Penulis : Aida Maulidya (Member KMO Alineaku)
“Ai… ikut yuk ” pinta Kak Imel kepadaku
“Gak ah, kak. Aku males pergi kemana-mana, kecuali ke masjid al-Azhar dan dengerin para masyaikh menjelaskan kitab-kitab” jawabku.
“Yah.. kan ini beda Ai. Kalau ke Azhar udah tiap hari dan memang itu tujuan kita ke sini, alias talaqi dengan para ulama. Tapi kan boleh kalau kita pergi refreshing sekali-sekali, Ai” lanjut Kak Imel.
“No way, baby “jawabku sambil menggelengkan kepala.
“Ayolah Ai, kapan lagi. Mumpung masih di sini, Ai. Lagian, kita perginya hanya sekali ni aja kok Ai.. Udah 3 tahun semenjak Ai di sini, kan belum pernah kita ikut tour yang ke Sinai. Ayo lah Ai..” bujuk Kak Imel dengan suara lirihnya.
Namun Aira masih saja memberikan hal yang sama, ekspresi yang datar sambil menggelengkan kepalanya.
Kak Imel gak kehabisan akal. Dia berfikir sejenak tentang apa yang akan diucapkannya, rayuan maut apalagi yang akan digunakannya untuk membujuk hati sang adik yang sangat beku seperti es dan sedingin kulkas itu.
“Ai… ” sapa Kak Imel menghancurkan kebekuan.
“Hmm… ” jawabku datar.
“Kita pergi untuk tadabur alam Ai. Kita lihat dan saksikan dengan mata kepala sendiri dimana tempat Nabi Musa a.s menerima wahyu. Ketika beliau tidak sanggup melihat Cahaya Kebesaran Allah, dan akhirnya beliaupun pingsan Ai. Ingatkan, kisah ini? Ingatkan kalau kejadian itu di bukit Tursina, alias Bukit Sinai ai ..?” bujuknya sambil menusukkan telunjuk mungilnya ke lenganku. Seperti gadis kecil yang sedang merayu Ibunya untuk membelikan permen.
Aku yang dari tadi acuh dengan ucapan dan rayuannya, sekarang terdiam seribu bahasa, juga hampir mati gaya karena dalil yang disampaikan.
Aku pun menghela nafas panjang, dan…
“Huft…Ok, tapi…”
Belum sempat melanjutkan perkataan, tiba-tiba Kak Imel memelukku begitu erat hingga leherku sakit karena tercekik.
“Ugh…ugh… lepasin, sesak nih Kak” ucapku
“Hehe…iya maaf. Maaleys (maaf), saking senengnya ” jawab Kak Imel.
“Seneng sih, seneng. Tapi leher adekmu ini loh sista, hampir out…” belaku.
“Hehe…maaleys ya habibty albiy (maaf ya kekasih hatiku)” bujuk Kak Imel.
“Ok, tadi ada yang terputus. Tapi …? Apa lanjutannya” tanyanya.
“Tapi kita harus cari perjalanannya sesama mahasiswa Indonesia atau Malaysia, bukan tour untuk bule, ya Kak” pintaku.
“Ashiaaap itu mah solehah qyu, kakak udah cari infonya dengan lengkap. Kita akan pergi dengan mahasiswa kekeluargaan Jawa Barat (KPMJB). Karena untuk jadwal kekeluargaan Minang (KMM) belum ada angin yang berhembus untuk tour ke sana. Dan ini, paketnya hemat Ai. Asyiknya lagi, kita juga akan pergi bareng Kak Adah dan Kak Bhetie.
“Hmm… Ok!” (sambil tertawa dalam hati karena perjalanan ini tidak akan membosankan dengan hadirnya Kak Adah dan Kak Bhetie) Orang-orang yang super kocak). Kak Adah orang Aceh dan Kak Bhetie orang Medan.
“Emang berapa dananya Kak? Maksudku, berapa ongkosnya ?” tanyaku.
“Hmm…kita bayar 200 Le. Udah termasuk makan 3 kali dan snek 3 kali juga” jawab Kak Imel.
“Ok, untuk guidenya gimana Kak ? “lanjutku.
“Guidenya mahasiswa Indo yang udah pernah ke sana. Jadi aman insysaallah” jelas Kak Imel.
“Hmm. Ok kak, siip” balasku.
Keesokan harinya, sesampainya dari kampus banat (kampus khusus mahasiswi al-Azhar), aku dikejutkan Kak Imel yang tiba-tiba muncul setelah aku menutup pintu.
“Astagfirullah…Ya Allah kakak… ngagetin aja sih?” kataku kesal.
“Hehe…sorry adek manisku. Ga sengaja, beneran deh Dek!” bela Kak Imel
Akupun geleng-geleng kepala dengan tingkahnya.
“Ai…kakak udah beli jaket untuk kita ke Sinai!”
“Wah, benar-benar niat dia mau pergi ke Sinai nih” ucapku dalam hati.
“Coba liat sini Ai” lanjutnya.
Belum sempat aku menanyakan harganya, Kak Imel langsung menjelaskannya secara detail dan fungsi jaket tersebut.
“Jadi Ai, jaket ini murah dan anti hujan, anti badai” jelasnya.
“Hahaha…lebuaaayyy” lirihku dalam hati.
“Ini yang warna rose untuk Ai. Mengenai ukurannya, kakak jamin pas. Lalu yang pink ini punya kakak karena seperti yang adekku ini tahu, bahwa kakakmu ini suka warna pink” lanjut Kak Imel.
Sebenarnya Aku ingin protes karena warna kesukaanku adalah warna gelap seperti hitam, dongker dan coklat. Namun melihat riang yang terlukis diwajahnya, keceriaan yang terpancar sambil menjelaskan detail jaket kepadaku, mengurungi niatku untuk berkomentar.
“Ok, gimana jaketnya Ai ? Baguskan ? “tanya sang kakak
“Iya” jawabku sambil melebarkan bibir 3 cm ke kanan dan ke kiri.
“Ok Ai, kita berangkat 3 hari lagi ya. Jadi gak punya banyak waktu lagi!” lanjut Kak Imel.
“Busset dah, ni orang bener-bener ya, sekali ngegas, bener-bener gas pooool” imbuhku dalam hati.
Menanggapi perkataannya, aku hanya mengangguk sambil senyum. Karena ku tahu. Ia yang akan menyiapkan segala sesuatunya.
“Tapi Ai, ada satu lagi yang belum kakak siapkan” keluhnya
“Apa?” jawabku
“Nasi dan sambal, sama snek”.
“Yah, kan udah disiapin sama panitia keberangkatan!”
“Iya, tapi sekarang kan lagi musim dingin Ai. Kita akan sering kelaparan. Emang adek cantikku ini mau kakaknya kelaparan?”
“Ya, ok kak. Untuk makanan dan snek serahkan padaku”.
“Ashiaap, maacih. Lop you pull sweety” rayunya kepadaku
“Hmm..” balasku sambal menganggukan kepala
Hari yang dinantipun tiba. Kami berangkat pada jam 08.00 CLT, berkumpul di Mahatthah Musallas. Perlahan, mobil travel ala turis yang akan membawa kami ke Sinai mulai penuh. Aku duduk bersebelahan dengan Kak Imel dan Kak Adah duduk dengan Kak Bhetie.
Perjalanan dimulai dengan membaca doa. Kemudian sang guide mengambil alih microphone yang sudah disediakan pihak travel. Ia memandu kami dengan menceritakan sejarah tempat-tempat yang akan dikunjungi. Seperti pemakaman Nabi Ya’qub, juga beberapa makam sahabat dan ulama yang sudah wafat. Namun tak lupa, kakakku sang ratu kamera mengabadikan banyak momen diberbagai tempat.
Perjalanan yang kami tempuh sekitar 8 jam, hingga akhirnya sampai pada sebuah masjid yang berdekatan dengan bukit tursina. Aku dan rombongan mulai membalutkan syal dileher karena hari semakin gelap dan cuaca semakin dingin.
Tak terasa, sudah jam 11.00 malam. Sang guide mengintruksikan bahwa perjalanan akan dimulai pada pukul 00.00 CLT untuk mendapati sunrise pada esok harinya.
Perjalanan dimulai dengan menapaki jalan datar berkerikil. Berbekal senter mungil dalam menghadapi gelapnya malam, tidak menyulutkan semangat kami untuk sampai di puncak bukit Tursina.
“Assalaamualaikum ya ahla Tursina” salamku kepada seluruh penduduk Tursina. Karena ku yakin ada malaikat yang bertugas menjaga gunung suci ini.
Hal ini sebagaimana dalam kisah Rasulullah SAW. Ketika beliau dilempari penduduk Thaif setelah mengajak mereka menuju agama yang selamat, yaitu Islam. Kisah pilu yang membuat tumit beliau berdarah. Hingga akhirnya malaikat penjaga gunung berkata kepadanya, “Apakah akan aku timpakan gunung ini terhadap mereka, Muhammad?” Namun Rasulullah menjawab “Tidak, jangan. Sesungguhnya mereka tidak tahu.”
Maka dari kisah itu, aku percaya bahwa setiap hal di bumi ini ada malaikat penjaganya, baik gunung, laut, tanah dan sebagainya.
Malam itu guide kami bertambah satu lagi. Ia adalah penduduk asli Sinai. Ia mengatakan bahwa ada tujuh pondok atau posko pemberhentian. Jarak dari posko pertama ke posko kedua sekitar setengah jam. Kemudian lanjut ke posko dua, tiga hingga ke empat. Namun perlahan, rombongan yang awalnya sangat banyak jumlahnya, sekarang mulai berkurang. Karena ada beberapa diantara mereka yang kelelahan, lalu berhenti lebih lama di posko. Kak Adah dan Kak Bhetie yang awalnya beriringan dengan ku dan Kak Imelpun, sekarang tak terdengar suara dan canda mereka yang dari tadi menghiasi perjalanan kami.
Kami juga mulai merasa lelah dan nafas tersengal-segal. Yah, hal ini terjadi karena kami tidak melakukan pemanasan (seperti lari-lari kecil dengan jarak yang jauh) beberapa hari sebelum keberangkatan.
Posko lima akhirnya kami taklukkan. Menuju posko ke enam, dadaku sesak dan mata ku mulai mengeluarkan kristal bening. Bukan karena lelah yang kurasa, namun karena membayangkan bagaimana perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabat pada masa awal Islam. Ketika mereka berhijrah ke Habsyah ataupun Madinah, menempuh perjananan ratusan kilo, menghadapi cuaca yang sangat dingin maupun sangat panas. Terkadang juga bekal habis ditengah perjalanan. Tapi itu tidak mengurangi semangat mereka sedikitpun demi mempertahankan iman yang ada di dada. Akupun berucap lirih “Assalammualaika ya Rasulallah” sambil kristal itu berlomba keluar dari mata dan dada semakin sesak, karena semakin kuatnya rasa yang hadir.
Alhamdulillah, akhirnya posko ke enam juga kami kuasai. Namun lagi dan lagi, rombongan semakin berkurang.
Perlahan kami seduh air hangat, karena perut sudah terasa ditempati angin dan dingin yang silih berganti menyapa dari awal perjalanan.
Matakupun melirik arloji yang dibawa dari Negeri tercinta, Ibu Pertiwi. Jam sudah menunjukkan pukul 04.00 subuh. Tubuh semakin lelah dan dingin semakin mencekam,. Hingga terlintas dalam pikiranku untuk menyerah dan mengakhiri perjalanan sampai disini saja. Namun tidak dengan Kak Imel. Ia sangat antusias dan sangat bersemangat untuk berada di puncak Sinai menyaksikan sunrise, ketika matahari menampakkan drinya dengan malu-malu.
Melihat semangatnya, akupun menepis keinginanku untuk menyerah. Akhirnya kutemani ia melanjutkan perjuangan ini.
Aku berjalan pelan di belakangnya. Kulihat energinya tidak pernah habis. Energinya masih sama dengan awal perjalanan.
Aku tidak tahu dan tidak kenal lagi orang-orang yang berpapasan denganku. Apakah mereka orang Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura ataukah turis dari luar atau orang Mesir itu sendiri. Namun, yang jelas kami saling berpacu untuk sampai di puncak Sinai dengan sisa kekuatan yang masih dimiliki.
Finally, aku dan Kak Imel sampai dipuncak Sinai. Kak Imel adalah penakluk pertama dan aku yang kedua. Lalu kulirik sekitar puncak, tidak ada orang di sini. Kemudian tiba-tiba sebuah pelukan melayang ketubuhku. Ya, tentu saja itu pelukan kakak tercintaku. Pelukan bahagia dan senang.
“Ai, kakak orang pertama yang sampai di sini untuk saat ini, dan adik orang kedua. Senangnya Ai, kakak sangat senang. Sambil ia berteriak, yeah….” Bisiknya padauk.
Namun hal itu tak berlangsung lama, karena Kak Imel perlahan merasakan dingin yang bersangatan. Tangannya menggigil, mulutnya bergetar kedinginan. Akupun merangkulnya dengan erat, berharap dingin yang mampir ketubuhnya sudi beranjak pergi. Alhamdulillah, perlahan dia mulai merasakan kehangatan, akupun lega. Ketika masih memeluknya, aku bertanya.
“Masih dinginkah ?”
Ia mengangguk dan mengatakan “Kaki kakak dingin kali Ai. Terasa beku, dingin kaaaliiii”
Mendengar ucapannya, spontan kulepaskan kaus kaki lapisan kedua yang kupakai. Bahannya lebih tebal dan lebih hangat dibanding kaus kaki lainnya, lalu kupasangkan ke kakinya.
Alhamdulillah, hal itu berhasil. Setengah jam berlalu dan aku tetap memeluknya erat, agar tidak merasakan dingin lagi. Lalu, waktu shalat subuhpun masuk. Para pendaki perlahan memenuhi puncak Tursina.
“Apakah masih ada air yang tersisa, Ai?” tanyanya padauk.
“Ya, masih”, jawabku.
Ia pun memintaku untuk menuangkan air tersebut untuk berwuduk. Awalnya ku menolak, dan memintanya untuk tayamum saja, karena kulihat ia masih sangat kedinginan. Namun ia memaksaku dan berkata bahwa ia masih kuat dan sanggup untuk berwuduk dengan air.
Melihat keinginannya yang begitu kuat untuk berwuduk dengan air, akupun mengaminkannya. Kutuangkan perlahan ke tangannya. Setelah itu iapun melaksanakan shalat.
Perlahan, matahari mulai menampakkan sinarnya. Itulah pertama kali dalam hidupku, menyaksikan sunrise di atas puncak gunung, yang bukan sembarang gunung. Tapi gunung yang sudah diabadikan dalam al-Quran. Ku saksikan keindahan Sinai bersama dia, kakak sekaligus teman sejatiku, Kak imel.
Tak lupa, kami mengabadikan momen yang mungkin tak pernah terulang lagi dalam hidup. Sinai dengan hiasan bukit batu yang mengitarinya, udara yang sangat bersih dan jauh dari polusi, lukisan alam yang sangat menawan. Sebagai bukti Indahnya cinta Rabb kepada alam semesta.
Perlahan, dingin yang menembus lapisan jaket dan kaus kaki beranjak pergi.
Sudah hampir 2 jam kami berada dipuncak dan mengabadikan momen yang indah itu. Guidepun mulai mengintruksikan untuk kembali menuju titik awal perjalanan. Menandakan perjalanan dan perjuangan sudah berakhir, dan saatnya untuk kembali pulang.
Ketika akan turun, kamipun bertemu dengan Kak Adah di posku ke enam bersama Kak Bhetie. Kami saling sapa dan berpelukan. Hingga aku bertanya.
“Kakak berdua gimana keadaannya, kok dari tadi gak kelihatan dipuncak?”
“Gimana mau sampai puncak Ai, di posko keempat aja, Bhetie ini udah nyerah. Nafasnya udah tinggal satu-satu. Jalannya bukan jalan manusia lagi, kakinya udah jadi empat. Kayak kambing naik Sinai”
“Hahaha…” kamipun tertawa bersama.
“Maaleys (maaf) Kak”, ucapku lirih.
“Gak apa Ai, kakak hanya kasihan sama Bhetie ini, benar-benar merangkak Ai. Jadinya, ngikutin langkahnya dia deh. Gak apa Ai, lagian tujuan kakak buat have fun aja. Dan dengan menjadi pengawal Bhetie tadi malam, sudah sangat menghibur sekali, Ai. Kakak gak bisa berhenti ketawa ai ..hahhaha..” lanjutnya.
“Ha, ketawain lagi, ketawain aja trus “ kata Kak Bhetie dengan kesalnya.
“Haha…iya maaf, abisnya kamu tuh lucu kali tadi malam” jawan Kan Adah.
“Ya udah Ai, Mel. Yuk kita balik ke rombongan. Nanti kita ketinggalan pula. Kan kasihan kalau Bhetie merangkak lagi sampai Kairo” ledek Kak Adah.
“Ih… “ jawab Kak Bhetie sambil memukul bahu Kak Adah pelan.
Kamipun turun perlahan dengan riang, menceritakan pengalaman yang tadi malam sambil tetap hati-hati melangkah. Bebatuan yang dilalui sedikit licin, karena perkiraan awal, kami akan mendapati salju ketika mendaki bukit yang menjadi sejarah pertemuan Nabi Musa dengan cahaya-Nya. Namun ternyata, tak ada satupun salju yang sudi menyambut kedatangan kami.
Ketika turun jugalah kami baru tahu medan pertempuran yang dilalui tadi malam. Tak ada satupun pohon yang tumbuh disana, semuanya bebatuan. Jalannya seperti jalan setapak, yang bisa dilalui tiga orang dewasa. Disamping kanan dan kiri, semuanya bebatuan.
Alhamdulillah kamipun sampai di bus denga naman. Duduk tenang sambil menikmati sarapan pagi, lalu snek. Kembali ke Kairo dengan lelah yang masih terasa, hingga kantuk menyapa. Dan tak terasa, kamipun sampai di musallas. Awal mula perjalanan yang sangat melelahkan namun bermakna ini.
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Aku dan Sinai
Sorry, comment are closed for this post.