Banyak orang berpikir, mengajar di desa itu hanya soal murid-murid yang polos, suasana yang tenang, dan guru yang penuh pengabdian. Tapi tak banyak yang tahu, di balik kisah manis itu, ada cerita tentang ruang-ruang kelas yang bahkan tak layak disebut kelas.
Aku pernah mengajar di sebuah sekolah filial, di ruangan tanpa jendela, tanpa pintu, bahkan tanpa lantai semen. Hanya bangunan sederhana berdinding batako, sebagian terbuka, dan beratap seng. Saat musim kemarau, debu beterbangan di dalam ruangan, memenuhi udara, menempel di rambut, menutup lubang hidung, membuat tenggorokan terasa gatal dan mata terus berkedip.
Setiap kali angin bertiup, debu halus masuk leluasa, membuat suasana belajar penuh tantangan. Anak-anak SD yang duduk di bangku kayu seadanya, sering kali harus menutup hidung dengan tangan atau potongan kain kecil. Rambut mereka kusut dan kering, wajah berdebu, dan seragam putih yang dikenakan pun perlahan berubah warna menjadi krem kusam.
Aku pun tak luput. Hidungku hitam oleh debu, tenggorokan terasa gatal, suara mulai serak, dan mata perih harus terus sering berkedip. Mengajar di kelas seperti ini bukan hanya butuh tenaga, tapi juga kesabaran dan stamina ekstra.
Namun, meski kondisi kelas jauh dari kata layak, semangat anak-anak di sana tak pernah luntur. Mereka tetap tertawa, tetap antusias menjawab pertanyaan, meski harus berkali-kali menyeka keringat dan debu di wajah.
Aku pernah bertanya pada mereka, “Anak-anak, panas nggak di kelas?” Salah satu anak menjawab polos, “Panas, Bu. Tapi kalau di rumah, nggak bisa baca sama nulis.”
Kalimat sederhana itu seperti hantaman lembut di dadaku. Membuatku diam sejenak, lalu tersenyum. Di tengah segala keterbatasan, mereka tetap memilih bertahan, belajar di kelas berdebu, tanpa jendela, pintu, atau lantai yang nyaman.
Lain ceritanya saat musim penghujan. Kalau hujan hanya gerimis, kegiatan belajar masih bisa berjalan, meskipun suara gemericik air di atap seng membuat kami harus berbicara lebih keras. Tapi kalau hujan deras disertai angin kencang, ruangan kelas ini seketika berubah seperti latar film horor.
Air hujan masuk dari dinding yang terbuka. Lantai tanah menjadi becek, genangan air berkumpul di sudut-sudut ruangan. Suara hujan di atap bocor, disertai angin menderu dan sesekali petir menggelegar, membuat suasana benar-benar mencekam.
Aku masih ingat saat petir menyambar cukup dekat, anak-anak sontak berteriak. Ada yang lari ke arahku, ada yang menutup telinga, bahkan ada yang bersembunyi di bawah meja kayu tua.
Suara instruksi tak terdengar. Di saat seperti itu, pelajaran biasanya dihentikan. Kami alihkan dengan menyanyi bersama, bermain tebak-tebakan, atau mendengarkan dongeng agar suasana kembali hangat.
“Bu, serem kayak di film horor ya,” celetuk seorang murid sambil tertawa canggung. Aku ikut tertawa kecil, berusaha menenangkan mereka, meskipun dalam hati ikut waswas.
Di sekolah filial ini, memang tak ada kantin. Tak ada tempat membeli makanan atau minuman. Anak-anak biasanya belanja ke rumah-rumah warga sekitar, yang letaknya cukup jauh dari sekolah. Kadang harus turun ke lembah atau melewati jalan setapak di antara semak belukar.
Begitu pun aku. Setiap hari hanya membawa tumblr berisi air minum satu liter. Tapi di tengah udara panas, debu, dan aktivitas mengajar, air itu tak pernah cukup hingga jam pulang tiba. Tenggorokan kering, suara serak, dan tenaga terkuras, tapi semua itu seperti terbayar oleh semangat anak-anak yang tak pernah redup.
Meski berat, tak ada yang mengeluh. Wajah-wajah berdebu dan seragam yang penuh bercak tanah itu justru menyimpan ketangguhan yang jarang dimiliki anak-anak di tempat lain.
Di balik ruang-ruang kelas tanpa jendela dan lantai tanah itu, ada anak-anak desa yang tetap setia datang ke sekolah meski harus menempuh jalan berbatu, berdebu, atau becek saat hujan. Ada semangat yang tak pernah padam, meski tubuh mereka kotor oleh debu dan baju berubah warna karena lumpur.
Kreator : Kade Restika Dewi
Comment Closed: Angin, Hujan dan Kelasku (Chapter 8)
Sorry, comment are closed for this post.