Bab 17 Awal yang Baru
Cahaya matahari sore menembus sela-sela dedaunan, menciptakan pola-pola bayangan di jalan setapak yang basah oleh embun pagi yang belum sepenuhnya menguap. Aku duduk di bangku kayu tua di taman kota, tempat di mana aku dan Cleo sering menghabiskan waktu selepas kuliah. Di kejauhan, suara tawa anak-anak bercampur dengan deru roda sepeda mereka yang melintasi jalan setapak. Aku merasakan desir angin yang lembut menyapu rambutku, membawa aroma segar bunga melati dari semak-semak di sekitar. Udara sore ini seolah mengajakku untuk berhenti sejenak, menikmati ironi dari pikiran yang penuh tetapi suasana yang begitu tenang.
Di depanku, Cleo berdiri dengan satu tangan memegang es kopi plastik yang setengah kosong, sementara tangan lainnya sibuk membetulkan tali tas kecil yang melintang di bahunya. Dia menatapku dengan ekspresi setengah geli, setengah penasaran.
“Jadi, apa kabar kehidupan baru lo, Mo?” tanya Cleo sambil melipat kedua lengannya. Ada nada jenaka dalam suaranya, tetapi aku tahu itu hanyalah topeng untuk rasa ingin tahunya yang lebih dalam.
Aku memandangnya, lalu menarik napas panjang. Matahari sore itu terasa hangat di kulitku, tetapi dadaku tetap terasa berat, seolah ada batu yang tidak pernah benar-benar pergi dari sana.
“Nggak semudah kelihatannya,” jawabku akhirnya.
Aku mencoba tersenyum, tapi hasilnya lebih mirip seringai canggung.
Cleo tertawa kecil, lalu duduk di sebelahku. Bangku kayu itu berderit pelan di bawah berat kami. Dia menyesap es kopinya sambil menatap langit, matanya menyipit melawan sinar matahari yang mulai rendah.
“Gue tahu. Makanya gue nanya.”
Aku tersenyum kecil, kali ini lebih tulus. Cleo selalu tahu cara membuatku merasa sedikit lebih ringan, meskipun hanya untuk sementara. Aku membiarkan diriku terdiam sejenak, menikmati irama sore yang damai namun penuh tanya.
“Lo tahu kan, Cle,” aku memulai, suaraku hampir tenggelam dalam suara angin.
“Ada kalanya gue mikir, kenapa semua ini harus terjadi sekarang? Kenapa nggak beberapa tahun yang lalu, atau bahkan nggak sama sekali?”
Cleo menoleh ke arahku, wajahnya serius untuk pertama kalinya sore itu.
“Dan kalau itu nggak terjadi sama sekali? Lo yakin bisa hidup tanpa tahu kebenaran tentang diri lo?”
Aku mengangkat bahu. Sebuah angin kecil meniup rambutku ke wajah, dan aku menyibakkannya perlahan. Aku memandang ke jalan setapak di depan, melihat bayangan panjang dari pohon-pohon tua yang bergoyang pelan diterpa angin.
“Mungkin. Mungkin gue bakal lebih tenang, lebih… konsisten. Tapi sekarang? Rasanya kayak gue harus belajar ulang semuanya dari awal. Siapa gue, apa yang gue inginkan, bahkan siapa yang sebenarnya gue percaya.”
Cleo terdiam, memandangku dengan cara yang membuatku merasa seperti buku yang terbuka. Aku tahu dia sedang mencerna setiap kata yang aku ucapkan, seperti yang selalu dia lakukan.
“Tapi,” lanjutku, suaraku mulai bergetar meski aku mencoba menahannya.
“Gue nggak bisa berhenti mikirin Bima. Dia… dia marah sama gue, Cle. Dia pikir gue ninggalin dia dan Bapak. Tapi gue cuma…”
Aku berhenti, menggigit bibirku untuk menahan air mata yang mulai menggenang.
Cleo meletakkan tangannya di bahuku, sebuah sentuhan yang ringan tapi penuh makna.
“Lo nggak ninggalin siapapun, Mo. Lo cuma mencoba ngerti di mana tempat lo sekarang. Dan itu wajar.”
Aku memandangnya, mataku berkaca-kaca.
“Tapi gue nggak yakin Cleo, gue nggak yakin bisa nemuin tempat gue di antara dua dunia ini.”
Dia mengangguk pelan, lalu kembali menyesap es kopinya.
“Lo tahu, Mo, gue selalu percaya kalau hidup itu kayak jalan setapak di taman ini. Kadang lurus, kadang bercabang. Kadang kita harus berhenti untuk lihat ke belakang sebelum mutusin mau ke mana. Tapi yang penting, lo terus jalan.”
Aku menghela napas panjang, membiarkan kata-katanya meresap ke dalam pikiranku.
“Dan kalau gue salah pilih jalan?” tanyaku pelan.
Cleo tertawa kecil, tapi ada kelembutan dalam nadanya.
“Nggak ada jalan yang salah, Mo. Lo cuma bakal nemuin cerita yang beda. Itu aja.”
Aku tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangan ke arah anak-anak yang masih bermain di kejauhan. Salah satu dari mereka, seorang anak perempuan kecil dengan rambut dikepang, tertawa lepas sambil berlari mengejar bola yang meluncur ke arah semak-semak. Aku merasa iri pada keceriaan sederhana itu, sesuatu yang rasanya sudah lama hilang dari hidupku.
“Gue cuma takut,” gumamku akhirnya.
“Takut kalau gue nggak bisa bikin semuanya benar lagi. Takut kalau gue malah ngerusak semuanya lebih jauh.”
Cleo meletakkan kopinya di bangku dan menatapku, matanya penuh kesungguhan.
“Lo tahu apa yang lebih buruk dari takut, Mo? Nggak mencoba sama sekali.”
Aku mendongak, mata kami bertemu. Di balik canda dan sarkasme khasnya, Cleo selalu tahu kapan harus berbicara dengan serius. Dan kali ini, kata-katanya menusuk tepat ke inti kekhawatiranku.
“Lo nggak harus nyelesain semuanya sekarang,” lanjutnya.
“Ambil satu langkah kecil. Lihat kemana langkah itu bawa lo. Kalau ternyata lo nggak suka, lo selalu bisa berbelok, kan?”
Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku masih dipenuhi keraguan. Aku tahu dia benar. Aku tahu aku harus mencoba, meskipun aku tidak yakin bagaimana atau di mana aku akan memulai.
Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, memancarkan cahaya oranye yang lembut ke seluruh taman. Bayangan kami memanjang di atas tanah, seperti pengingat bahwa waktu terus berjalan, terlepas dari apa pun yang aku rasakan.
“Jadi, apa yang akan lo lakukan sekarang?” tanya Cleo, nadanya kembali ringan.
“Lo mau merenung di sini sampai malam, atau lo punya rencana lain?”
Aku tertawa kecil, meskipun itu lebih karena kebiasaan daripada benar-benar merasa lucu.
“Gue nggak tahu, Cleo. Gue beneran nggak tahu.”
Dia tersenyum, lalu berdiri dan merentangkan tangannya seolah ingin memeluk seluruh dunia.
“Ya udah, nikmatin aja ketidaktahuan lo itu. Hidup terlalu singkat buat terlalu serius.”
Aku memandangnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti selamanya, aku merasa beban di dadaku sedikit lebih ringan. Mungkin, aku tidak perlu tahu semuanya sekarang. Mungkin, aku hanya perlu mengambil langkah kecil, seperti yang Cleo katakan.
Ketika dia menepuk bahuku dan mulai berjalan ke arah parkiran, aku tetap duduk di sana, memandang langit yang perlahan berubah menjadi ungu. Aku memegang tas kecilku erat-erat, merasakan tekstur kasar dari surat Papa yang terselip di dalamnya.
Bayangan masa depan dan kenangan masa lalu saling bertaut di pikiranku. Aku menarik napas panjang, menghirup aroma melati yang mulai memudar di udara sore itu. Surat Papa seolah berbisik dari dalam tasku, mengingatkanku pada pesan-pesan yang belum selesai ku cerna sepenuhnya.
Di pikiranku, aku bisa mendengar suara Papa. Lembut, penuh kasih.
“Langkah kecil, Ayu. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Sebuah senyuman tipis muncul di wajahku, walaupun hatiku masih penuh tanda tanya. Satu langkah kecil. Itu saja yang aku butuhkan.
Aku berdiri perlahan, merasakan angin sore menyapu wajahku. Matahari hampir tenggelam sepenuhnya, menyisakan langit ungu dengan garis-garis oranye di cakrawala. Dunia di sekitarku terasa tenang, meskipun pikiranku belum benar-benar damai.
Langkahku pelan saat meninggalkan taman itu. Di belakangku, suara Cleo memanggil dari kejauhan.
“Cimo! Kalau butuh gue, gue cuma satu panggilan telepon!”
Aku melambai tanpa menoleh, membiarkan senyumku menjadi jawaban. Aku tidak tahu ke mana langkah ini akan membawaku, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa siap untuk mencari tahu.
Kreator : Fati Nura
Comment Closed: Awal yang Baru
Sorry, comment are closed for this post.