Malam itu Sasi terlihat begitu ceria. Dia lenggak-lenggok di depan cermin besar, mengenakan baju rumbai panjang warna merah jambu sambil tersenyum sendiri. Tiba-tiba ayahnya masuk ke kamar dan mengagetkannya.
“ Wow, cantik sekali anak Ayah, mau ke mana mengenakan baju seperti itu?” tanya ayahnya heran.
“ Besok pagi ayah harus hadir ke sekolah!” kata Sasi sambil menyerahkan undangan dari sekolah.
“Selain pembagian rapor, ada pentas seni juga, kebetulan Aku akan tampil untuk membacakan puisi, besok pagi ayah harus datang ya!’ ujar Sasi menegaskan.
“Iya sayang, pasti Ayah akan datang untuk mengambil rapor dan menyaksikan penampilanmu di panggung,” kata ayah sambil memeluk Sasi dari belakang.
Senin pagi pukul 06.30 Sasi sudah siap ke sekolah. Karena undangan kepada wali murid pukul 09.00, maka Sasi berangkat duluan. Sebelum berangkat tidak lupa Sasi berpamitan kepada ayah dan ibu serta mengingatkan mereka untuk datang ke sekolah mengambil rapor.
Sekolah Sasi tidak begitu jauh dari rumah, kurang lebih 15 menit dengan jalan kaki. Pukul 08.30 suasana di sekolah sudah terlihat ramai anak-anak maupun orang tua yang akan mengambil rapor. Sasi tengak-tengok mencari ayahnya yang telah berjanji untuk datang pagi itu. Dua jam telah berlalu, dan ayah Sasi belum hadir. Tiba saatnya Sasi maju ke atas panggung, ayahnya belum terlihat juga. Dia naik ke atas panggung dengan perasaan sedih karena ayahnya tidak jadi datang. Dia membawakan puisi yang berjudul Kasih Sayang Orang Tua.Banyak hadirin yang meneteskan air mata terharu mendengar puisi yang dibacakan oleh Sasi.
Tiba saatnya pembagian rapor, diumumkan juara kelas untuk masing-masing level. Juara 1,2 dan 3 maju ke atas panggung untuk menerima piala dan hadiah dari sekolah.
“Juara 1 kelas 6 adalah Nawangsasi, diharap segera naik ke atas panggung bersama orang tua!” suara panitia dari samping panggung. Mendengar namanya disebut, Sasi merasa senang dan juga sedih. Senang karena bisa memperoleh juara 1, tapi sedih karena ayahnya tidak hadir ke sekolah. Akhirnya Sasi naik ke atas panggung tanpa didampingi orang tua.
Beberapa menit kemudian, Bu Seruni wali kelasnya memanggil Sasi dan mengajak untuk ke rumah sakit. Ternyata ayahnya kecelakaan, saat mau membelikan hadiah untuk Sasi dan segera dilarikan ke rumah sakit. Di sana Sasi melihat ibunya menangis kencang dan dipeluk oleh Bu Tari tetangga depan rumahnya. Sasi berlari mendekat dan bertanya kepada Bu Tari.
“Bagaimana kondisi Ayahku, Bu?” tanya Sasi tak sabar.
“ Ayahmu telah pergi, Nak!” jawab Bu Tari dengan suara yang berat.
Sasipun memeluk ibunya dan ikut menangis dengan kencang. Sasi sangat sedih karena tidak bisa menunjukkan Piala dan hadiah dari sekolah kepada ayahnya. Dengan kesedihan yang mendalam Sasi mengantar jenazah ayahnya untuk dimakamkan. Mau tidak mau dia harus mengiklaskan kepergian ayahnya.
Dua tahun telah berlalu dan kini Sasi sudah duduk di kelas 9. Sasi tinggal bersama neneknya, sementara ibunya bekerja di pabrik di daerah Subang dan pulangnya sebulan sekali. Terkadang sebelum sekolah, Sasi ke rumah Bu Seruni untuk mengambil es lilin untuk dititipkan di warung-warung. Dengan begitu, Sasi bisa punya uang jajan sendiri. Sementara hasil dari ibunya untuk membayar uang sekolah Sasi dan keperluan nenek.
Sudah seminggu ini ibunya tidak bekerja di pabrik. Karena kondisi pandemi, maka pabrik mengurangi jumlah tenaga kerja, salah satunya ibu Sasi. Akhirnya ibunya diterima bekerja membantu di toko sembako Pak Rusdi sebelah barat pasar. Sasi dan ibunya bisa berkumpul lagi karena tokonya tidak jauh dari rumah Sasi. Terkadang sepulang sekolah, Sasi ikut membantu di toko Pak Rusdi, karena cukup ramai pembelinya.
“Sasi, kemarilah Nak, Ibu ingin bicara!” panggil ibunya saat Sasi selesai sholat Isya.
Sasipun segera membereskan mukena dan mendekat kepada ibunya.
“Pagi tadi, Pak Rusdi mengatakan ingin menjodohkan Ibu dengan adiknya yang seorang ustad, dan rumahnya di kampung sebelah!” kata ibu Sasi berusaha menjelaskan pelan-pelan kepada Sasi. Sasi tidak langsung menjawab malah langsung lari dan menutup dengan keras pintu kamarnya. Mengetahui itu semua, neneknya segera datang ke kamar dan berusaha memberikan pengertian kepada Sasi. Akhirnya Sasi keluar kamar, mendekat kepada ibunya dan berkata bahwa dia setuju kalau ibunya akan menikah lagi. Ibunya terlihat gembira dan memeluk Sasi dengan erat seraya mengucapkan terima kasih. Sepekan kemudian dilangsungkan pernikahan ibu Sasi dengan adiknya Pak Rusdi.
Lima bulan setelah pernikahan, ibunya hamil. Sasi sangat senang karena sebentar lagi dia akan mempunyai adik. Setiap hari Sasi menyisihkan separuh uang jajannya untuk dimasukkan celengan. Dia ingin membelikan kado untuk adiknya kalau sudah lahir.
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah sembilan bulan usia kandungan ibunya.
“Sasi, cepat telpon bidan Sri, sepertinya ibumu akan melahirkan!”teriak nenek memanggil Sasi.
Sasi segera menelpon, namun ternyata bidan Sri sedang tidak berada di rumahnya. Semua orang di rumah menjadi panik, apalagi melihat kondisi ibu Sasi yang terus merintih kesakitan. Sasi akhirnya menelpon Pak Rusdi untuk mengantar ibunya ke rumah sakit, karena ayah Sasi sedang di luar kota.Pak Rusdi segera mengantar ibu Sasi ke rumah bersalin dekat kecamatan. Namun di perjalanan kondisi semakin memburuk. Ibu Sasi sudah tidak kuat lagi menahan sakit dan akhirnya pingsan. Sasi menangis sambil terus memegang tangan dan memanggil ibunya. Setelah sampai di rumah sakit, ibu Sasi segera di bawa oleh perawat ke dalam kamar bersalin.
“Siapakah keluarganya?” kata dokter yang baru keluar dari ruang kamar bersalin.
“Saya, dok!” teriak Sasi dan Pak Rusdi berbarengan.
“Maafkan, kami telah berusaha, namun Tuhan berkehendak lain, ibu dan bayinya tidak bisa kami selamatkan,” kata dokter.
Sasi menangis histeris dan segera masuk ke dalam kamar bersalin. Dia melihat ibunya sudah ditutup kain putih. Sasi membuka kain penutup ibunya dan menangis kencang.
“Jangan tinggalkan Sasi sendiri bu!” tangis Sasi seraya memeluk jenazah ibunya.
Nenek mendekat dan berusaha menenangkan Sasi.
“Semua sudah kehendak Allah, Nak! Kita harus mengikhlaskannya. Doakan ibu dan adikmu diterima di sisi Allah SWT,” nasehat nenek sambil mengelus lembut kepala Sasi.
Untuk kedua kalinya Sasi merasakan kesedihan yang mendalam, kehilangan orang-orang yang dicintainya. Sambil berlinang air mata, Sasi berjanji di atas kuburan kedua orang tuanya. Dia berjanji untuk tidak menyerah, akan terus belajar dan berjuang untuk meraih masa depan yang cerah, sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Sepeninggal ibunya, Sasi hidup bersama nenek. Ayah sambungnya membiayai sampai Sasi lulus kuliah. Tujuh tahun kemudian Sasi telah menjadi bidan dan membangun klinik kesehatan di desanya. Kini Sasi sudah dapat membuktikan janjinya. Dengan keahliannya dia telah menjadi orang yang bermanfaat dan dapat membantu warga di desanya.

Tri Setyawati. Lahir di kota Kebumen, Jawa Tengah. Penulis adalah ibu dari dua orang anak dan menjalani keseharian sebagai pendidik di Pondok Pesantren Al-Zaytun Indramayu. Buku Antologi pertama dan keduanya berjudul “Diary Seorang Guru” dan “My Unforgettable Song” diterbitkan awal tahun 2022. Jejak bisa ditemukan di akun instagram tri_setyawati23. Kedewasaan akan terbina jika kita bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi dan bukan lari dari tanggung jawab.
Comment Closed: Air Mata Sasi
Sorry, comment are closed for this post.