Untuk menjaga kekuatan finansialku, aku memutuskan melamar menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di kotaku. Saat itu, usiaku baru 23 tahun. Masih sangat muda untuk ukuran seorang dosen, tapi inilah warna baru yang menambah cerita dalam perjalanan hidupku.
Aku ingat betul hari pertama masuk kampus itu. Dengan langkah percaya diri, aku berjalan menuju ruang dosen. Tapi ternyata, aku malah dikira mahasiswa baru di sana. Beberapa mahasiswa yang duduk-duduk di pelataran bahkan sempat bersiul menggoda saat aku lewat. Mereka tidak tahu, perempuan muda yang mereka goda itu sebentar lagi akan berdiri di depan kelas mereka sebagai dosen.
Benar saja, beberapa jam kemudian aku masuk ke kelas untuk mengajar mata kuliah Bahasa Inggris. Dan di antara deretan mahasiswa yang hadir, aku melihat salah satu wajah yang tadi sempat bersiul saat aku lewat. Begitu tahu aku dosen yang akan mengajar mereka, raut wajahnya langsung berubah drastis. Mukanya memerah, bahkan nyaris tak berani menatapku. Seusai perkenalan, dia pun memberanikan diri untuk meminta maaf. Kami semua di kelas tertawa, suasana pun jadi cair. Itulah salah satu momen yang tak pernah aku lupakan sepanjang jadi dosen muda.
Mahasiswa di kampus ini sangat beragam. Tidak seperti kampus-kampus negeri yang umumnya diisi anak-anak muda seusia, di sini usia dan latar belakang mahasiswa sangat beragam. Ada satu kelas yang sangat unik, terdiri dari fresh graduate usia 18 atau 19 tahun, lalu guru-guru sekolah yang sedang mengambil penyetaraan S1, usia mereka sekitar 30 hingga 50-an tahun, bahkan ada yang hampir seumuran dengan ayah dan ibuku. Selain itu, ada pula wiraswasta, karyawan hotel, dan pegawai kantoran dengan usia antara 20 sampai 45 tahun.
Situasi ini membuat suasana kelas jadi sangat dinamis. Kadang aku harus ekstra hati-hati dalam menyampaikan materi, karena di satu sisi ada mahasiswa muda yang penuh semangat, di sisi lain ada yang sudah dewasa dengan pengalaman hidup dan kerja yang jauh di atasku. Tapi justru di situlah letak tantangannya. Aku belajar bagaimana bersikap luwes, menghargai perbedaan usia, sekaligus membangun wibawa di hadapan mahasiswa yang usianya jauh di atasku.
Situasi paling unik dan mungkin agak canggung terjadi saat aku mendapat jadwal mengajar di salah satu kelas jauh. Saat aku masuk ke kelas itu dan melakukan presensi, aku mendapati nama yang sangat familiar di daftar hadir. Begitu aku panggil namanya, seseorang yang sangat aku kenal berdiri dari bangkunya. Ternyata dia adalah pamanku sendiri, adik kandung ayahku. Usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari ayah.
Aku benar-benar gugup saat itu. Bayangkan saja, harus berdiri di depan kelas mengajar pamanku sendiri, yang dari kecil sudah akrab dan sering main ke rumah. Situasinya benar-benar membuat suasana di dalam diriku terasa aneh. Antara ingin tertawa, ingin kabur, dan bingung harus bersikap seperti apa.
Pamanku pun terlihat sedikit canggung. Tapi, akhirnya kami sepakat untuk tetap bersikap profesional di dalam kelas. Saat mengajar, aku memanggilnya sesuai nama di daftar hadir, dan dia pun memperlakukanku seperti dosen lainnya. Meski kadang ada momen lucu, seperti saat aku harus menjelaskan grammar dengan serius, lalu dia justru bertanya dengan gaya bercanda seperti di rumah. Tapi secara keseluruhan, kelas itu tetap berjalan baik.
Selain kisah-kisah lucu dan canggung yang kualami selama mengajar, kampus tempatku mengajar juga memiliki suasana yang cukup unik dan khas. Kampus ini adalah satu-satunya perguruan tinggi yang ada di kotaku. Sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Bali, yang masih sangat kental dengan budaya dan suasana pedesaan.
Bangunan kampus berdiri di atas lahan yang berundak-undak. Setiap bangunan tersusun rapi, mengikuti kontur tanah yang naik turun. Di tengah-tengah halaman depan kampus, berdiri sebuah patung Dewa Siwa yang besar dan megah, duduk anggun di atas singgasana batu, menghadap ke arah jalan raya. Patung itu menjadi ikon kampus, tempat favorit mahasiswa untuk berfoto, atau sekadar duduk-duduk santai di sore hari.
Untuk mencapai ruang-ruang kelas, aku harus melewati tangga-tangga berundak yang cukup tinggi dan panjang. Terkadang, apalagi saat jadwal mengajar mepet, aku harus setengah berlari menaiki anak tangga demi anak tangga, sambil membawa buku dan laptop di tangan. Ngos-ngosan sudah pasti. Bahkan sering kali aku tiba di depan kelas sambil menahan napas, berusaha tetap tampil tenang dan profesional, padahal di dalam dada rasanya seperti habis lari maraton.
Meski begitu, aku menyukai suasana kampus ini. Karena letaknya yang sedikit lebih tinggi, dari beberapa sudut kampus aku bisa melihat pemandangan perbukitan di kejauhan dan hamparan sawah yang menghijau. Suasana itu membuatku merasa nyaman.
Kampus kecil di kota kecil ini menjadi saksi langkah-langkah kecilku mengejar mimpi. Tempat di mana aku belajar menjadi pribadi yang lebih dewasa, lebih berani, dan lebih tangguh. Tempat yang membentuk banyak cerita lucu, canggung, sekaligus mengharukan dalam perjalanan hidupku.
Pengalaman mengajar di kampus swasta ini benar-benar memberikan banyak cerita warna-warni. Mulai dari mahasiswa yang menggoda di awal pertemuan, mahasiswa dari berbagai latar belakang usia dan profesi, hingga harus mengajar pamanku sendiri. Semua itu membuatku belajar banyak hal. Tentang bagaimana menyikapi perbedaan, bersikap profesional, dan menjaga batas antara relasi pribadi dan peran sebagai pengajar.
Menjadi dosen muda di usia 23 tahun adalah cerita indah yang tak pernah aku sangka akan hadir dalam hidupku. Di balik rasa canggung, lelah, dan tantangan, ada kebanggaan tersendiri bisa ikut berkontribusi mencerdaskan orang-orang di sekitarku, termasuk keluargaku sendiri.
Kreator : kade Restika Dewi
Comment Closed: Antara Mahasiswa, Paman, dan Tangga Kampus (Chapter 11)
Sorry, comment are closed for this post.