SEKELUMIT KISAH DARI ORANG BIASA
Sebagai seorang perawat, aku bekerja membantu suamiku yang seorang guru untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Sebagai keluarga yang baru berumah tangga, aku masih harus banyak belajar menata kehidupan dari keuangan, mengasuh anak sampai bersosialisasi dengan tetangga.
Kami mengontrak rumah sederhana yang cukup untuk kami tinggali berempat tanpa pembantu. Sebagai pegawai rumah sakit, aku minta dinas sore saja sehingga dapat bergantian dengan suamiku menjaga anak. Sampai anakku usia sekolah, barulah ada yang membantu dari keluargaku sendiri, sehingga agak berkuranglah kerepotan kami.
Di usia anak keduaku yang keenam tahun, dia belum bisa bicara, hanya menggunakan huruf hidup semua, namun kami sebagai keluarga dapat berkomunikasi dengannya. Dia dapat mengajukan kemauannya dan kami pun mengerti maksudnya. Karena dia belum bisa sekolah, kami ajarkan kepadanya membaca dan menulis di rumah. Dia kubelikan huruf dan angka yang terbuat dari plastik. Setiap hari kami mengajar secara bergantian. Sehingga, walaupun dia belum sekolah, namun sudah bisa membaca dan menulis.
Ketika dia berusia tujuh tahun, barulah lancar bicaranya dan kami masukkan ke sekolah dasar di dekat rumah. Gurunya terheran-heran melihat anakku ini yang kemarin belum bisa bicara dengan benar, ketika sekolah dia selalu mendapat ranking satu. Semua ini karena kami membantu mengajarinya di rumah.
Setelah anakku duduk di bangku sekolah menengah atas, gurunya merekomendasikan anakku untuk masuk fakultas kedokteran atau keguruan. Dia bertanya kepadaku bagusnya kemana. Ku katakan padanya terserah dia minatnya kemana, aku tak ingin memaksanya. Kemudian, dia kumasukkan ke bimbingan belajar untuk menghadapi tes masuk perguruan tinggi.
Setelah enam bulan dia bimbel, tibalah untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Dia mengambil dua pilihan. Yang pertama fakultas kedokteran, yang kedua teknik, karena menurut pembimbingnya dapat dipastikan dia lulus untuk teknik. Ketika pengumuman keluar, seorang temannya menelepon mengatakan kalau dia lulus di fakultas kedokteran. Setengah tidak percaya kemudian dia membeli koran hari itu dan ternyata benar dia lulus di fakultas kedokteran, tak terkirakan gembiranya kami saat itu.
Tiba saatnya pendaftaran, kami mengantarnya ke fakultas yang kebetulan berada di luar kota. Ketika diberikan daftar biaya untuk masuk fakultas tersebut, barulah kami menyadari kalau sebenarnya tidak cukup uang kami untuk mendaftar. Suamiku membuat permohonan kepada admin fakultas bila ada kemungkinan solusi untuk anak kami. Mereka mengatakan bisa dicicil selama satu tahun, guna meringankan beban biaya. Jangan sampai hanya karena uang, anak tidak dapat masuk ke fakultas ini.
Alhamdulillah, satu masalah sudah selesai. Begitu akan beli buku-buku kedokteran yang memang harganya mahal, lagi-lagi kami putar otak. Untuk menghemat biaya, maka anak kami suruh untuk fotokopi saja.
Karena fakultas ini di luar kota, terpaksa kami mencari kos yang murah untuk anak kami. Seharian mencari, akhirnya kami mendapatkan sebuah rumah yang kamarnya disewakan untuk anak kuliah. Kebetulan tempatnya dekat dengan kampus, sehingga tak perlu ongkos lagi untuk pergi kuliah. Ternyata, kalau kita bersama-sama sepakat untuk mencari solusi dalam keadaan yang mepet, ada saja pertolongan Tuhan. Karena itu, kami selalu berusaha dan berdoa agar dilancarkan dan dimudahkan urusan dunia dan akhirat.
Selama seminggu kami menemaninya di tempat kos. Ketika kami akan pulang, anak kami menangis.
“Aku takut,” katanya.
Di situ dia ku beri ultimatum. Kalau memang mau menuntut ilmu, harus mandiri dan kuat. Kalau tidak, ayo pulang bersama kami, tak perlulah kuliah.
Akhirnya, dengan berat hati, dia melepaskan kami.
“Kalau ada masalah, telepon saja Mama.” Kataku.
Semester keempat, dia menelponku. Katanya, ada seorang dosen yang mengajar menggunakan Bahasa Inggris. Terpaksa anak kami mengambil kursus, dan aku pun berusaha berhemat, mengatur ulang keuangan—yang tidak terlalu penting di pending dulu.
Singkat cerita, setelah enam tahun, selesailah kuliahnya dan ia mendapat gelar dokter. Betapa leganya hati ini. Tinggal mencari kerja lagi.
Pertama, ia bekerja di klinik swasta sambil mengajukan permohonan untuk menjadi dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap). Setelah SK-nya keluar, ia ditempatkan di daerah terpencil. Tidak apa-apa, yang penting mengabdi dulu sambil menambah pengalaman.
Setahun sebagai dokter PTT, ia pun diangkat menjadi pegawai negeri sipil, karena waktu itu daerah kami memang sangat membutuhkan tenaga dokter.
Demikianlah sekilas pengalamanku dalam membantu anak mencapai cita-citanya. Man jadda wajada — siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan berhasil.
Kreator : Dewi Yusnani
Comment Closed: Anak Yang Istimewa
Sorry, comment are closed for this post.