KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Adillah Sejak Dalam Pikiran

    Adillah Sejak Dalam Pikiran

    BY 03 Des 2024 Dilihat: 102 kali
    Adillah Sejak Dalam Pikiran_alineaku

    Pagi menjelang, udara dingin menggigit. Usai subuh saya tidak beranjak keluar kamar, membiarkan sinar mentari pagi menyerbu sebanyaknya melewati jendela kamar yang gordennya kubuka lebar. Udara pagi terhirup segar seolah berlomba dengan semilir angin yang mengantarkan dingin.

    Pagi ini indah, riuh dengan suara cericit burung pagi, aroma melati yang syarat bunga dan hiruk pikuk suara canda tawa anak-anak. Di televisi, Donald Trump sedang berpidato. Aku larut dalam pikiran yang berlompatan di benak.

    “Berlaku adil lah sejak dalam pikiran.” 

    Aku ingat Papa mengatakan itu suatu hari ketika Mama memarahi salah satu keponakan Mama memecahkan keramik kesayangannya. Hanya sepotong kalimat itu, namun seketika itu juga Mama berhenti mengomeli sepupuku.

    Mia, yang dimarahi Mama, sibuk mengumpulkan pecahan keramik dengan wajah bersalah, Dia sudah meminta maaf karena tak sengaja menjatuhkan keramik kesayangan Mama. Lap yang digunakan untuk melap keramik ternyata basah, menyebabkan keramik yang dipegang licin

    dan tak ayal jatuh dari genggamannya dan pecah berkeping-keping. 

    Mama yang mendengar kata-kata Papa berhenti memarahi Mia dan beranjak masuk kamar. Aku menepuk bahu Mia, mengambil sapu dari tangannya dan melanjutkan pekerjaan Mia bersih-bersih ruang tamu dan ruang tengah. Aku juga menyuruh Mia lanjut kerja di dapur saja membantu kakaknya menyiapkan makan malam. Biasanya memang bukan Mia bagian bersih-bersih ruangan, ini pekerjaan Wati, kakaknya. Tapi, hari ini karena Wati sibuk membantu Mama memasak untuk tamu yang akan makan malam bersama Papa, dia minta adiknya mengambil alih tugasnya untuk sementara.

    Aku membantu Mia menyapu sisa serpihan keramik, membuangnya ke tong sampah yang dibawa Mia, lalu  duduk di samping Papa yang meneruskan membaca kitab Al-Ghazali di ruang tengah rumah.

     “Jangan karena kemarahanmu, membuatmu tidak berlaku adil, karena orang yang tidak mampu mengelola kemarahannya adalah mereka yang belum matang emosionalnya meskipun sudah tua umurnya.” kata Papa seolah mengerti apa yang ingin kutanyakan.

    “Apakah dengan marah-marah akan mengembalikan kondisi keramik itu seperti sedia kala? Apakah menurutmu Si Mia sengaja ingin memecahkan keramik yang dia tahu itu adalah kesayangan Mamamu?” Papaku bertanya seperti itu sambil menatapku dengan seksama.

    Aku menggeleng.

    “Setidaknya Mama ingin memberi pesan kepada Mia bahwa lain kali kalau bekerja harus lebih hati-hati.” Jawabku.

    Papaku tersenyum dan berkata, “Hanya hati yang gembira dan bahagia yang bisa menerima nilai kebaikan dengan utuh nak, saat hatimu resah dan gelisah, nilai-nilai itu tak akan tersemai baik. Apalagi jika disampaikan dengan kemarahan. Kemarahan hanya akan menularkan kemarahan pula. Hati yang bahagia mampu menularkan hal yang sama.”

    “Ingat, kemarahan tidak pernah bisa menghanguskan orang lain selain yang bersangkutan karena saat kau marah kau memelihara iblis di dalam darahmu. Kau membesarkannya dan membiarkannya mengendalikan dirimu.” Sambung Papa lagi.

    Aku mencerna kata-kata Papa dengan seksama, menatap wajahnya yang masih terus menatapku dengan sungguh-sungguh, seakan berharap aku menyerap semua penjelasannya dengan baik. Aku memang bisa memahami penjelasan Papa dan sejujurnya aku juga bergidik mendengarnya.

     “Bagaimana mungkin Mia bisa menerima nasihat yang disampaikan dengan kemarahan, saat hatinya tengah gelisah dan merasa bersalah? Perasaan bersalahnya karena telah memecahkan keramik itu sudah cukup menekan batinnya, ditambah lagi dengan kemarahan Mama.”

    Aku mengangguk mengiyakan kata-kata Papa sambil membayangkan jika aku ada di posisi Mia. Aku pasti akan merasa sangat bersalah karena telah merusakkan bahkan memecahkan guci tua antik Mama itu, apalagi kami semua tahu betapa Mama sangat menyukai dan menyayangi semua barang-barang antiknya. Kami tahu bagaimana sulitnya beliau mengumpul dan mendapatkannya. Ada yang diberi sebagai hadiah dari keluarga di kampung karena mereka menganggap barang tersebut akan lebih aman bersama Mama yang bukan hanya sekedar mengoleksi tapi juga merawatnya dengan penuh cinta. Hingga semua koleksinya memiliki kisah masing-masing dengan keunikannya sendiri. Ada juga yang Mama beli karena tertarik dengan corak dan kisahnya. Aku pasti akan sangat tertekan melihat Mama merasa sedih karena barang kesayangannya hancur berkeping-keping. Papaku seolah tau apa yang tengah aku pikirkan.

    “Nak… Tuhan tidak menciptakan dua hati dalam satu jiwa. Saat hati kita kisruh dan gelisah, maka ketenangan dan kegembiraan akan tersingkir keluar dari sana. Karena itu, di saat marah dan kita lakukan ketika berdiri, kita disunnahkan untuk duduk. Jika masih marah juga, kita diminta untuk berbaring. Kalau masih marah juga, maka bangkit dan berwudhulah untuk mendirikan sholat sunnah dua rakaat, sampai sedemikian kita disunahkan untuk mengelola emosi. Menghadirkan Allah dalam hati serta menggusur iblis dan kaki tangannya dari sana, karena kegelisahan, kemarahan dan kekisruhan hati adalah jejak yang ditinggalkan iblis sebagai penanda bahwa dia tengah menguasai hatimu.” Papar Papa panjang lebar.

    Aku terpekur. Subhanallah…  

    ”Betapa mudahnya mengenali jejak iblis tanpa mesti melihat sosoknya. Saat dia menguasai hati kita, maka kita pun akan gelap mata tak akan mampu melihat kebaikan yang harus kita lakukan, apalagi melihat kebaikan orang lain, menghargai kerja orang lain. Otak kita tidak bisa menganalisa dengan jernih karena dalam darah kita iblis dan tentaranya telah bercokol, kita telah dikuasai iblis dengan telak dan tak ada tempat untuk kebaikan lagi di hati kita. Lalu bagaimana mungkin kita bisa berlaku adil? Jangankan kepada orang lain, karena sesungguhnya kita pun tidak berlaku adil kepada diri sendiri.”

    Aku masih diam dan menyimak kata-kata Papa dengan seksama. 

     ”Sejatinya kita bisa berlaku adil kepada orang lain hanya tatkala kita mampu berlaku adil pada diri sendiri. Kita bisa dikatakan berlaku adil pada diri sendiri, saat kita memberi hak penuh pada hati kita untuk tenang, untuk bahagia, sehingga kita mampu menyemai nilai-nilai kebaikan dengan baik, mengisinya penuh-penuh hingga tak ada tempat bagi iblis mendirikan istananya pula di sana. Hati yang bersih pasti menumbuhkan pikiran-pikiran yang baik, sementara pikiran-pikiran yang baik akan terejawantahkan dalam perilaku dan sikap yang baik, Kamu mengerti sekarang, kenapa kita diminta untuk terus menyibukkan hati dengan berzikir, agar hati kita bersih, agar hati kita tenang dan bisa melihat semuanya dengan jernih, bisa mengelola emosi dengan baik.” Papa mengakhiri ucapannya ketika melihatku mengangguk senang karena memahami semua apa yang beliau ucapkan. 

    Aihhhh ….. Ternyata banyak hal yang telah terlewati bersama Papa. Tiba-tiba aku rindu Papa.

    Rindu diskusi dan pelajaran mengelola hati dari beliau. Tidak terasa ini tahun ketujuh kami kehilangan beliau. Namun, setiap kejadian yang aku temui, pada setiap persoalan yang aku hadapi, selalu saja aku terkenang pada beliau, wejangan dan pelajaran yang beliau sampaikan, meskipun saat itu aku hanya mengumpulkan remah-remah ilmu dan baru bisa merangkainya dengan sempurna setelah aku mengalami dan menghadapi sendiri setiap masalah dan problem kehidupan. Seolah tahu bahwa aku saat itu hanya bisa mengumpulkan remah-remah ilmu.

    ”Mungkin, saat sekarang kau hanya bisa mengumpulkan remah-remah ilmu dari diskusi kita, atau mendengar diskusi Papa dengan teman-teman lain, artinya Kau Tahu karena diberi tahu, tapi Papa berdoa, Insyaa Allah suatu saat kau akan memetik inti dari penjelasan Papa saat kau sendiri melakukan perjalanan, karena semua kita akan berjalan di jalannya masing-masing meskipun tujuan kita satu, Kembali kepada Rabb Sang Maha Pencipta”

    Saat mendengar Papa berkata begitu, Aku hanya menunduk hikmat, namun belakangan setelah membuktikan sendiri kata-kata beliau, menjalani langsung apa yang dulu hanya aku anggap sebagai sekedar kata-kata nasihat, masya allah, rindu ini membuatku sesak. Namun, aku tak mungkin lagi berhadap-hadapan untuk saling beradu argumen, atau mengisak karena kalimat-kalimat Papa amat sangat menyentuh hatiku yang paling dalam. Papa sudah tenang di alam sana. Seperti yang sering beliau ucapkan kepada sahabat-sahabatnya yang nyaris setiap hari kerumah untuk mendengar tausiah beliau.

    ”Aku sudah menyampaikan semua yang harus aku sampaikan, dan biarkan aku sibuk dengan Tuhan-Ku di hari-hari terakhirku.”

    Sejak saat itu Papa lebih banyak diam, benar-benar sibuk dengan Tuhannya. Sholatnya panjang, zikirnya lama, hingga akhirnya beliau pulang dengan tenang dan membuat iri yang melihat kepergiannya. Al-Fatihah.

     Ya Allah… sayangi dan cintai beliau sebagaimana beliau menyayangi kami diwaktu kecil bahkan hingga di usia sekarang ini masih saja butir-butir hikma yang beliau ajarkan masih kami rasakan nikmatnya. Al Fatihah untukmu Papa, kiranya Allah swt senantiasa mengucurkan rahmat dan melapangkan makammu, serta memberi tempat mulia di sisi-Nya.

     

     

    Kreator : Anna Sovi Malaba

    Bagikan ke

    Comment Closed: Adillah Sejak Dalam Pikiran

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021