Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika kini aku menjadi bagian dari keluarga ini. Keluarga sederhana namun sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman. Pendidikan agama adalah hal yang paling diutamakan dalam mendidik anak. Beruntung sekali rasanya aku bisa hadir di kehidupan mereka. Masih teringat dalam benakku saat dulu aku pernah berkunjung ke rumah suamiku sekarang. Saat itu kami masih sama-sama lajang. Aku yang sangat menyukai bunga begitu tertarik dengan keindahan bunga-bunga yang dimiliki suamiku. Sejak remaja suamiku rajin mengurus bunga. Sama sepertiku yang juga hobi merawat bunga. Awal kami menikah suamiku pernah bercerita, bahwa dulu saat aku meminta bibit bunga ibunya bilang kalau karakter sepertiku yang diinginkannya.
Sebenarnya suamiku pun sudah jatuh hati padaku saat itu. Namun ia belum berani mengutarakannya. Hingga aku pun sama sekali tidak tau akan perasaan suamiku padaku. Cinta terpendam ini bertahan cukup lama. Hingga suatu hari kami dipertemukan dalam kantor yang sama. Aku yang lebih dulu bekerja di kantor itu agak kaget sewaktu suamiku juga akhirnya diterima di perusahaan ini. Kebersamaan yang rutin terjalin telah menumbuhkan rasa saling membutuhkan. Tak jarang suamiku menjemput dan mengantarkan aku pulang bekerja. Hal ini membuat keakraban kami makin terjalin. Muncullah benih-benih cinta diantara kami.
Suamiku yang tak lagi bisa menyembunyikan perasaannya padaku, akhirnya memberanikan diri tuk mengungkapkannya. Tanpa basa-basi ia pun berkata ingin melamarku. Mungkin karena usia kami yang sudah cukup matang, kami pun tak mau menunda-nunda waktu untuk berlama-lama berpacaran. Apalagi orang tua suamiku yang sudah cukup tua selalu bertanya perihal siapa calon istri anak laki-laki kesayangannya itu. Tak menunggu lama sejak aku menerima lamaran suamiku pernikahan pun segera digelar. Acara berlangsung cukup sederhana. Kami hanya mengundang kerabat dekat dan teman-teman satu kantor saja. Sengaja acaranya sederhana karena kami ingin uang yang kami miliki nantinya bisa untuk bekal kami setelah berumah tangga.
Suamiku adalah pribadi yang tegas, disiplin, jujur, selalu terbuka, dan sangat berbakti pada kedua orang tuanya. Hal itu tentu membuatku makin menyayanginya. Aku bahkan banyak belajar darinya. Ia yang begitu menyayangi ibunya juga bapaknya selalu menomor satukan segala urusan yang berkaitan dengan kebutuhan mereka. Sejak ia dibangku SLTP ayahnya buta. Dokter bilang banyak saraf matanya yang putus. Berawal dari sering memanggul beban berat dipundaknya saat ke kebun seperti pupuk. Suatu hari sepulang dari pasar beliau berjalan tak tentu arah. Hingga hampir saja tertabrak oleh pengendara sepeda motor yang lewat. Pengendara itu pun kaget dan bertanya mengapa jalannya tidak di pinggir. Bapak bilang kalau pandangannya terasa gelap. Lalu sang pengendara motor pun segera mengantarkan bapak pulang. Beruntung ia sudah cukup mengenal keluarga bapak.
Keluarga Pun berkumpul dan berniat membawa bapak berobat. Setelah bertemu dokter keluarga menginginkan agar bapak dioperasi. Namun jawaban dokter begitu membuat keluarga terpukul. Dokter berkata, “ Bapak bisa saja kami operasi, namun kami tidak jamin jika nanti bapak bisa melihat kembali. Karena kemungkinan sembuh itu sangat kecil. Sebab banyak urat syaraf di mata bapak yang putus”. Begitu penjelasan dokter. Akhirnya dengan berat hati keluarga pun membawa bapak pulang. Tak sampai di situ berbagai pengobatan ditempuh oleh keluarga, demi kesembuhan bapak. Tak hanya medis, tapi juga non medis. Tapi hasilnya tetap nihil. Betapa pilu hati keluarga menerima kenyataan pahit ini.
Bapak yang sehari-harinya adalah seoran petani dan berjualan alat-alat pertanian di pasar, kini harus berdiam diri di rumah menjalani takdir yang Allah berikan. Hal ini tentu membuat ibu menggantikan posisi bapak sebagai pencari nafkah. Suamiku yang sudah remaja tentu ringan tangan membantu pekerjaan ibu. Bahkan tak jarang ia ikut kerja upahan di kebun tetangga guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Aku yang baru saja hadir di rumah suamiku tentu begitu trenyuh melihat kondisi bapak yang kemana-mana selalu ditemani tongkatnya. Namun satu hal yang aku kagumi, beliau begitu rajin beribadah. Sholat dan juga mengaji. Setiap malam bahkan terdengar olehku bunyi tongkatnya saat berjalan keluar kamar guna mengambil air wudhu. Masya Allah… malu rasanya aku yang sehat ini bila tak mampu bersyukur dan menjalankan ibadah seperti halnya bapak.
Kini aku dan suamiku tengah menunggu kelahiran buah hati kami yang pertama. Tibalah pada hari yang begitu membuat hatiku cemas. Aku mulai merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Suamiku segera memanggil bidan yang selama ini memeriksaku. Terpancar raut muka sedih saat bidan itu bilang bahwa aku tak bisa melahirkan normal dan harus menjalani operasi saesar. Aku pun hanya bisa pasrah dan terus berdo’a semoga operasi berjalan lancar, dan anakku selamat. Tak bisa kusembunyikan kecemasanku saat tiba di rumah sakit dan segera disambut tim medis untuk dilakukan penanganan.
Entah berapa lama sejak aku masuk ruang operasi dan diberi suntikan bius, anakku pun lahir. Terdengar suara seraknya saat dokter mengangkat tubuhnya dari dalam rahimku. Aku yang belum begitu sadar berucap syukur atas kehadiran putri pertama kami. Setelah menjalani perawatan dan pemulihan, kini tibalah saatnya kami pulang. Ibu mertuaku telah lebih dulu pulang karena tak tega membiarkan bapak di rumah hanya ditemani cucunya saja. Rasanya tak sabar akupun ingin segera sampai rumah.
Deru suara mobil yang membawa kami berhenti tepat di depan rumah kami, ibu mertua segera menyambut kedatangan kami. Aku yang ditemani kakak ipar turun pelan-pelan dari mobil. Tentu aku belum bisa menggendong bayiku karena masih agak lemas. Anakku pun digendong kakak iparku. Setelah masuk rumah kami langsung menghampiri bapak yang sedang duduk di ruang tamu. “ Pak, kami sudah pulang”. Kataku. Dan kakak iparku segera mendekatkan anakku ke bapak sambil berkata, “ mbah…ini cucunya sudah datang. Alhamdulillah perempuan mbah, dan kondisinya sehat”. “ Oh, ya syukur Alhamdulillah”. Jawab bapak. Tak terasa air mata ini mengalir deras mendengar jawaban bapak. Batinku berkata, “ya Tuhan sejak aku menjadi menantunya dan kini aku sudah melahirkan putri pertamaku, bapak masih belum bisa melihat seperti apa menantu dan juga cucunya?”. Langit cerah seakan berubah menjadi awan kelabu menyaksikan kesedihanku akan keadaan yang dialami bapak mertuaku. Saat anakku berusia lima tahun, bapak sakit-sakitan dan tak lama Yang Kuasa pun memanggilnya. Selamat jalan bapak, semoga kau tenang di sana. Do’a kami menyertai kepergianmu.
Kreator : Sri Dewi Rejeki
Comment Closed: Awan Kelabu
Sorry, comment are closed for this post.