KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Akhir Sebuah Perjuangan

    Akhir Sebuah Perjuangan

    BY 10 Jun 2024 Dilihat: 91 kali
    Akhir Sebuah Perjuangan_alineaku

    Semalaman aku tak bisa memejamkan mata, suara televisi menemani mataku yang enggan di katup, setelah meng cancel pesawat yang sudah dipesan sebelumnya ke Palu via Balikpapan, aku segera minta anakku mencari pesawat ke palu via makassar, karena lebih mudah mendapatkan akses ke palu dari makassar dari pada rute yang semula via Balikpapan. Anakku akhirnya kembali ke kamar, meninggalkan aku dan Irma di ruang makan. Aku tahu bahwa Irma juga cemas karena dia pun belum menerima kabar apapun dari suami dan kerabatnya. Tapi aku kehabisan kata untuk menghibur, hingga kami kembali ke kamar masing-masing dan tenggelam dalam pikiran dan perasaan sendiri-sendiri. 

            Pukul 02.30 dini hari aku menyalakan lampu, dan berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu.. sungguh saat ini aku merasa seperti kapas, yang terbang ringan tanpa rasa. Pikiranku dipenuhi bayangan kejadian gempa yang kami alami ditahun 2006, kami mengungsi di ketinggian, tidur di tenda, siang kepanasan dan malam kedinginan. Pasti begitulah mereka di Palu malam ini. Dalam keadaan gelap gulita, tak ada jaringan telepon apalagi internet sama sekali. 

           Jika tahun itu kami bersama, saat ini aku tak tahu bagaimana kondisi mereka malam ini. Jika saat itu aku sempat menyambar selimut bantal dan sprei saat meninggalkan rumah menuju pengungsian, malam ini adakah diantara mereka yang ingat untuk membawa semuanya saat mengungsi?

            Aku percaya bahwa skenario Allah selalu tepat bagi setiap hambaNya, aku yakin bahwa dalam setiap peristiwa yang Tuhan kirimkan selalu ada keajaiban. Menjadi mustahil jika kita tidak meyakini. Dan cinta Allah adalah keajaiban. Aku habiskan malam dengan berkeluh kesah pada Sang Pemilik hidup, entah kenapa di sudut hatiku yang paling dalam tumbuh keyakinan bahwa aku bisa pulang. Itu sebabnya aku terlelap di atas sajadah malam itu dengan mukenah yang masih terpasang. Dan pagi harinya aku hanya menyeduh teh di kamar, makan sepotong roti sambal menerima beberapa kawan yang mampir ke kamar menghibur dan pamit pulang. Alhamdulillah kami dapat pesawat sore ke makassar.

            Pesawat kami landing di bandara Hasanuddin pukul 19.00 wita. Dari informasi medsos aku menemukan bahwa ada jadwal pesawat hercules yang akan ke palu. Dan syaratnya hanya menyerahkan ktp saja. Aku, anakku dan Irma sepakat untuk mencoba jalur itu. Karena sementara waktu bandara Mutiara ditutup untuk penerbangan komersil sampai dengan waktu yang tidak ditentukkan. 

           Dari Hasanuddin kami langsung menuju Lanud. Disana kami menemukan sudah begitu banyak yang mendaftar untuk ikut terbang. Bahkan ada beberapa teman-teman pejabat Pemprov yang sudah semalaman antri untuk terbang, karena harus ikhlas menyerahkan tempat untuk tim kesehatan, dan relawan yang pasti sangat dibutuhkan di palu. 

           Nama kami masuk dalam daftar ke 80. Info yang kudapat bahwa besok pagi akan ada 6 flight ke palu hingga aku sangat optimis bahwa kami pasti bisa diberangkatkan, apalagi nomor pendaftaran kami masih dibawah 100. Salah satu rekan menyampaikan bahwa sebaiknya kami tidak usah ke hotel, bertahan saja di Lanud. Jangan sampai tidak kebagian tempat. Kami Pun memutuskan untuk menginap bersama dengan ratusan orang yang memiliki harapan dan niat yang sama. Dari percakapan dengan teman-teman di teras kantor tempat menunggu, aku akhirnya berkeputusan untuk menelpon sahabat di makasar agar bisa membantu membeli makanan yang akan kami bawa ke palu. Karena sudah terbayang bahwa beberapa hari kedepan tidak akan kami temui toko atau pasar yang akan menjual bahan makanan. Aku juga diingatkan untuk membawa uang case khawatir bank belum beroperasi sampai situasi berjalan normal. 

           Aku bersyukur Allah mempertemukan aku dengan begitu banyak orang baik. Mengingatkan untuk membawa Bahan makanan, uang tunai padahal sama sekali tidak terlintas dibenakku, dalam benakku aku hanya harus pulang, membawa bahan makanan iya, tapi membawa uang case? untuk apa uang jika tak ada apa yang mau dibeli? Siapa pula yang mau berjualan ketika kondisi kota porak poranda?  Tapi akhirnya aku berubah pikiran, semua pasti ada manfaatnya karena Allah jua yang menggerakkan mereka semua untuk menyampaikan hal-hal baik. 

            Malam ini aku mendapat tempat duduk yang lumayan nyaman, tapi apa yang bisa dinikmati jika pikiran kita penuh? Meski mata mengantuk, karena ini malam kedua aku tak tidur, mustahil juga bisa selonjoran, karena padatnya manusia sehingga duduk pun harus berdempetan. Di Kiri kananku terdengar keluh kesah mereka yang menumpahkan semua sampah emosi dari berbagai peristiwa yang mereka alami kaitan dengan kejadian gempa dan tsunami.      Ada yang berkisah sambil mengisak, ada pula yang berkisah dengan mata berembun. Sangat emosional dan mengharukan. Mendengar kisah mereka aku merasa lebih beruntung karena aku berada disini dengan kabar bahwa semua anak-anakku selamat. Sementara mereka ada yang sama sekali tidak bisa kontak dengan keluarga, sehingga tidak tau bagaimana kondisi mereka disana, bahkan ada yang bertujuan memastikan apakah berita yang mereka terima tentang kematian sanak keluarganya benar. Sesekali kami menangkap isak tertahan saat ada yang menerima telepon, suasana seketika senyap seolah sengaja membiarkan tangis itu terbawa angin malam. 

           Dalam suasana seperti itulah aku sempat memejam . Ternyata tubuhku takluk akan hukum alam. Keletihan raga, sesaknya jiwa dan padatnya pikiran melemahkan semua organ, dalam situasi klimaks tubuh akhirnya melemah dan butuh relaksasi. Nyaris sejam aku memejam. Aku terjaga karena hpku berdering. Telpon dari mantan komisioner yang akhirnya ikut bergabung untuk balik ke palu. 

           Saat subuh menjelang, semakin bertambah jumlah manusia yang datang, halaman penuh dengan tim kesehatan, relawan, crew telkomsel, crew pertamina dan masyarakat sipil keluarga korban. Terbersit dibenakku kenapa semalam aku tidak balik saja ke hotel dan datang lagi ketika terang tanah. Mungkin dengan istirahat cukup aku lebih siap menerima kejutan tak diberangkatkan karena harapan itu sesungguhnya mulai menipis. Jam 6 pagi penerbangan pertama diberangkatkan.

           Aku senang melihat beberapa rekan yang sudah dua hari menunggu akhirnya berangkat. Dengan sabar kami menunggu. Saling berbagi cerita lagi dengan yang baru datang. Saling menanyakan alamat tinggal di palu dsb. Seorang prajurit mempersilahkan kami untuk mandi di baraknya. Dengan halus aku menolak bukan apa-apa karena aku sudah menitipkan koper pakaian di rumah teman. Aku hanya menyimpan dalaman jika sewaktu-waktu aku perlukan untuk salin. 

            Waktu terus berjalan .. tak terasa sudah 15 jam kami menunggu dalam ketidak pastian. Nama-nama yang ditempelkan di dinding barak sudah ku teliti kembali satu demi satu. Tak ada nama kami yang tertera disana. Aku mulai putus harapan. Anakku juga mulai bosan karena letih dan tidak tidur semalaman. Bertemu temannya yang menawarkan untuk jalan darat saja,” Nak, kita sudah dua hari kurang tidur, kalau kita memaksa naik mobil sampai di palu, sama halnya kita bunuh diri. Karena pasti tubuh kita tidak kuat lagi duduk tanpa tidur selama 24 jam” kita tunggu sampai jam 12 siang nanti, jika kita tidak kunjung dipanggil kita ke hotel untuk istirahat dan besok kita siap jalan darat” diapun mengalah dan minta izin ke masjid untuk tidur sebentar. Matahari semakin tinggi, jumlah orang pun tidak berkurang, bahkan semakin banyak. Ada yang karena bosan segera memutuskan naik kapal, ada juga yang langsung memutuskan naik rental. 

           Ketika tiba-tiba kudengar seseorang mengatakan bahwa ada panggilan untuk penerbangan terakhir hari ini. Aku langsung menarik koper dan mengajak Irma berdiri. Seketika  aku seperti mendengar namaku dipanggil. Akupun tanpa pikir Panjang langsung  berusaha menerobos kerumunan orang, duh bukan masalah kecil ternyata. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih aku miliki aku berusaha menerobos padatnya calon penumpang, yang semakin banyak dan semakin mudah marah. Cuaca yang panas menyengat makin memicu tingkat emosional setiap orang. 

            Dengan dua tangan penuh beban aku memaksa diriku menerobos kerumunan yang masya allah. Kemeja dan dalamanku basah oleh keringat, kepalaku serasa mau pecah karena panasnya mentari, mataku perih karena keringat tapi aku tidak bisa menyeka peluhku.  Aku tidak bisa melepaskan kardus indomie titipan teman yang katanya harus aku bawa ke palu. Karena dalam pikiranku percuma aku datang kesana jika tidak meringankan beban mereka, malah kelaparan bersama karena ketiadaan makanan. Ada beberapa yang masih peduli dan berusaha membantu membukakan aku jalan, tapi lebih banyak yang beringas dan justru sama sekali tidak mau bergeser. Subhanallah….

            Dengan susah payah aku akhirnya sampai di depan pintu pagar yang dibuka hanya seukuran badan. Ketika aku berusaha masuk, seorang petugas menahanku, ibu belum dipanggil. Aku meradang ” bagaimana mungkin aku memaksa maju jika belum dipanggil? Aku mendengar namaku dipanggil ” jawabku menahan sabar, “siapa nama ibu?” Tanya petugas, “Anna Sovi” kusebut nama lengkapku, seorang bapak dengan mata mendelik menjawab ” bukan anna yang dipanggil tapi wana, dan tadi sudah di dalam” ya Ilahi…. rasanya aku ingin mengamuk tapi aku kehabisan kata-kata sehingga hanya air mataku yang jatuh deras bercampur peluh. Belum cukupkah ya Allah Kau menguji kesabaranku? Aku mulai labil karena didorong dengan kasar oleh orang-orang yang merangsek maju, aku limbung karena ranselku ditarik, seorang bapak dan petugas keamanan menahan tubuhku, tapi kakiku tak kuat karena sama sekali tidak bisa bergeser sedangkan badanku sudah doyong ke belakang. Seorang ibu berteriak karena jatuh dan terjepit disebelahku. Dia berteriak histeris, aku melepas pegangan koper dan menarik sekuat yang aku bisa. Alhamdulillah ibu itu berhasil berdiri tegak. Dia memegang tanganku kuat. 

            Sungguh aku merasa berada di puncak perasaan asing yang liar dan tak terkendali. Apalagi kemudian aku mendengar suara petugas yang memanggil nama seseorang dan melihat ternyata yang dipanggil itu adalah orang yang baru datang jam sembilan pagi tadi, Kami sempat bicara dan dia menanyakan bagaimana cara mendaftar agar bisa diberangkatkan. Kusentuh lengan tentara penjaga yang menawarkan untuk mandi di baraknya tadi pagi “Pak, bagaimana bisa seperti ini? Bapak tau saya sudah dari jam 08.00 malam disini, sedangkan bapak tadi kan aku yang minta dia ketemu bapak?” Kataku putus asa. 

            Ternyata dimanapun, dalam situasi apapun manusia bisa kehilangan rasa keadilan. Apalagi disaat kritis seperti ini. Dia menatapku iba tanpa bicara, melangkah pergi dan bercakap dengan petugas lain. Aku sudah tak kuat lagi berdiri, semangatku sudah terbang. Kemejaku kuyup seolah tersiram hujan, pandanganku mulai nanar, kusentuh sekali lagi tangan petugas yang berdiri dihadapanku “Pak, tolong bantu saya keluar.. saya tidak jadi berangkat. Beri kesempatan yang lain saja. Itu bapak dan ibu yang masih segar dan baru datang pagi ini. Saya berdoa semoga bapak-bapak petugas tidak merasakan apa yang kami rasakan” kataku setengah berteriak.     Seorang prajurit angkatan udara menoleh ke arahku, menarik tanganku dan membantuku keluar dari pintu pagar besi penghalang. “Subhanallah bu, ayo ibu naik ke pesawat yang sana” katanya menunjuk pesawat hercules yang menjadi harapan bagi ratusan orang yang kini menatap ke landasan pacu serasa melihat gundukan berlian. Karena itulah satu-satunya yang bisa menghubungkan mereka dengan keluarga yang sebagian tidak ketahuan nasibnya seperti apa. 

            Aku melangkah gontai, kakiku goyah kehilangan kekuatan, tenggorokanku kering,berjalan menuju  landasan pacu, keluar dari kerumunan manusia yang beringas seolah bebas dari terowongan maut. Aku menghempaskan diri di tanah. Mencari botol air dan meneguknya  hingga tinggal tersisa sedikit. Prajurit tadi berdiri menunggu dengan pandangan memelas, aku menengok dan memegang tangannya, ” Pak, tolong saya sekali lagi, saya tak mungkin berangkat tanpa anak dan kasubag saya, tolong bawa mereka bersama saya” kataku dengan air mata… ” siapa nama putra ibu dan kasubagnya?” Aku menyebutkan nama mereka, lalu dia berteriak memerintahkan temannya untuk memanggil nama kasubag dan putraku. ” sesaat kemudian putraku berdiri di hadapanku dengan wajah penuh keringat dan pucat. ” kau tak apa-apa nak?” Tanyaku khawatir karena tahu kondisi kami sama dropnya, apalagi harus menembus kerumunan orang seperti ini, dia menggeleng dan tersenyum letih “Bagaimana bunda bisa menerobos orang-orang yang sudah separuh gila begini?, betul-betul perjuangan yang berdarah-darah” katanya sambil tersenyum kecut. Nama kasubag ku masih terus dipanggil. Tapi aku pesimis dia bisa tembus, kubayangkan tubuh mungil dan ringkihnya, pesimis dia sanggup berdesak-desakan dalam keadaan padat seperti ini.

    “Ayo bu segera jalan ke pesawat. Kita sudah akan segera berangkat” kata tentara mengambil alih semua bawaanku. Dengan sedih ku tengok sekali lagi pintu pagar besi pembatas, berharap ku temukan sosok kasubag ku berdiri disana dan aku akan memohon kepada prajurit baik hati ini untuk meloloskannya agar bisa ikut dengan kami. Aku tak sanggup menatap pandangan orang-orang yang putus asa di balik pagar.. seperti rasa putus asa yang nyaris menyergapku tadi. Aku menengadah menatap langit, berucap syukur kepada illahi atas pelajaran yang kudapat hari ini… dalam hidup selalu ada yang harus diperjuangan dengan berdarah-darah, dan semesta akan meridhoi dan membuka semua jalan kemudahan untuk itu….

     

    Kreator : Anna Sovi Malaba

    Bagikan ke

    Comment Closed: Akhir Sebuah Perjuangan

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021