Tangis seisi ruangan pun pecah ketika kami melihat anak-anak pulang dari pondok dan menemukan Ayah mereka sudah tidak bernyawa. Si Sulung menangis meraung-raung, sementara Si Bungsu mendekap tubuh Sang Ayah yang sudah tak bernapas. Kami memeluk kalian untuk menguatkan hati kalian.
Kalian, anak-anak yang kuat itu, ikut memandikan jenazah Ayah mereka, kemudian sholat jenazah, dan mengantarkan jenazah Ayahnya kalian sampai ke peristirahatan terakhir.
Siapapun yang melihat kalian pasti akan menangis. Anak-anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua, sementara Ibu dan Ayah kalian sudah menghadap Sang Khalik. Kami semua berdoa agar kalian diberikan ketabahan dan kekuatan untuk menjalani takdir yang Allah berikan.
Setelah 40 hari kepergian Ayah kalian, kalian harus kembali ke pesantren untuk melanjutkan belajar. Kami—Nenek, Budhe, Bulek, dan Paklek—semua mengantarkan kalian ke pesantren masing-masing, karena kebetulan kalian berdua belajar di pesantren yang berbeda, meskipun masih dalam satu kabupaten.
Kami semua harus terlihat kuat agar kalian bisa kuat juga. Maka, kami berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata ketika melepaskan kalian kembali ke pesantren, walau sejatinya kami menangis, mengingat kalian masih terlalu kecil untuk memikul beban yang berat ini. Namun, kami yakin, Allah telah memilih kalian untuk tumbuh menjadi anak-anak yang kuat dan tangguh.
Seiring berjalannya waktu, saya dan adik saya berdiskusi, bagaimana kalau Si Sulung menjadi tanggung jawab saya, sementara Si Bungsu menjadi tanggung jawab adik saya. Perjalanan hidup kalian masih panjang, tentu tak lepas dari biaya dan kebutuhan sehari-hari. Untuk biaya-biaya yang lebih besar, kami masih meminta bantuan pada Ibu kami—Nenek kalian—karena alhamdulillah, secara finansial Ibu kami terbilang cukup. Walau usia beliau sudah tua, etos kerjanya masih luar biasa, dan hasil jerih payahnya masih bisa dinikmati oleh anak cucunya.
Tak terasa, kini Si Bungsu sudah lulus SMP, dan berkeinginan untuk melanjutkan ke pesantren yang jaraknya cukup jauh. Namun, kami selalu mendukung keinginannya, meski harus rela jika kami tidak bisa setiap saat menyambanginya. Selain karena jaraknya yang jauh, biaya transportasi pun tidak sedikit. Oleh karena itu, kami belum sempat menyambangi Si Bungsu.
Sekitar tiga bulan setelah di pesantren, kami mendapat kabar bahwa Si Bungsu sakit dan diminta untuk menjemput. Kami segera berangkat ke pesantren tempat Si Bungsu belajar. Sesampainya di sana, kami langsung menemui pengurus. Tak lama setelah itu, ia berjalan tertatih-tatih keluar dari kamar, digandeng oleh temannya. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas. Kami langsung membawa Si Bungsu ke mobil untuk dibawa pulang.
Kami tak sempat istirahat, yang penting kesehatan Si Bungsu yang utama. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat di kota kami. Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter menyarankan untuk istirahat yang cukup dan makan makanan bergizi. Dokter memberikan dua opsi: rawat inap atau rawat jalan. Kamu memilih rawat jalan, sehingga kami bisa membawanya pulang ke rumah.
Beberapa hari kemudian, tubuhnya mulai membaik. Si Bungsu meminta untuk diantar ke rumah Nenek di Bandongan sebelum kembali ke pesantren. Ia menginap dua hari di rumah Nenek. Setelah itu, ia pergi mengunjungi Si Sulung di pesantren yang jaraknya cukup jauh dari rumah.
Sepulang dari menemui Kakaknya, Si Bungsu tidur di rumah Bulek-nya. Malam itu, badan Si Bungsu mendadak panas, dan keesokan harinya, ia dibawa ke klinik terdekat. Namun, meskipun sudah diberi obat, demamnya tetap tinggi hingga sore hari. Kami pun memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit yang dulu menjadi tempat berobat Si Bungsu.
Kami langsung membawanya ke UGD. Setelah diperiksa dan diberi obat lewat infus, tubuhnya tetap lemas. Kami mengikuti saran dokter untuk opname. Si Bungsu harus dirawat selama tiga hari di rumah sakit.
Alhamdulillah, setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, hasilnya baik-baik saja. Hanya saja, dokter menduga ia terlalu banyak memikirkan sesuatu. Memang tidak bisa dipungkiri, Si Bungsu masih sangat memikirkan mendiang Ayah dan Ibunya. Itu sangat manusiawi. Anak sekecil dia tentu masih sangat membutuhkan belaian kasih sayang dari Ayah dan Ibu. Meskipun kami semua berusaha untuk menggantikan posisi orang tuanya, namun posisi itu tak akan pernah bisa tergantikan.
Setelah dirasa keadaannya sudah membaik, saatnya Si Bungsu kembali ke pesantren untuk melanjutkan belajar. Doa kami selalu menyertaimu, Nak. Kamu anak yang kuat. Tetap semangat. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan, ilmu yang bermanfaat, dan memudahkan segala cita-citamu. Aamiin.
Kreator : Siti Nok Muslikhah
Comment Closed: Anak-anak Pilihan
Sorry, comment are closed for this post.