu rapuh. Sesuatu yang berusaha menyembunyikan dirinya sendiri di dalam pusat badai. Dan masih saja sesuatu itu mengharapkan seseorang untuk menemukannya. Menguraikan dirinya seutas demi seutas. Bagai kumpulan benang yang kusut tak karuan. Dan hingga kini, kurasa aku masih mengharapkan hal yang sama.

    “Inikah tempatnya?” aku bertanya pada diriku sendiri di depan sebuah kafe.

    Setelah memastikan untuk kesekian kalinya bahwa kafe ini adalah satu-satunya yang ada di dekat rumah sakit, aku melangkahkan kakiku memasuki kafe itu. Suara bel berbunyi begitu pintu masuk dibuka, seorang pegawai dengan sigap menyapa kedatanganku dengan senyumannya.

    “Selamat datang! Mau pesan apa?” pegawai perempuan itu langsung berdiri di balik meja kasir sembari menyapaku.

    Dengan cepat, mataku menjelajahi setiap kata yang terpampang di lembaran menu yang sudah dilaminasi. “Emm… cappuccino satu.”

    “Baik, ada lagi?” Dia menekan entah apa di layar tablet kasir. Jemarinya bergerak dengan begitu cepat dan terampil, sepertinya dia sudah lama bekerja di tempat ini.

    “Sudah, itu saja.” Aku langsung merogoh kantong celanaku untuk mengeluarkan dompet.

    “Totalnya dua puluh ribu, Kak.” Jemari pegawai itu memang cepat. Dalam waktu singkat dia sudah selesai dengan sistem kasirnya. Yah, mungkin memang sistem kasirnya yang mudah.

    “Ini.” Aku langsung menyerahkan lembaran uang pas kepadanya.

    “Terima kasih, uangnya saya terima ya.”

    “Iya.”

    “Ini struknya kak, silakan duduk dulu, nanti akan kami antarkan ke meja kakak.”

    “Oh, iya. Terima kasih.”

    “Sama-sama Kak.” Sampai akhir, pegawai itu tidak mengendurkan senyumannya sedikitpun.

    Aku lantas mencari tempat duduk yang nyaman. Saat itulah kutemukan tempat yang bisa kubilang bagai rumah keduaku di tempat umum—sebuah kursi kosong di sudut kafe dekat jendela yang menghadap ke luar. Tempat duduk itu memiliki colokan listrik di bawah mejanya dan merupakan spot paling tidak mencolok di seluruh kafe. Aku sudah menemukan sarang yang cocok.

    Dengan sedikit tergesa, aku segera menempati tempat itu. Meja kayu bundar kecil itu hanya bisa diisi oleh dua orang saja—pas seperti yang kubutuhkan. Kuletakkan kantong kertas berisi pakaian seseorang dan tas ranselku di bawah meja. Sekilas kulirik jam dinding yang tergantung dekat meja kasir.

    “Masih jam sembilan.”

    Aku lalu meraih tas dan mengeluarkan sebuah buntalan kecil dengan pita yang membentuk simpul indah. Kuletakkan di tengah meja sembari tersenyum jahil membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Setelahnya, aku duduk diam menunggu minuman pesananku datang. Sesekali kubuka ponsel untuk memeriksa pesan masuk. Kami memang belum bertukar nomor, tapi siapa tahu dia bisa mengirim pesan—entah dengan cara apa hal itu bisa terwujud.

    Entah berapa lama waktu berlalu sebelum kopi pesananku datang. Begitu mencicipinya, lidahku langsung disapa oleh rasa membara dan uap panas menyembur ke wajahku tanpa ampun. Buru-buru kuturunkan cangkir sembari menahan teriakan kesakitan yang sudah terkumpul di tenggorokan. Nyaris saja seluruh isi cangkir tumpah karenanya.

    “Brengsek!!” kutukku dalam hati.

    Yah, memang salahku sendiri karena tidak hati-hati, tapi tetap saja menyebalkan. Kembali kurogoh tas dan mengeluarkan beberapa lembar tisu. Terkadang, antisipasi yang disiapkan untuk satu hal bisa berguna untuk hal yang jauh berbeda. Selesai membersihkan jejak kekacauan itu, aku memeriksa jam dinding lagi. Bahkan belum ada tiga puluh menit berlalu sejak terakhir kali aku memeriksanya. Tanpa sadar kuhela napas pelan. Kuedarkan pandangan ke penjuru kafe yang kini dipenuhi pengunjung. Memang tak ada yang melirik ke arahku, tapi entah mengapa rasanya tidak nyaman. Mu-mungkin hanya perasaanku saja. Ya, mungkin hanya… diriku saja? Benar, seharusnya begitu. Jadi, kaki, bisakah kau berhenti bergerak?!

    Ah… selalu seperti ini. Setiap kali berhadapan dengan atensi manusia yang berlebih, kakiku bergerak cepat tanpa henti. Aku tak bisa mengendalikannya. Sejak awal, hal ini bukanlah sesuatu yang bisa kuingat alasannya. Ingatan itu masih tersembunyi dalam kabut yang menyelimuti benakku. Kutarik nafas dalam-dalam beberapa kali, berharap detak jantungku bisa melambat. Aku harus segera mengalihkan pikiranku dari hal ini, entah dengan cara apapun it—

    “Kau kan membawa laptop.”

    Ah, benar juga. Memang agak memalukan mengakuinya, tapi aku pernah menjadi penulis fiksi. Dulu. Tidak terlalu terkenal sih…

    Sekali lagi kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan. Rambut abu-abuku yang sedikit panjang jatuh menghalangi pandangan. Mungkin aku harus memotongnya nanti. Kurogoh kantong depan kemejaku dan kukeluarkan kacamata berbingkai persegi panjang. Sudah lama sejak terakhir kali memakainya. Lalu kukeluarkan laptop yang iseng kubawa. Tak kusangka benda ini akan jadi penyelamatku saat ini. Inilah mengapa aku selalu membawa berbagai macam benda dalam tas, walau terkadang hal itu membuatku dianggap aneh…

    Ah! Terserahlah! Yang lebih penting adalah mengalihkan arah pikiranku saat ini.

    Bukannya sudah?

    Berisik.

    Baiklah, sekarang, aku harus menulis apa?

    “…Dan bahkan hingga akhir, dirinya tak pernah meraih uluran tangan gadis itu.”

    Wah, tak kusangka kisahnya akan mengalir seperti itu. Padahal aku sendiri yang menulisnya, sungguh aneh…

    Aku terus memandangi rangkaian kalimat terakhir yang terpampang di layar laptopku. Benakku memutar skenario yang terjadi dalam kalimat itu dengan sangat cepat, sembari mataku menyusuri setiap baris kata untuk menemukan kesalahan sekecil apa pun. Aku baru akan melanjutkan kisah itu ketika bunyi gemerincing bel pintu terdengar. Dentingnya lumayan kencang sampai menghilangkan kalimat yang telah kurangkai di dalam kepala.

    Dengan perasaan sedikit kesal, aku melirik sekilas orang yang baru saja masuk. Memang bukan salahnya, hanya kebetulan saja, tapi aku tetap melampiaskan kekesalanku padanya—tentu saja dalam diam. Wanita yang baru masuk itu langsung disambut oleh pegawai kafe. Sepertinya dia langsung memesan sesuatu tanpa membiarkan pegawai itu menawarkan hal lain, bahkan tanpa melakukan standar kesopanan yang biasa.

    Aku merasa sedikit familiar dengan suara wanita itu, namun tidak terlalu ku pedulikan. Toh, kalau memang itu dirinya, dia akan segera kesini dengan sendirinya. Yang lebih penting saat ini adalah menemukan kalimat yang cocok untuk setidaknya menghentikan alur cerita ini untuk sementara. Sayangnya, hal itu mungkin takkan sempat kulakukan. Dari sudut mata, kulihat seseorang berjalan ke arahku. Rok panjang yang dikenakannya mirip dengan wanita yang baru saja masuk kafe. Seharusnya mereka adalah orang yang sama. Dan seharusnya, dia adalah orang yang sedari tadi kunantikan di tempat ini.

    “Van?” Akhirnya wanita itu bersuara. Suaranya kini terdengar jelas dan aku bisa dengan mudah mengenalinya.

    “Akhirnya kamu datang juga, Lena.” aku mengangkat pandanganku dari layar laptop dan menatapnya dengan senyuman lembut.

    Dia membalasnya dengan senyuman ceria sembari berkata, “Kamunya saja yang terlalu cepat datang.”

    Kami tertawa kecil sejenak.

    “Kamu bawa barangku, kan?” tanyaku memastikan.

    “Bawa. Kamu?” dia menunjukkan kantong kertas bermotif di tangannya.

    “Bawa, tenang aja.” kutepuk-tepuk kantong kertas coklat polos di bawah meja.

    Lalu, kupersilakan Lena untuk duduk di kursi yang ada di depanku. Dia mengangguk kecil dan mengucapkan terima kasih dengan suara yang amat pelan, sebelum kemudian duduk dengan gerakan yang anggun dan lembut. Walau sebenarnya tindakanku tadi terasa canggung untuk dilakukan, entah kenapa rasanya dia takkan duduk kecuali aku mempersilahkannya.

    Aku mengamati setiap hal yang ada padanya untuk waktu yang cukup singkat. Hanya sekilas saja. Namun itu sudah cukup untukku mengambil penilaian kecil. Kualihkan pandanganku pada waktu yang terpampang di sudut layar laptop.“Sejam lebih sedikit dari kedatanganku.” Kurasa dia tidak menduga aku akan datang lebih awal darinya. Pakaian yang ia kenakan memang membawa kesan cerah nan ceria. Namun, melihat dari wajahnya yang belum mengenakan riasan apa pun, kurasa dia berencana untuk bersiap di kafe ini seandainya aku belum datang. Dan jika aku sudah datang, dia kemungkinan akan pergi ke toilet sebentar. Lalu—

    “Hey, Van. Kalau kamu lagi mikirin seseorang, usahakan jangan sampai orang itu sadar,” ucap Lena dengan tatapan iba, seolah-olah aku adalah seorang anak kecil yang tertangkap melakukan sesuatu. Walau memang pada faktanya itulah yang terjadi.

    Aku hanya bisa tersenyum lemah sambil menggaruk belakang kepalaku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.

    “Ternyata memang sejelas itu ya, kelihatannya?” tanyaku lembut.

    Lena langsung menjawabnya dengan cepat, “Iyalah! Coba kendalikan ekspresimu sedikit!”

    Aku tertawa kecil mendengarnya. “Maaf, maaf. Aku memang agak kesusahan kalau soal ekspresi.”

    “Serius?” Lena terlihat terkejut mendengarnya. Aku tak tahu apa alasannya, jadi aku mengangguk saja dan dia langsung menghela napas berat.

    Kurasa aku harus segera mengalihkan pembicaraan ini.

    Aku langsung memasang wajah ramahku yang terkesan polos dan memanggil, “Lena?”

    “Hm?”

    “Ini, balasan untuk cokelatmu kemarin.”

    Kudorong buntalan kain di tengah meja ke arahnya. Lena kebingungan melihat buntalan kain dengan simpul yang rumit namun indah itu. Dia lalu menatapku meminta penjelasan. Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban sebelum kemudian mengalihkan pandanganku untuk kembali ke laptop.

    “Kuharap dia bisa membukanya…” ucapku dalam hati.

    “…Hingga mungkin kali ini aku bisa mengubah segalanya sesuai keinginanku. Walau diriku akan dilupakan. Untuk selamanya. Tak apa. Asalkan mereka semua bahagia.”

    Dan, selesai! Haha! Sungguh sebuah akhir yang mengagumkan. Aku tersenyum lebar membaca kembali kisah itu. Rasanya cukup memuaskan setelah sekian lama tidak menulis.

    “Sekarang…”

    Kualihkan pandanganku dari laptop dan langsung disambut dengan pemandangan Lena dengan wajah bersalah dan buntalan di tangannya. Simpul yang ada sudah sangat kacau sampai rasanya aku sendiri tidak mungkin bisa membukanya. Kurasa dia juga sudah menyadari hal itu, karena di tangannya sudah ada gunting yang siap memotong simpul buntalan itu.

    “Oi!”

    “Apa?!”

    “Kamu curang! Kemarin kan aku ngebuka simpulnya!” protesku asal-asalan.

    “Terus? Apa hubungannya sama yang ini? Kamu nggak bilang apa-apa soal simpulnya!” Tak kusangka dia langsung membalas dengan pedas. Aku langsung tersudut karena itu.

    Langsung saja kuputar otakku agar dia mau berusaha membuka simpul itu. Rasanya tidak adil saja kalau hanya aku yang menderita karena sebuah simpul. 

    “Uuh… Yaudah deh! Kalau kamu bisa ngebuka simpul itu tanpa bantuan apa pun, aku bakal nurutin satu permintaanmu! Gimana?”

    “Kamu yakin, Van?” senyuman aneh langsung terbit di wajah Lena.

    “Yakin!” Aku tidak memperdulikannya dan mengangguk dengan kuat.

    “Satu permintaan kan?”

    “Iya!”

    “Oh, ya udah.” Senyuman itu seketika berubah menjadi seringai yang untuk sesaat terlihat menyeramkan.

    BRET! Seketika simpul itu sobek oleh kekuatan tangan Lena. Aku melongo melihat bagaimana simpul kain itu perlahan mengurai dirinya sendiri melalui sobekan itu. Lena menatapku dengan ekspresi mengejek.

    “Terbuka, kan?” seringainya lebar dan terasa licik. Aku ingin memprotesnya lagi, tapi dia tidak salah kali ini. Aku memang tidak mengatakan cara dia membuka simpul itu, jadi menyobeknya juga dihitung sebagai ‘membuka simpul itu tanpa bantuan apa pun’. Yaa… apa pun kecuali dirinya sendiri. Kurasa aku terlalu meremehkan perempuan—tidak, lebih tepatnya aku terlalu meremehkan Lena. Kali ini tidak lagi.

    “Yaudah deh… aku nyerah…” Aku akhirnya mengakui kekalahanku kepada Lena. Dia mengepalkan tangannya sembari tersenyum bangga. Heheh, kurasa aku takkan terbiasa dengan tindakannya yang ekspresif itu.

    “Jadi—” “Sebelum kita lanjut ke permintaanmu, gimana kalau kamu coba cek dulu isinya?” Akan merepotkan kalau dia malah tidak tertarik dengan isinya.

    “Oh, iya juga.” Dalam waktu singkat, isi dari buntalan itu langsung bisa kulihat. Sebuah kubus bening dengan motif abstrak di dalamnya. Lena memainkan benda itu di atas tangannya, dan matanya tak lepas dari mengobservasi benda itu.

    “Sungguh unik,” aku merasa kagum dengan pilihan Lena untuk tidak bertanya apa pun dan hanya mengobservasi benda itu sendiri. Walau aku ragu dia bisa memahami benda itu hanya dari mengamatinya.

    “Huh, terserah.” Lena menghela nafas pelan dan memasukkan kubus kecil itu ke dalam tas miliknya. Dia lalu menatapku dengan mata berbinar, seolah kubus barusan tidak pernah dilihat olehnya.

    “haha, mungkin memang terlalu cepat”

    “Baiklah, jadi, apa permintaanmu?” aku tersenyum pasrah menanyakan permintaannya

    “Hehe… Jadi gini, Van…” Lena seketika bertingkah malu-malu dan menahan ucapannya.

    “A-Apa?” entah kenapa aku merasakan firasat buruk

    “Bisa…”

    ”Ya??”

    “Ba-”

    “???”

    “Ba-bayarin minumanku gak?” Wajahnya merona merah dan dia tak menatap mataku.

    “…O-oh, i-iya, bisa kok. Nggak masalah…” aku sendiri sudah kehabisan kata-kata untuk bahkan menjelaskan perasaanku sendiri.

    Segera aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju meja kasir. dan dalam jarak yang sependek itu, tiba-tiba aku merasa pusing dan kehilangan kesimbangan.

    “Whoops!” Aku terhuyung sesaat sebelum kemudian ditahan oleh orang asing yang kebetulan lewat.

    “Whoa! Hey, lo nggak papa?” 

    Pemuda itu jelas memiliki refleks yang cukup cepat untuk menangkapku. perlahan pandanganku kembali fokus dan aku berhasil mengembalikan keseimbanganku.

    “Ah, iya, nggak papa. Sorry, ya” 

    Kurasa suaraku terdengar sangat pelan. aku tak terlalu yakin, masalahnya telingaku ikut berdenging.

    Aku berjalan menjauhi pemuda berambut pirang itu secepat yang aku bisa. Ada perasaan aneh yang mengitari pemuda itu, walau aku sendiri tidak yakin apa.

    Kucoba yang terbaik untuk meniru Lena dalam menghadapi pegawai kafe, tapi sayangnya aku kalah cepat. Dan, kami berakhir dengan percakapan yang sangat melelahkan bagiku. Untungnya, dia cepat tanggap dan memahami apa yang kubutuhkan tanpa harus dijelaskan. Aku dan Lena akhirnya meninggalkan kafe bersama, dan tanpa disadari, mentari sudah bersinar terik di puncaknya.

    “Jadi… Kita kemana?” Tanyaku sembari kami berjalan menyusuri kota.

    “Ehm, Mall?” Lena langsung mengajukan ragu-ragu. kurasa dia baru saja mengeluarkan pikiran bawah sadarnya.

    “Yah, bisa sih. tapi aku gak hafal jalannya.” Tanpa sadar aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

    “A-aku hafp-!” Lena langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan dengan wajah kesakitan. suara kesakitan yang tertahan terdengar samar darinya. Kurasa dia baru saja menggigit lidahnya sendiri.

    “Oof! Kamu nggak papa?” 

    Entah kenapa aku bisa merasakan rasa sakit yang dirasakannya samar-samar.

    Lena mengangguk pelan sambil masih memegangi mulutnya. Dia terlihat sangat malu dengan kejadian barusan. Setelah beberapa saat, dia menurunkan tangannya dan mencoba berbicara lagi dengan lebih hati-hati.

    “Aku hafal jalannya.” Dia tersenyum malu-malu sambil menundukkan kepalanya. “Ayo ikut aku!”

    Lena langsung berjalan mendahuluiku dengan langkah ringan. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang sambil tersenyum kecil melihat tingkahnya yang berubah ceria kembali.

    Aku yakin itu bukan sebuah kenyataan. tidak, maksudku, keceriaan itu. itu tidak nyata. hanya sebuah kebohongan. tapi tak apa. kurasa aku pun sama saja.

    Aku sadar dengan jelas kenyataan bahwa aku sangat jarang keluar dari rumah, namun aku tak pernah menduga hal itu akan membawa perubahan sejelas ini. Aku dan lena terus menyusuri jalanan kota dengan Lena sebagai pemandunya. Jujur saja, Walau aku sudah tinggal di kota ini cukup lama, semua hal yang kulewati ketika berjalan bersama Lena terasa asing. Seolah aku tak pernah sekalipun melewati jalan ini, tak pernah sekalipun melihat gedung-gedung yang ada di sekitar sini. Tentu saja, itu sebuah kemungkinan untukku tak pernah melewati area ini. aku hanya mempertanyakan alasannya.

    Perlahan, jalanan mulai dipenuhi oleh orang-orang yang berlalu-lalang. aku dan Lena berakhir terjebak dalam kerumunan dan terpaksa berjalan mengikuti arus manusia yang ada. Rasa khawatir merayapi diriku begitu punggung lena menghilang dari pandanganku.

    “Len-!”

    Aku hampir meneriakkan namanya ketika sebuah tangan terjulur dan menggenggam pergelangan tanganku.

    “Astaga, jangan tiba-tiba hilang gitu dong!” Lena tersenyum jahil menatapku.

    “…Ahaha, maaf, maaf.” 

    Aku tak tahu harus mengatakan apa dan berakhir mengucapkan maaf beberapa kali sembari tersenyum lega.

    “Ayo- ukh!” Lena terdorong ke arahku karena keramaian yang ada.

    Ramainya kerumunan membuat setiap orang berfokus pada dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Sungguh, aku benar-benar tak memiliki kalimat yang bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Yang ku tahu, seseorang baru saja melangkahi garis batas toleransiku dengan mencuri sesuatu di depan mataku.

    “Kamu nggak papa, Lena?” 

    Aku langsung membantu Lena berdiri dan merangkulnya dalam dekapanku. Akan mustahil untuk menembus keramaian ini hanya dengan berpegangan tangan.

    “Maaf.” 

    Tanpa menunggu jawaban dari Lena, aku langsung menggiringnya menuju minimarket yang terlihat oleh sudut mataku. Segalanya memiliki konsekuensi dan harga yang harus dibayar. Akan kupastikan hal itu.

    Begitu kami masuk minimarket, aku langsung menuntun Lena ke bagian minuman dingin. Dia terlihat sedikit bingung dengan sikapku yang tiba-tiba, tapi tidak mengatakan apa-apa. Sementara Lena memilih minuman, mataku terus mengawasi keluar minimarket, memastikan orang itu belum hilang dari pandanganku.

    “Lena, maaf. Aku perlu melakukan sesuatu dulu. tunggu di sini.”

    Lena hanya mengangguk pelan, masih terlihat bingung dengan sikapku yang mendadak berubah. Aku langsung bergegas keluar dari minimarket, mengikuti jejak si pencuri yang kulihat tadi. Untungnya, rambut merahnya yang mencolok membuatnya mudah dikenali di antara kerumunan.

    Aku mempercepat langkahku, berusaha menyusul targetku tanpa terlihat mencurigakan. Di tengah keramaian ini, aku harus berhati-hati agar tidak kehilangan jejaknya. Tapi aku juga tak bisa terlalu lama meninggalkan Lena sendirian di minimarket.

    Kerumunan orang mulai menipis di sekitar gang ini, membuat langkah kakiku terdengar jelas di atas aspal. Aku memperlambat tempo berjalanku, berusaha meminimalisir suara yang kubuat. Bayangan si rambut merah masih terlihat samar di ujung gang, membuatku yakin bahwa aku masih berada di jalur yang tepat.

    Setelah beberapa menit mengikuti, aku melihatnya berbelok ke sebuah gang kecil yang sepi. Ini kesempatanku. Dengan langkah cepat namun hati-hati, aku mengikutinya masuk ke gang tersebut.

    Begitu aku berbelok, aku mendapati si rambut merah sedang bersandar di dinding gang dengan santai, seolah menungguku. Sebuah senyum miring tersungging di wajahnya saat matanya bertemu dengan mataku. Di tangannya, dompet milik Lena tergenggam dengan kasual, seakan-akan memamerkannya padaku.

    “Wah, wah… Ngejar aku ya?” Dia tertawa kecil sambil memainkan dompet itu di tangannya.

    “Pahlawan kesiangan nih? Atau… pacarnya si cewek tadi?”

    Matanya menatapku dengan tatapan meremehkan, seolah aku hanyalah seekor serangga yang tak berarti. Dia bahkan dengan sengaja membuka dompet Lena dan mulai menghitung uang di dalamnya tepat di hadapanku.

    “Lumayan juga nih. Kayaknya cewek lo dari keluarga berada ya?” Dia menyeringai lebar. “Tapi sayang… Finders keepers, losers weepers~

    Aku hanya menatapnya dalam diam, tak menunjukkan reaksi apapun terhadap provokasi murahan seperti itu. Dia jelas terlihat terganggu dengan sikapku.

    “Oi, lo budeg ya? Atau bisu?” Dia melangkah mendekat, jelas berusaha mengintimidasi. “Gak suka ya liat cewek lo kemalingan? Mau ngapain lo sekarang?”

    Tetap tak ada respon dariku. Mataku hanya menatap kosong ke arahnya, seolah melihat menembus dirinya.

    “ANJING! Ngomong napa lo!” Kesabarannya habis. Dia melempar dompet Lena ke tanah dan mencengkram kerah bajuku. 

    “Lo pikir lo siapa hah?! Sok cool banget sih!”

    Nafasnya memburu, wajahnya memerah karena amarah. Tapi aku tetap tak bergeming. Justru ketenanganku inilah yang membuatnya semakin kalap.

    “BANGSAT!” Dia mengayunkan tinjunya ke arah wajahku.

    Tanpa ekspresi, aku menangkap tinjunya dengan satu tangan. Sebelum dia bisa bereaksi, aku sudah mematahkan jari-jarinya satu per satu dengan metodis. Jeritannya memenuhi gang sempit itu.

    “AAAAARGHH! HENTIKAN!”

    Mengabaikan teriakannya, aku memutar tangannya hingga sendi bahunya lepas dengan suara ‘pop’ yang menjijikkan. Tubuhnya ambruk ke tanah, tapi aku belum selesai.

    Dengan gerakan dingin dan terukur, kakiku menginjak lutut kanannya. Tekanan yang kuberikan perlahan bertambah hingga terdengar suara retakan tulang yang familiar.

    Air mata dan ingus bercampur di wajahnya yang memucat. Dia bahkan tak sanggup lagi berteriak, hanya isakan lemah yang keluar dari mulutnya.

    “Sampah sepertimu tidak pantas memohon ampun.”

    Aku mengambil dompet Lena dari tangannya yang gemetar, lalu memberikan tendangan terakhir ke rusuknya. Suara retakan tulang bergema di gang yang sunyi.

    Meninggalkannya tergeletak tak berdaya, aku berjalan pergi dengan langkah tenang, seolah tak terjadi apa-apa.

    Aku berjalan kembali menuju minimarket dengan langkah tenang. Keramaian di sekitarku terasa seperti kabut yang mengaburkan pandangan. Saat minimarket mulai terlihat, aku memperlambat langkahku, memastikan nafasku teratur seperti biasa.

    Memasuki minimarket, aku melihat Lena masih berdiri di bagian minuman dingin. Tanpa mengatakan apapun, aku berjalan ke arahnya dan berhenti di sebelahnya, pura-pura memperhatikan deretan minuman di depan kami. Dengan gerakan halus, aku menyelipkan dompet ke dalam tas Lena yang terbuka sedikit.

    “Sudah selesai pilih minumannya?” tanyaku datar, seolah tak pernah pergi kemana-mana.

    Lena menggembungkan pipinya, terlihat kesal. “Kamu tuh ya! Pergi lama banget! Aku udah nunggu dari tadi tau!”

    “Ah… maaf, maaf.” Aku tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalaku.

    Lena menatapku dengan tatapan menyelidik, bibirnya masih cemberut. 

    “Ngapain aja sih? Masa beli minuman aja lama banget…”

    Aku bisa merasakan ada sesuatu di balik nada bicaranya, seolah dia tahu lebih banyak dari yang dia tunjukkan. Tapi aku memutuskan untuk tetap bersikap normal. “Ada sesuatu yang harus ku urus sebentar tadi. Sudah selesai kok.”

    Lena menghela nafas panjang. “Ya udah deh… Nih!” dia menyodorkan sekaleng minuman dingin ke arahku dengan ekspresi yang masih cemberut, tapi ada kilatan aneh di matanya yang membuatku sedikit gelisah.

    “Thanks.” 

    Aku menerima minuman itu dengan senyum tipis, berusaha mengabaikan perasaan bahwa Lena mungkin mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya.

    Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. Seingatku, Lena belum sempat membeli minuman saat aku meninggalkannya tadi. Kapan dia sempat membayar minuman ini?

    “Kapan kamu beli minumannya?” Aku akhirnya bertanya, tak bisa menahan rasa penasaranku.

    Lena tersenyum jahil, matanya berkilat nakal. “Lho? Kan kamu yang tadi ninggalin aku sendirian… jadi kamu yang traktir ya~” dia mengedipkan sebelah matanya sebelum berbalik dan melangkah menuju pintu minimarket. “Aku tunggu di luar~”

    Aku menatap punggung Lena yang menjauh dengan mulut setengah terbuka, kehabisan kata-kata. 

    “Dasar… licik,” gumamku pelan, menggelengkan kepala. Dalam hati aku mengumpat kecil, menyadari betapa mudahnya aku dijebak oleh kelakuan jahilnya.

    Dengan helaan nafas pasrah, aku berjalan menuju kasir. Setidaknya ini lebih baik daripada harus mengurus pencuri tadi, pikirku sambil mengeluarkan dompet untuk membayar kedua minuman di tanganku.

    Aku keluar dari minimarket dan mendapati Lena sedang bersandar di dinding, memainkan ponselnya dengan wajah bosan.

    “Lama banget sih.” keluh Lena sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas.

    “Maaf, tadi antriannya lumayan,” jawabku sambil menyerahkan minuman dingin ke Lena. “Ayo jalan.”

    Kami berjalan beriringan di trotoar yang mulai ramai dengan orang-orang. Matahari siang bersinar terik, membuatku bersyukur telah membeli minuman dingin. Sesekali Lena bersenandung kecil, terlihat jauh lebih ceria dibanding beberapa saat lalu.

    “Van,” panggil Lena tiba-tiba, “kamu tau nggak? Tadi aku ngeliat sesuatu yang menarik.”

    Aku melirik sekilas ke arahnya, jantungku berdegup sedikit lebih kencang. “Oh ya? Apa?”

    Lena tersenyum misterius. “Rahasia dong. Tapi, makasih ya.”

    Aku hanya mengangguk pelan, memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Kami terus berjalan dalam diam yang nyaman, sesekali berbelok di persimpangan jalan menuju mall yang menjadi tujuan kami.

    “Ngomong-ngomong,” Lena memecah keheningan, “Kamu tau gak, mall ini terkenal sama apa?”

    “Hmm? Enggak. Emang terkenal sama apa?”

    “Katanya sih, di sini ada toko buku yang lengkap banget! Aku pengen banget ke sana,” mata Lena berbinar saat membicarakannya.

    Aku tersenyum tipis melihat antusiasmenya. “Kamu suka baca buku ya?”

    “Iya dong! Apalagi novel misteri. Kamu sendiri?”

    “Aku… lebih suka baca manga sih,” jawabku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

    Lena tertawa kecil. “Dasar! Ya udah nanti kita ke toko buku ya? Please?”

    “Iya, iya,” aku mengangguk, tak bisa menolak permintaannya yang menatapku dengan mata memohon.

    Gedung mall mulai terlihat di depan kami, menjulang tinggi dengan arsitektur modernnya. Lena mempercepat langkahnya, tak sabar untuk segera masuk ke dalam. Aku mengikuti di belakangnya, diam-diam tersenyum melihat tingkahnya yang kekanakan.

    Kami memasuki toko buku yang luas. Lena langsung menuju bagian novel misteri dengan antusias, sementara aku mengikuti di belakangnya.

    “Van! Lihat deh, ini seri terbaru dari penulis favoritku!” Lena mengambil sebuah buku dengan cover hitam mengkilap.

    “Oh ya?” aku menanggapi sekenanya, mataku sudah tertuju pada rak manga di seberang.

    “Kamu dengerin gak sih?” Lena mengerucutkan bibirnya.

    “Iya, iya… dengerin kok,” aku masih setengah melamun.

    Lena asyik memilih buku, sementara aku mulai berjalan ke arah rak manga. Tanpa sengaja, aku tersandung kaki sendiri dan hampir menabrak rak buku. Beberapa buku bergeser dari posisinya.

    “Van!” Lena berseru tertahan. “Hati-hati dong!”

    “Maaf… aku terlalu fokus sama manga-nya,” aku tersenyum malu sambil merapikan kembali buku-buku yang bergeser.

    Lena menggelengkan kepala, tapi ada senyum kecil di wajahnya. “Dasar… Sebagai hukuman, kamu harus temenin aku ke arcade!”

    “Eh? Bukannya kamu mau beli buku?”

    “Nanti aja deh belinya. Sekarang aku pengen main arcade!” Lena menarik lenganku.

    “Ayo!”

    Aku hanya bisa pasrah mengikutinya yang sudah bersemangat menuju arcade di lantai atas mall. Aku menghela napas panjang dalam hati.

    “Kenapa aku bisa berakhir seperti ini?” pikirku sambil menatap punggungnya yang berjalan riang di depanku. Ada sesuatu yang aneh dengan gadis ini – terlalu ceria, terlalu ekspresif, seolah-olah dia sedang berusaha mengimbangi keheninganku dengan energi berlipat ganda.

    “Merepotkan… tapi entah kenapa tidak menyebalkan.” 

    Aku mengakui dalam hati. Meski begitu, aku masih belum bisa sepenuhnya rileks. Ada sesuatu yang tidak bisa kubaca dari Lena, sesuatu yang tersembunyi di balik senyum dan tingkah lakunya yang kekanakan itu.

    ‘Apa dia benar-benar melihat sesuatu tadi?’ aku bertanya-tanya, mengingat kembali komentar misteriusnya sebelumnya. ‘Dan kenapa dia berterima kasih? Untuk apa?’ Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku, tapi aku tahu lebih baik untuk tidak menanyakannya secara langsung.

    Aku tidak terbiasa dengan tempat seperti arcade. Keramaian, suara-suara bising dari mesin permainan, dan tawa riang pengunjung lain – semuanya terasa asing bagiku. Aku lebih suka ketenangan perpustakaan atau sudut-sudut sepi di taman kota. Tapi entah mengapa, kali ini berbeda. Mungkin karena Lena, atau mungkin karena situasi aneh yang membawaku ke sini.

    “Kenapa aku mengikutinya begitu saja?” Aku bertanya pada diriku sendiri.

    “Apa karena rasa bersalah? Atau ada sesuatu yang lain?” 

    Pikiranku kembali melayang pada kejadian di minimarket, pada dompet yang ku kembalikan secara diam-diam, pada senyum misterius Lena…

    “Van! Kita udah sampai nih!” Suara Lena menarikku kembali ke realitas. Aku mengerjapkan mata, mendapati kami sudah berdiri di depan pintu masuk arcade yang dihiasi lampu-lampu neon berwarna-warni.

    “Ah… iya,” aku menjawab singkat, masih setengah tenggelam dalam pikiranku sendiri.

    Aku menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan bayangan kejadian di minimarket dari pikiranku. ‘Sudahlah, yang penting dompet itu sudah kembali ke pemiliknya,’ pikirku. Tapi pikiranku malah melayang ke kubus kecil yang kuberikan pada Lena di kafe tadi. Sebuah kubus sederhana yang entah mengapa terasa begitu berat untuk diberikan. ‘Apa aku melakukan hal yang benar?’ aku bertanya-tanya dalam hati. Ada sesuatu yang aneh dengan kubus itu, sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak sepenuhnya pahami. Tapi sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal itu.

    “Mungkin sebaiknya aku fokus saja pada apa yang ada di depan mata.” 

    Aku memutuskan, mengalihkan perhatianku pada Lena yang sudah mulai melangkah masuk ke dalam arcade dengan penuh semangat.

    Arcade itu dipenuhi dengan berbagai macam mesin permainan yang berkedip-kedip dengan lampu warna-warni. Lena langsung tertarik pada mesin dance yang ada di sudut ruangan.

    “Van! Ayo main ini!” serunya sambil menarik lenganku.

    “Eh? Tapi aku gak bisa—” belum selesai aku protes, Lena sudah menarikku naik ke atas platform dance.

    Awalnya aku terlihat kaku dan canggung, berkali-kali salah menginjak panel dan hampir terjatuh. Tapi melihat Lena yang tertawa lepas sambil menari mengikuti irama, aku mulai rileks dan ikut tersenyum.

    “Ternyata kamu payah banget ya!” ledek Lena di sela-sela tariannya.

    “Berisik.” balasku, tapi ada senyum tipis di wajahku.

    Setelah puas dengan dance, kami mencoba berbagai permainan lain. Dari balapan mobil dimana aku akhirnya bisa membalas dendam dengan mengalahkan Lena, sampai permainan menembak zombie yang membuat Lena berkali-kali berteriak kaget.

    “Van! Zombie-nya dari belakang!” Lena berteriak panik sambil menembak membabi buta.

    “Tenang dong, fokus aja sama yang di depan,” aku menanggapi dengan kalem, sambil dengan tepat menembak zombie-zombie yang bermunculan.

    Kami menghabiskan waktu hampir dua jam di arcade, melompat dari satu permainan ke permainan lain. Tanpa sadar, aku mulai menikmati keramaian yang biasanya kuhindari. Tawa Lena yang lepas dan ekspresinya yang berubah-ubah – dari frustasi saat kalah sampai kegirangan saat menang – entah bagaimana membuatku merasa nyaman.

    “Capek…” Lena akhirnya mengeluh sambil menyandarkan punggungnya ke dinding arcade. “Tapi seru banget!”

    Aku mengangguk setuju, masih sedikit terengah dari permainan terakhir kami. Aku tidak ingat kapan terakhir kali menghabiskan waktu seperti ini, bermain tanpa beban dan tertawa lepas.

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: A Cube of Everything Bab 1 CHAPTER 2

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021