KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Aktivis Surat

    Aktivis Surat

    BY 06 Nov 2024 Dilihat: 121 kali
    Aktivis Surat_alineaku

    Aku termasuk yang mudah memaafkan. Meskipun kecewa kadang tak begitu lama memendam rasa itu. Waktu kadang memulihkan dengan sendirinya.

    Seperti sekarang, hubunganku dengan Elan tiba-tiba membaik setelah beberapa bulan ke belakang terasa begitu tak mengenakkan. Aku rasa bantuannya mengantarkanku ke Rumah Dosen Psikologi itu cukup mengobati segala kekecewaan yang ia goreskan. Mengalah sedikit bagiku tak keberatan daripada harus mempertahankan ego yang seringnya memperburuk keadaan. 

    Aku masih berharap ia bisa lebih baik menjaga hubungan ini kedepannya. Semoga tak mengulang kesalahan yang sama yang akhirnya membuat hubungan ini begitu hambar tak bergizi.

    Masalah yang datang bersamaan saat awal mengajukan sidang proposal skripsiku itu ternyata menjadi ujian yang begitu berat aku hadapi. Silih berganti masalah demi masalah datang menghampiri. Mulai dari adikku, Tauhid, dikhitbah, tetanggaku yang juga ingin melamarku, A Ijal mengatakan bahwa ia suka padaku, dan hampir bersamaan pula salah seorang Ustadz di pesantren menanyakan statusku pada Tauhid, apakah aku sudah ada yang mengkhitbah juga atau belum.

    Karena mereka tahu bahwa tauhid sudah dikhitbah oleh Teman satu kelasnya dari pesantren yang sama sehingga berita ini cukup heboh dan populer menyebar seantero pesantren tempat Tauhid belajar dan aku sebagai alumni di sana.

    Dengan polosnya, Tauhid begitu jujur mengatakan bahwa aku belum ada yang mengkhitbah. Maka, Ustadz itu pun berkata, “Kalau begitu, Ustadz akan  datang kepada Bapak untuk melamar kakakmu untuk sahabatku.”

    Kabar tak terduga ini tentu saja segera disampaikan pada Ayah dan Ibu oleh adikku itu dan menganggap ucapan Ustadz itu bukan perkara main – main dan gurauan. Hingga Ayah pun memanggilku dan memberi kabar yang telah disampaikan oleh Tauhid.  Sudah pasti aku terkejut, takut dan juga khawatir yang sangat dalam tak bisa ku ungkapkan. 

    Hampir tak percaya dengan semua yang menghampiriku ini, beberapa laki- laki dengan maksud yang sama dan bersamaan. Terlepas dari semua alasan yang tak ku tahu mengapa ini bisa terjadi padaku dalam situasi yang tak berjeda. Aku yang tak ingin lamaran yang lain selain Elan. Dia yang kuharapkan dan satu-satunya pria yang kutunggu. Tapi aku takut bila sesuatu hal terjadi di luar keinginanku. Sehingga kabar ini pun ku sampaikan pada Elan sebagai bentuk khawatir dan  kepanikanku tanpa berpikir panjang melalui sepucuk surat. Situasi tak mengenakkan ini sangat tidak boleh terlewatkan untuk ku kabarkan padanya. Aku ingin tahu pandangannya dan bagaimana ia menanggapi dan memberikan solusi yang bisa memberikan rasa tenang dan aman menghadapinya. Tapi, bagian cerita Tauhid sudah dikhitbah tak ku sampaikan. Aku meraba perasaannya dan menyadari betul sebagai sesama makhluk manusia yang saling mencintai dengan status    mahasiswa yang belum lulus dan belum ada pembahasan yang lebih serius  ke arah sana. Tidak ingin  membuatnya merasa  tertekan atau apalah namanya. Intinya, saat ia melamarku harus benar-benar tuntutan dari nurani dan kesadaran sendiri tanpa campur tangan siapapun . Murni keinginan dan kesiapannya sendiri.

    Tapi, setelah menyadari bahwa aku terlalu panik hingga harus mengirimkan kabar burung itu kepadanya, aku segera mengirimkan surat ke dua bernadakan bahwa mungkin ustadz  itu hanya iseng- iseng saja.

    Tapi, apa jawaban Elan yang kuterima di suratnya, itu ternyata sangat menyakitiku. Seenaknya bilang bahwa aku terlalu membesar-besarkan hal yang kecil dan sepele. Terlalu memberikan reaksi yang berlebihan terhadap hal yang belum tentu. Padahal, aku ini perempuan wajar dan pantas bila merasa takut dan khawatir. Jujur saja, aku benar-benar kecewa.

    Aku benci kata-kata khitbah  saat itu. Bagaimana bisa adikku begitu bahagia dengan itu semua, sedangkan aku malah sebaliknya. Aku merasa ditampar, dipermalukan, bahkan kata-kata itu seolah menghinaku, menertawaiku hingga mukaku kemerahan. Kata-kata itu asli benar menyakitiku dan tak boleh terulang menyakitiku untuk kedua kalinya. Bagiku persoalan khitbah itu bukan persoalan enteng dan sepele karena ini menyangkut komitmen hidup, masa depan,  melibatkan perasaan hati dan nurani.

    Terus terang, aku hampir menyerah saat itu. Aku benar-benar stres dan pesimis, ingin berontak tapi aku tak ingin dibilang sebagai pengecut atau pengkhianat yang lari dari kenyataan, walau sebenarnya hatiku meraung-raung menjerit dan menangis. Untungnya, aku masih mempunyai iman dan menyadari ini adalah ujian agar kakiku bisa tahan saja. Aku berusaha tampil sebagai perempuan yang tegar dan ceria, tak ingin keluargaku tahu sebenarnya hatiku benar-benar rapuh hampir tak berdaya saat itu.

     

    Perlakukan aku sepuasmu

    Adakah kata-kata tajam melebihi hunusan pedang?

    Aku kalah dalam perang

    Melawan ketidakberdayaan

    Kekhawatiranku menjerumuskan

    Keresahan membuatku gila!!

    Aku kalah …

    Aku jatuh, lemah, terkapar di tanah,

    Seperti kepingan-kepingan genting

    Yang tak ada harga lagi baginya

    Di mukaku penuh debu,

    Di hatiku penuh duri,

    Di telingaku kalimat-kalimat pedas itu bersembunyi.

    Jika mau,

    “Bunuh aku sekarang juga!! Agar setelah kepedihan, tak ada kehidupanku yang kedua!!”

    Seperti itu ekspresi yang kutulis di buku diary saat itu. Sebagai bukti rasa kesal, jengkel, kecewa, dongkol dan rasa putus asa,  juga kekerasan hatiku menolak pernyataan yang hampir tak meraba perasaan itu. Padahal ada kalanya harus menimbang sesuatu berdasarkan akal dan rasio dan ada saatnya harus menimbang sesuatu berdasarkan sudut perasaan. 

    Saat itu, aku mulai ragu dan bimbang. Surat yang biasa kukirim sebulan sekali aku coba hentikan. Aku memutuskan untuk diam dan mengalah karena kekerasan tak mungkin reda bila tandingnya kekerasan juga. Sambil berfikir hubungan ini harus terus berjalan atau tidak.

    Setelah  berpikir panjang, sampailah aku pada keputusan terakhir untuk menanyakan dan meminta kepastian Elan masih lewat surat dan meminta jawaban surat itu harus kuterima minggu itu juga. Jika jawaban itu tidak ada, berarti aku sudah bisa memastikan dan menyimpulkan sendiri hatinya tidak condong padaku lagi.

    Benar surat itu ku kirim dan balasannya kuterima minggu itu juga. Namun, jawaban yang tercantum di surat itu lagi – lagi memukul batinku.

    “Sangat ingin Aku patuh kepadamu, tapi masa depan kita bukan hanya membuat dan membalas surat.” tulisnya.

    Dia memang tega dan keterlaluan. Dia pikir caraku mengirimkan surat itu bukan salah satu proses mencapai tujuan. Dia pikir apa yang kusampaikan adalah gurauan dan candaan yang tak bermakna. Padahal ada banyak hal dan cara yang bisa ditempuh untuk mempertahankan hubungan ini. Aku memang tak bisa menemuinya, dia pun jarang menemuiku. Tak bisa sering menelponnya, hanya sesekali saja itu pun kadang tak tepat karena telepon hanya ada di rumah pemilik kosan. Apalagi aku tak bisa dihubungi lewat telepon terkecuali saat aku di rumah Bibi di Sukaregang.

     

    Hidup memang bukan untuk membuat dan membalas surat. Tapi mengatakan hal itu harus lebih sederhana terdengar di telingaku karena telinga dan hatiku menolak keras inti bahasa yang ia kirim kepadaku itu. 

    Kenapa tidak bilang saja begini,

    “Maaf, Tie. Lan lagi sibuk banget. Nanti kita bahas bersama ya sampai nemu solusinya. Tapi tidak sekarang, ya. Mohon untuk  bersabar dulu.”

    Nada begitu, walau berbohong sekalipun mungkin aku akan lebih memahami. Kalimat itu jauh akan lebih menenangkan jiwaku yang butuh penguatan. Tak muluk- muluk memang keinginanku hanya ingin didengar dan dipahami saja, dikuatkan batinnya dan di support keyakinannya.

    Sayangnya, malah kebalikannya yang kudapat. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga, begitu menggambarkan rasa hatiku yang terasa tercabik-cabik bertubi-tubi. Proposal yang akan ku sidangkan bakal Bab 1 skripsiku hampir-hampir  tak ku pedulikan sama sekali. Otakku serasa buntu bila harus memikirkannya.

    Jika aku tak pernah berjanji untuk menunggunya mungkin aku sudah pergi berlari meninggalkan segala kekecewaan. Di hatinya seberapa besar cintanya padaku? Di matanya, seberapa berharganya aku? Apa benar ia mengharapkanku atau rasa itu memang sudah pupus dan hilang bersama sikapnya yang kian hari kian tak menunjukan rasa yang sama seperti dulu?

    Lillahi Ta’ala kujalani hidup ini walau tanpa kepastian. Jika hari ini aku tetap disini. Entah siapa yang sebenarnya aku tunggu. Entah cinta atau perjanjian saja yang membuatku bertahan. Padahal, cinta sendiri sebenarnya lebih sering menyakitiku. Usaha dan perjuanganku mempertahankan hubungan ini kurasa telah maksimal tapi ternyata belum juga menghasilkan apa-apa. Tuhan selalu mengulur waktu bahkan ikatan sebelum pernikahan saja. Itukah pertanda bahwa Elan bukanlah  jodoh buatku? Sungguh aku tak tahu.

    ****

    Menjelang usia hubungan kami yang keenam, aku menyempatkan diri mengirimkan suratku lagi setelah sekian bulan lamanya berhenti dari aktivitas  surat menyurat. Walau sebenarnya hatiku tak meyakini jalan yang ku tempuh ini benar.

     

    Campaka , 25 Oktober 2003

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

     

    Syukur Alhamdulillah kita masih bisa bertemu di sini, tersenyum, bercanda  meski ada banyak hal yang kurang mengenakkan. Kuncinya adalah sabar sehingga selalu ada saja saat bahagia yang kita nikmati di tengah situasi yang tak terasa baik- baik ini. bagaimanapun. Semoga beserta Rahmat Allah SWT kita selalu dapat mengatasi segala rintangan dan persoalan hidup yang di hari-hari belakang terasa kian memberatkan.

    Apa kabar A’ Lan? Pasti lebih baik bukan? Kuliahmu baik – baik juga tentunya. Kesehatanmu pasti tidak mengkhawatirkan. Dan, mudah-mudahan bahagia dengan apa yang sedang kau jalani sekarang. 

    Perjalanan waktu telah mengantar kita pada Oktober 2003. Bagaimanapun juga ada banyak hal yang perlu digaris bawahi dari awal sampai di penghujung tahun 2003 ini.

    Penuh gertakan, penuh kejutan. Banyak hal yang telah membuatku cengeng. Ada kata-kata yang tak boleh terdengar lagi menyakitiku. Kata- kata itu asli benar melukaiku dan membuatku kapok. Tak boleh terulang lagi. Ada target yang harus ku selesaikan dan sebentar lagi Ulang Tahun hubungan kita yang keenam. Apa rencanamu dan harapanmu untuk hubungan kita  ke depan?

    Membuat rencana memang lebih mudah daripada melaksanakannya. Tetapi memiliki rencana meskipun tidak seratus persen berhasil tetap lebih baik daripada tidak memiliki rencana sama sekali. Ini bukan Apologi untuk menutupi kegagalan. Karena kita sebagai manusia masih bisa mengambil jalan lain di setiap kegagalan.

    “Keledai tidak pernah terperosok ke lubang yang sama karena ia belajar dengan nalurinya.”

    “Manusia memiliki akal dan panca indra yang lengkap juga hati nurani yang membimbing  kita mencari alternatif lain.”

    Dua ribu tiga, berlalulah.

    Semoga putaran roda kehidupan yang lebih baik berpihak kepada kita di tahun yang akan datang.

    Untuk hubungan kita yang hampir seperempat usiaku.

    “Pertahankan aku semampumu, jika kau benar-benar mengharapkanku. karena aku suka yang saklek dan tak suka yang plin plan “. 

    Kalimat, “Rela melepasku bila Allah mentakdirkan dan memberiku luang untuk menerima khitbahan yang lain.” Aku harap kalimat macam itu tidak terdengar lagi darimu, karena itu tidak menyenangkan dan sangat aku benci sebagai  ungkapan dari seseorang yang tidak  berprinsip dan berpendirian.

     

    Jangan sekali membahas wangi parfum teman perempuanmu lagi di hadapanku meskipun tak ada apa-apanya menurutmu, ada rasa cemburu yang akhir- akhir ini menerpaku. Sedekat apakah laki-laki jika parfum seorang perempuan tercium begitu kentara wangi yang begitu menggoda seperti yang pernah kau bicarakan  . Itu kan yang kamu ceritakan kepadaku dengan wajahmu yang berseri saat membahasnya dihadapanku. Kau tahu aku cemburu bahkan traktiran- traktiran yang kau sebut darinya itu membuat bara dalam dada. Aku memang tak bisa memperlakukanmu seperti yang dia lakukan. Dia sebagai pegawai yang berduit. Salah satu pegawai mall terkenal di kota Bandung. Aku hanya seseorang yang kerjanya menulis surat saja.

    Anggaplah ini sebuah protes dari sang Aktivis Surat. Dan sesekali boleh  Sang Aktivis menunjukan keberatan. Karena selama Enam tahun. Tahun ini adalah situasi yang tak bisa ditolerir.

    Akhir kata, hanya itu yang bisa kusampaikan di suratku kali ini. Mudah-mudahan ada secercah harapan yang masih tergantung di dinding langit biru. Layar hidup  ini nantinya akan kau bawa kemana. Mohon maaf bila aku berlebihan.

     

    Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Daniah MR

    Sang Aktivis Surat

     

    Berkat surat ini, akhirnya Elan datang menemuiku, mohon maaf dan berjanji untuk tidak mengulang kesalahan yang serupa. Membesarkan hatiku kembali, kokoh, tegak berdiri menunggunya sampai dia bosan.

     

     

    Kreator : Daniah Rijal

    Bagikan ke

    Comment Closed: Aktivis Surat

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021