Jam 16:19 WIB, 10 Juni 2023. Sore ini yang terlintas dalam benakku terkait sistem pemilu proposional terbuka dan tertutup, apaan itu? (batin ku orang kampung yang rendah literasi bertanya-tanya), konteks ini aku bawa ke ranah kehidupan kampung. Aku yang mencoba melihat reaksi masyarakat kampungku terkait sistem pemilu ini, sebagian besar masyarakat tidak paham dan tidak mau tahu akan hal tersebut alias wegah ribet.
Menyikapi hal tersebut justru batin ku ketawa geli mendengarkan respon beberapa orang yang jalan ke sawahnya melewati gubuk singgah ku, setiap orang yang lewat biasa ku panggil, sekedar menawarkan minum walau air putih sembari liren alias rehat sejenak. Kami duduk di teras pojok gubuk ku di samping aliran sungai. Perbincangan aku mulai dengan diiringi syahdunya gemericik air. Obrolan ringan dari mulai aktifitas di kebun/sawahnya, basa-basi sekedar tanya soal hewan ternak piaraannya.
Aku melihat beberapa yang mulai nyaman dan betah, senang rasa ku mereka menjadi banyak bercerita. Kesempatan itu aku gunakan dengan baik untuk sekadar ya menanyakan perihal politik. Disini lah batin ku tertawa tapi menangis miris. Mendengarkan pengakuannya yang hanya mementingkan amplop “ah soal politik sing penting sing amplope isine kandel ae sing tak coblos” jadi mayoritas masyarakat desa hanya memilih yang memberi uang, dan yang uangnya banyak.
Kondisi pernyataan tersebut menyayat hati ku, ternyata begitu murah hati seseorang, tidak melihat track record, background untuk kelangsungan kemajuan kedepan. 67% masyarakat kampung ku memilih uang, 16% memilih karena agama, 13% memilih karena uang dan agama, 4% melihat kredibilitas calon, bibit, bebet dan bobot dilihat dari caleg oleh segelintir orang kampung ku.
Tak lain hal tersebut terjadi karena minimnya literasi, kualitas SDM yang rendah akan asupan informasi. Ya, banyak masyarakat sekitar khususnya yang tua-tua yang seumuran bapak dan simbok ku hanya mengenyam sekolah MI/SD, pun banyak yang tidak lulus MI/SD. Mayoritas pekerjaan petani, sehingga akan sangat mungkin mempengaruhi keterbatasan literasi, hal ini berdampak pola pikir masyarakat yang terbentuk menjadi pragmatis. Pantas saja ketika ada pemimpin atau pejabat meskipun sekedar pejabat balai desa akan sangat mungkin tidak relate dengan job desk-nya tentunya karena ada kesalahan di awal oleh masyarakat sendiri yang hanya memilih karena uang.
Kalau sudah soal uang, orang kampung mah girang. Gampang mengatasi orang kampung terlebih perihal politik, cukup uang. Uang adalah senjata ampuh untuk meraih suara, karena banyak hati orang kampung sedemikian murahnya. Aku salah satu yang menolak uang politik, dan ya, cibiran pasti ada, tak sedikit yang bilang “kae ora doyan duit, kae bocah goblok dll” hahaha.
Demikian lah kisah lucu reaksi masyarakat kampung ku yang menggemaskan terkait sebuah politik.
Jam sudah menunjukkan pukul 17:17 WIB, aku akhiri tulisan konyol ini. Do’a ku semoga masyarakat kampung ku khususnya dan umumnya seluruh Indonesia mau dan mampu untuk memilih dengan cerdas, melek literasi agar tidak sekedar memilih pemimpin karena uangnya saja. Pilihlah dengan hati. Ya, hati nurani, karena hati kita sangat mahal. Indonesia Maju. Barokalloh
Ini adalah latihan menulis ku yang ke 9 dan masih ku tulis pada tanggal 10 Juni 2023. Berikut link kompasiana saya; https://www.kompasiana.com/nagariamerta5892
Kreator : Chafid Marzuki
Comment Closed: Apaan Sistem Pemilu Proposional Terbuka dan Tertutup
Sorry, comment are closed for this post.