Saat mengikuti pelatihan Pengajar Muda bersama Yayasan Indonesia Mengajar, salah satu nasihat dari kakak fasilitator yang masih kuingat dengan jelas adalah: “Teman terbaik Pengajar Muda di daerah penugasan adalah anak-anak.” Dan benar saja, anak-anak di sekolah menyambutku dengan antusiasme yang tulus. Mereka mengajariku bahasa baru, menyapaku setiap pagi, bahkan tak jarang beberapa dari mereka bergelayut di tanganku dengan penuh keakraban. Saking akrabnya, para guru di sekolah sempat menegur mereka dengan tegas agar menjaga sikap. Namun bagiku, tingkah polos dan spontan itu justru menjadi sumber kebahagiaan. Mereka membuatku merasa diterima dan menghadirkan semangat baru dalam setiap langkahku.
Perkataan dari kakak fasilitator pada saat pelatihan kutemukan pembuktiannya tak lama setelah aku sampai di Nias Barat. Pada saat beberapa bulan awal aku bertugas, di suatu pagi, aku berangkat ke sekolah dengan perasaan yang sendu. Entah karena rindu rumah di pulau Jawa atau mungkin juga karena sudah memasuki masa PMS (Premenstrual Syndrome). Aku pun masuk ke ruang guru dengan mata yang sudah tidak kuat untuk menumpahkan tangisan. Setelah satu dua bulir air mata turun di ruang guru yang sepi, aku mencoba menenangkan diri. Sembari mengalihkan pikiran, aku mengambil kemoceng untuk membersihkan rak buku disana.
Beberapa saat kemudian, Fitri dan Novita, siswaku dari kelas 4 datang ke kantor guru untuk mengembalikan pulpenku yang sebelumnya dipinjam Fitri. Saat melihatku sedang membersihkan rak buku, mereka spontan menawarkan bantuan untuk merapikan ruangan. Tak hanya membantu menyusun buku, mereka juga membuang sampah dan menyapu lantai hingga kantor guru tampak bersih dan rapi.
“Kalau mau bersih-bersih kantor lagi, panggil kami ya, Bu,” ujar mereka sambil tersenyum.
Rasa sendu yang tadi sempat menyelimuti hati perlahan berganti menjadi haru. Aku hampir menangis lagi, bukan karena sedih, melainkan karena tersentuh oleh ketulusan dua anak kecil yang dengan sukarela hadir membawa kebaikan sederhana. Rasanya benar apa yang pernah dikatakan salah satu kakak fasilitator saat pelatihan: teman terbaik kita di penempatan adalah anak-anak. Pagi ini, Fitri dan Novita telah membantu hatiku menjadi sedikit lebih ringan, dan hariku terasa sedikit lebih bahagia.
Waktu demi waktu pun terlewati. Berkat kebaikan anak-anak, aku bisa bertahan menjalani hari-hari di penempatan. Mereka sering memintaku untuk masuk ke kelas mereka, menyambutku dengan antusias, dan membuatku kembali bersemangat untuk mengajar. Tak jarang, aku berangkat ke sekolah bersama mereka. Biasanya, aku meminta mereka yang dekat dengan tempat tinggalku untuk menjemputku dari kampung bawah, lalu kami mendaki bukit bersama menuju sekolah kami yang berada di atas bukit yang dipenuhi hutan karet dekat kampung Hiliadulo. Di sepanjang perjalanan, kami saling bertukar cerita. Mereka bercerita tentang pelajaran, teman-teman mereka, dan mimpi-mimpi yang ingin mereka capai suatu hari nanti. Lalu, salah seorang dari mereka tiba-tiba menoleh ke arahku dan bertanya, “Bu, apa cita-cita Ibu?”
Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Dalam hening yang singkat, aku tersadar bahwa seiring bertambahnya usia, definisiku tentang cita-cita pun ikut berubah. Dulu, cita-cita adalah hal yang menyenangkan untuk dibayangkan; impian yang membuat mata berbinar. Namun kini, semua itu perlahan tergantikan oleh pertimbangan-pertimbangan realistis layaknya orang dewasa: apakah pekerjaan itu cukup menghasilkan? Apakah bisa mencukupi kebutuhan? Padahal, ada Allah yang selalu mencukupkan segalanya dengan cara-Nya.
Namun saat aku memikirkan kembali pertanyaan itu, aku tersenyum pelan. Ternyata, aku sudah berada di tempat yang dulu sering ku impikan ketika masih kecil dan remaja; menjadi guru, mengajar, dan dikelilingi tawa anak-anak yang membuatku merasa hidup.
Lalu dengan mantap, aku menjawab mereka, “Iya, aku sudah mencapai cita-citaku.”
Kreator : Fadiya Dina H
Comment Closed: Anak-anak adalah Teman Terbaik
Sorry, comment are closed for this post.