Jauh waktu sebelum menikah dengan suamiku, pernah ku tuliskan impianku dalam sebuah aplikasi notes handphone. Isinya adalah impianku akan sebuah keluarga kecil nanti yang ingin ku bentuk di dunia ini. Dengan kriteria suami seperti apa, jumlah jarak dan jenis kelamin anak-anak, bahkan sampai rencana perjalanan untuk quality time keluarga ke dalam dan luar negeri, semuanya tertuang dalam tulisan itu.
Lama ku simpan catatan itu, bahkan sampai beberapa kali handphoneku diganti, catatan itu tetap di copy-paste. Dan siapa sangka, apa yang ku impikan satu per satu mulai menjadi kenyataan. Catatan yang menjadi doa tak berkeputusan ku mulai dijawab sang Empunya Semesta.
Menikah di usia yang tak lagi belia, adalah pilihan kami yang merintis karir dan berkarya di tengah Pedalaman Papua yang siapa sangka bisa ketemu jodoh sesuai spek impian di tengah hutan belantara yang penduduk pendatangnya bisa di hitung jari saja.
Bertemu jodoh dengan visi misi dan impian yang sama membuat kami tak berlama-lama melanjutkan hubungan pacaran 9 bulan jarak-jauh kami ke jenjang pernikahan yang kudus. Kembali sebentar ke kampung halaman dari rantau untuk melangsungkan pernikahan, kami terbang dengan 3 penerbangan berbeda.
Dua hari sebelum acara pernikahan kami diselenggarakan, Oma saya meninggal dunia. Acara pernikahan hampir dibatalkan oleh tua-tua di keluarga besar. Namun, setelah debat sengit dengan orang tua kami, akhirnya diputuskan 1 hari sebelum pernikahan kami, Oma dimakamkan karena memang semua keluarga sudah berkumpul untuk menghadiri acara pernikahan kami. Tidak ada lagi anak/cucu dari luar daerah yang di tunggu. Oma yang adalah mama kandung dari mama ku. Ku mandikan Oma untuk terakhir kalinya. Didandani yang cantik untuk peristirahatan panjangnya. Prosesi pemakaman pun berlangsung khidmat, khusuk dan penuh emosi. Sungguh menguras tenaga dan emosi, menyita waktu sampai membuatku tidak tidur sampai hari-H pernikahan kami. Ini di bukan bagian dari impianku.
Hari pernikahan kami pun tiba, dilangsungkan secara sederhana dengan perencanaan yang matang walaupun semuanya diatur via telepon yang sinyalnya hanya terbatas beberapa jam saja dalam sehari dari pedalaman Papua sana. Tapi, atas ridhoNya saja acara pernikahan kami bisa terselenggarakan dengan baik, menjadikan kami pasangan suami-istri yang sah secara agama maupun pemerintah.
Impian selanjutnya menjadi tantangan bagi kami. Selesai acara pernikahan kami, saya malah jatuh sakit saat harusnya HoneyMoon di Bali. Capek fisik dan lelah emosi membuatku terkapar tak berdaya, demam tinggi bahkan tak mampu bangun dari tempat tidur. Bulan madu yang seharusnya dinikmati berdua menjadi sesi perawatan istri sakit. Kasihan suamiku. Tak lama setelah aku berangsur pulih, masa cuti sudah habis. Kami harus kembali ke tempat tugas masing-masing yang walaupun di kabupaten sama namun di distrik yang berbeda, yang hanya bisa dipertemukan via transportasi udara. Mengimpikan segera mempunyai momongan sepertinya sulit karena kami harus kembali berpisah lagi demi tugas pelayanan kepada bangsa ini.
Indahnya masa awal pernikahan kami terlewati begitu saja, dan terasa hanya sekejap saja. Masa LDR kembali menanti didepan mata. Kami hanya bisa berserah, pasrah pada kehendak sang Empunya Semesta. Semua ada waktu-Nya. Itu saja yang kami yakini dan imani.
Dua bulan berlalu dalam kesibukan kerja masing-masing. Bertukar kabar via telpon di jam tertentu, membuat kami seperti masih di masa pacaran saja. Namun, aku akhirnya menyadari, sepertinya sudah dua bulan tamu tetap itu belum bertandang. Dengan hati berdebar kencang, ku coba cek urin pertamaku di pagi hari berikutnya. Dua garis muncul samar disana. Ingin ku teriak girang, namun ragu masih menahan. Jangan sampai ini positif palsu karena test pack-nya stok lama.
Ku kabari suamiku di seberang Gn.Gergaji sana via telepon. Segera dipesankannya dari kota semua jenis dan merk test pack yang tersedia di kota terdekat dan dikirimkan padaku. Tiga hari berikutnya paket test pack itu datang. Gemuruh di dada ini makin riuh-rendah sampai membuatku pusing. Pagi berikutnya ku tunggu seperti menantikan sebulan lamanya untuk matahari terbit. Cepat-cepat ku tes urin pertamaku pagi itu dengan 7 macam test pack berbeda, dan hasilnya… Dua garis merah tegas tertera di semua test pack yang ku pakai.
Senangnya hati ini tiada duanya. Namun, mendung tiba-tiba melanda. Pikiranku kalut ketakutan karena teringat setelah hari pernikahan kami, aku mengkonsumsi obat antibiotik yang notabene tidak diperbolehkan untuk kehamilan. Senang, takut, galau, melanda diriku yang seorang diri di pedalaman ini. Suamiku ada di seberang gunung sana, yang tak mungkin tiba dalam sehari ke tempat ini. Segera kabar bahagia dan kegalauanku ku teruskan pada ayah calon anakku. Riang gembira suaranya terdengar, bahagia terpancar dari nada bicaranya. Memberiku ketenangan, menjalani kehamilan pertamaku.
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Anugerah-Nya Ku Terima
Sorry, comment are closed for this post.