Lamandau kembali diselimuti kabut tipis pagi itu. Udara lembab menyentuh kulit saat Hutama melangkah keluar dari kosnya menuju kantor. Di tangan kirinya, map berisi berkas laporan program bulanan; di kepalanya, daftar pekerjaan hari ini berderet tak henti. Namun, semuanya buyar seketika saat dering ponselnya menggema dari dalam saku.
Panggilan dari nomor rumah. Jarang sekali mereka menelepon pagi-pagi begini, pikir Hutama sambil menjawab dengan cepat.
“Hallo, Nang…” suara serak ibunya terdengar lemah di seberang. Nang atau anak lanang adalah panggilan anak laki-laki dalam keluarga jawa.
Hutama langsung merasakan firasat tak enak. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Ibu kenapa? Suaranya beda…” tanyanya, mencoba menahan kegelisahan.
Hening sebentar. Lalu terdengar suara bapaknya, pelan, bergetar, berusaha tetap tegar.
“Ibumu sakit. Sudah seminggu demam tinggi. Tadi malam pingsan. Kami baru saja dari Puskesmas.”
Hutama terdiam. Dadanya mendadak sesak. Suara hiruk-pikuk pagi di Lamandau terasa seperti gema dari dunia yang lain. Rasanya seakan waktu berhenti.
“Kata dokter, harus rawat inap. Tapi, Nang… kita… keuangan kita sedang sulit.”
Suara ayahnya tertahan. Hutama tahu, ayahnya bukan tipe yang mudah meminta bantuan. Kalimat itu, yang terucap dengan berat, membawa beban lebih dari sekadar kata-kata. Itu adalah seruan dari seorang ayah yang sedang berusaha melindungi keluarganya, tapi mulai kehabisan daya.
Hutama menatap map di tangannya, pekerjaan yang menuntut tanggung jawab. Tapi, pikirannya melayang jauh ke Yogyakarta. Ke kamar Ibu yang mungkin sedang terbaring lemah, ke dapur yang dulu selalu hangat oleh aroma masakan Ibu, ke masa-masa kecilnya yang penuh tawa di rumah sederhana itu.
Hari itu, Hutama datang ke kantor, tapi hanya jasad yang bergerak. Pikirannya tak ada di sana. Ia berusaha fokus, tapi setiap kali suara tawa rekan kerja terdengar, ia merasa semakin asing. Seolah hanya tubuhnya yang ada di ruang itu, sementara jiwanya melayang jauh ke rumah.
Dalam hati, Hutama mulai dihantui pertanyaan-pertanyaan tajam:
Apakah aku egois karena memilih tetap di sini?
Apa gunanya jadi PNS kalau tak bisa membantu orang tuamu sendiri?
Haruskah aku pulang? Atau… berhenti saja?
Dilema itu makin membesar saat ia membuka rekening dan melihat saldo yang pas-pasan. Gajinya sebagai PNS baru belum mencukupi untuk menanggung biaya rumah sakit yang terus berjalan. Apalagi, ia harus hidup mandiri di rantau, dengan kebutuhan harian yang tak bisa ditunda.
Malam itu, Hutama duduk sendirian di belakang kos. Ia menatap langit Lamandau yang penuh bintang. Sama seperti langit Yogyakarta, tapi terasa lebih jauh dari sebelumnya.
Air mata mengalir perlahan. Bukan hanya karena sedih, tapi karena marah pada dirinya sendiri dan merasa tak berdaya.
Keesokan harinya, ia memberanikan diri menghubungi atasannya, Pak Surya, seorang pria paruh baya yang selama ini bersikap tegas namun adil.
“Pak, saya minta waktu sebentar untuk bicara. Ini soal keluarga,” ucap Hutama pelan di ruang kerja sederhana itu.
Pak Surya mempersilahkan, menaruh pulpen yang dipegangnya, dan menatap Hutama dengan pandangan tenang.
Hutama menjelaskan segalanya, tentang ibunya yang sakit, tentang keuangan keluarga yang menipis, tentang dilema yang menyesakkan dada.
Pak Surya mendengarkan tanpa menyela, lalu berkata pelan, “Tama, saya tahu beratnya jadi perantau. Apalagi saat keluarga sedang kesulitan. Tapi, kamu juga sedang berada di awal perjalanan yang bisa jadi masa depanmu.”
Hutama menunduk. Ia tahu maksudnya. Meminta cuti terlalu awal akan menimbulkan tanda tanya. Apalagi pekerjaannya masih dalam masa adaptasi.
“Tapi begini,” lanjut Pak Surya, “Kalau kamu memang harus pulang, kami akan bantu carikan solusi. Tapi, kalau kamu memilih tetap di sini, jangan anggap itu berarti meninggalkan keluargamu. Ada banyak cara untuk membantu meski dari jauh.”
Kata-kata itu menampar Hutama. Ia terlalu larut dalam rasa bersalah, hingga lupa bahwa perjuangan pun bisa dilakukan dari kejauhan, asal hatinya tetap terikat pada mereka yang ia cintai.
Malamnya, Hutama melakukan satu hal yang selama ini ia tunda: menghubungi sahabat-sahabatnya di Jogja.
Dengan suara terbata, ia menceritakan kondisi ibunya. Ia tahu harga dirinya harus diturunkan saat meminta bantuan, tapi demi ibu, ia bersedia.
Yang tak ia duga, respon mereka luar biasa cepat. Dalam dua hari, sahabat-sahabatnya membuka donasi kecil-kecilan untuk membantu biaya rumah sakit. Tak besar, tapi cukup meringankan.
Hutama juga mulai mencari pekerjaan sampingan mulai membantu mengetik laporan atau mengerjakan desain kecil untuk UMKM lokal. Sedikit demi sedikit, ia sisihkan untuk keluarga.
Dan, yang paling penting, setiap malam ia menyempatkan menelepon ibunya. Tak lagi membicarakan sakit, tapi mengenang masa kecil, tertawa bersama, dan menyuntikkan semangat agar sang ibu cepat pulih.
Perlahan, kabar dari Jogja mulai membaik. Ibu mulai bisa duduk. Demamnya menurun. Biaya rumah sakit bisa diangsur.
Hutama masih di Lamandau, tapi kini hatinya sudah tidak terbelah. Ia telah memilih untuk bertahan dengan luka, dengan beban, tapi juga dengan cinta dan pengharapan.
Kreator : Galih Satria Hutama
Comment Closed: Antara Tugas dan Darah Daging
Sorry, comment are closed for this post.