Judul tersebut memang benar adanya, jadi jika seseorang mengata-ngatai aku dengan kata “dasar Ndeso, dasar Kampungan”, kata-kata yang dilontarkan terhadap ku justru sangat akurat, valid dan kredibel. Tentu aku justru bangga dengan kata-kata itu yang dilontarkan untuk ku.
Maaf jika ungkapan ku terlalu frontal, karena aku bukan penulis, aku belum bisa menulis dan aku lagi proses awal belajar menulis, seterusnya aku akan belajar menulis dengan baik, terlebih kaidah penulisan dan bahasa yang aku gunakan masih banyak tidak sopannya, ya beginilah aku yang katanya menulis itu harus “Jujur”, ini bentuk kejujuran hati ku dalam memulai sebuah tulisan.
Tulisan ku baru hitungan berapa kata, bukan hitungan lembar atau halaman atau bahkan berapa judul buku-buku yang sudah dimuat bahkan terbit dan populer di percetakan, kalo masuk gramed cetakannya ada di meja khusus yang exclusive. Hihihi, tulisan ku yang belum juga sampai seumur jagung ini tentu banyak salah, jadi mohon di maklum banyak tidak sopannya, mohon juga kritik dan sarannya untuk terus membenahi tulisan ku dan meng-upgrade kapabilitas diri ku. Tentu aku akan sangat bahagia akan hal tersebut, kala secuil tulisan ku yang tak bermutu ini yang pertama aku tayangkan sudah dilihat oleh 10 orang, aku merasa bahagia bercampur gemas dan melucu dengan diri ku. Aku ucapkan terima kasih dengan sepenuh hati untuk para pembaca pertama pada tulisan ku yang pertama, I love you.
Saben pagi saya jalan melewati jalan Setapak di tengah pesawahan untuk pulang atau menuju gubuk ku, walau selalu sama, tapi setiap waktunya ku temukan hal yang berbeda, dari mulai petani yang aku temui, tumbuhan padi yang mulai ditanam, rumput liar yang sedang diambil wong ngarit alias pencari rumput, semuanya berubah-ubah setiap waktunya, bahkan langit dengan Sinar jingga mentari pagi yang sangat anggun, pun angin sepoi-sepoi yang membisikkan salam sejahtera untuk semesta raya.
Semua nampak indah ya dalam bayangan? Hihihi pada kenyataannya terkadang tumbuhan berduri tumbuh subur di jalan setapak ku, tak jarang juga kaki ini mengidaknya alias menginjak duri itu. Japet selen alias alas kaki bodhol tidak dapat menahan runcingnya duri itu, hingga duri menyeplos alias nancap di kaki ku, berdarah memang walau sedikit, ya dan hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa bagi ku, “ah lukanya gak seberapa” gumamku dalam hati.
Aku menulis ini sambil membaca bukunya kang Ngainun Naim, bukunya yang belum selesai kubaca sudah memprovokasi diri ini untuk masuk ke web www.kompasiana.com ini, mulanya penasaran juga dengan web ini karena baca bukunya kang Ngainun Naim, iseng-iseng bikin akun dan langsung nulis semau ku, terserah mau ada yang baca alhamdulillah, tidak ya alhamdulillah, yang pasti terima kasih kang Ngainun Naim. Mohon maaf tulisan ku sangat buruk. Aku terbiasa memegang sabit dan golok/parang untuk merumput dan mencari kayu, bukan Pena yang selalu aku pegang, apalagi komputer/laptop, hape saja harus sambil di charge. Kata kang Ngainun Naim “Perjuangan” ya beginilah perjuangan ku, memaksimalkan alat yang aku miliki, aku tidak tinggal diam dalam keterbatasan. Aku Bisa, Desaku Mendunia. Barokalloh
Ini adalah latihan menulis ku yang kedua kali, dan selalu langsung aku tulis di kompasiana karena keterbatasan alat. Saya hanya menggunakan hape jadul yang harus sambil di cas agar bisa bertahan hidup dan tidak bisa menyimpan banyak file karena memory yang kecil, sehingga notif “memori penuh” selalu muncul ketika penyimpanan file telah melebihi ruang simpan. Inisiatif ku untuk tetap bisa belajar menulis yakni dengan langsung menulis di laman kompasiana dan langsung menatangkannya. Berikut link kompasiana saya; https://www.kompasiana.com/nagariamerta5892
Kreator : Chafid Marzuki
Comment Closed: Aku yang Ndeso dan Kampungan
Sorry, comment are closed for this post.