Penyesalanku
Hari yang dinanti telah tiba. Pagi ini aku bersiap-siap lebih awal dari hari sebelumnya, sebab nanti ada pengumuman kelulusan. Tak terasa tiga tahun berlalu sejak aku mendaftarkan diri bersekolah di sekolah menengah negeri yang menjadi favoritnya masyarakat ini. Rasanya hati ini sudah tidak sabar lagi ingin segera tahu pengumuman itu. Dag-dig-dug tak menentu. Aku tidak ingin kedua orang tuaku kecewa dengan hasil nilai ujian yang kuperoleh. Terbayang di mataku bagaimana mereka begitu semangat menyekolahkanku. Ibu yang setiap hari membantu menyiapkan sarapan pagi dan segala keperluan sekolahku. Sementara bapak, ia selalu bekerja keras mengolah kebun agar menghasilkan panen yang melimpah dan bisa membiayai sekolah kami. Ah, aku berharap aku bisa lulus dengan hasil yang memuaskan.
Bel berbunyi, seluruh siswa disuruh untuk berkumpul di halaman sekolah menunggu kepala sekolah membacakan pengumuman. Duh…. Kenapa aku deg-degan gini ya?
Tak lama, Kepala Sekolah pun berdiri di depan para siswa dan membacakan pengumuman. Alhamdulillah, aku lulus!
Di luar dugaan ternyata aku memperoleh peringkat tiga besar. Bahagia bercampur haru. Aku pun segera pulang dan memberitahu kabar gembira ini pada Bapak dan Ibu.
Sesampainya di rumah kulihat Bapak dan Ibu tengah duduk berbincang-bincang sambil minum teh. Rupanya, Bapak baru saja pulang dari kebun. Waktu itu jam menunjukkan pukul 10. 30 WIB. Dari dulu Bapak memang terbiasa berangkat ke kebun pagi-pagi sekali. Biasanya pukul 06.00 sudah berangkat, dan pukul 10.00 sudah kembali ke rumah. Prinsip beliau yang penting tiap hari rutin berangkat ke kebun, tak perlu ngoyo insya Allah ada hasilnya.
Raut muka bahagia terlihat saat kutunjukkan selembar kertas pengumuman di dalam amplop pada Bapak dan Ibu. Lalu, Bapak menanyakan tentang rencana mau melanjutkan sekolah kemana. Aku pun menjawab terserah Bapak saja. Saat itu, sebenarnya Bapak ingin mendaftarkanku di Madrasah Aliyah negeri yang cukup terkenal. Namun, jarak yang lumayan jauh dari rumah yang mengharuskanku untuk tinggal di tempat kos membuat nyaliku ciut. Tiba-tiba aku merasa sedih sekali, membayangkan harus jauh dari orang tua. Ya, dari kecil aku belum pernah berpisah dengan mereka. Aku juga belum bisa mandiri mengurus keperluanku. Ah, aku masih terlalu manja untuk mencoba mandiri. Ibu begitu menyayangiku, hingga lebih sering mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian tanpa meminta atau mengajariku. Bagi Ibu aku masih terlalu kecil. Pikirnya, kalau sudah waktunya tiba aku bakal bisa mengerjakan semua sendiri.
Aku hanya bisa mencuci piring dan menyapu saja, sedang untuk mencuci pakaian atau memasak aku belum terbiasa. Bayangan rasa takut menyelimutiku, hingga akhirnya aku memilih untuk bersekolah yang bisa dilaju dari rumah dengan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh. Aku didaftarkan di sekolah swasta. Sebuah sekolah lanjutan menengah atas di daerahku. Kebetulan, Kepala Madrasah-nya adalah teman baik Bapak. Jadilah kini aku siswa di Madrasah tersebut. Namun, awal-awal masuk aku sudah dikejutkan dengan ketidakdisiplinan para siswa di sana. Bagaimana tidak, aku yang terbiasa berangkat pagi selama bersekolah di SMP negeri, kini harus menunggu bel cukup lama sebab para siswa yang tinggal di asrama belum siap.
Ah, sungguh membosankan! Aku yang rela ngojek dari rumah supaya tak ketinggalan sekolah sebab motor dipakai Kakak yang bujang menginap di tempat temannya, harus kecewa karena sampai di sekolah anak-anak yang tinggal di asrama baru mau mandi. Ditambah lagi, jumlah siswa baru yang kurang dari sepuluh orang. Itupun setiap hari ada saja yang tidak masuk sekolah. Rasanya kurang bersemangat aku belajar. Hingga akhirnya kuputuskan untuk minta pindah sekolah di sekolah umum saja.
Keinginanku pun disanggupi Bapak karena Bapak bisa menerima alasan yang kuberikan. Selain itu, beliau juga tak ingin melihatku murung dan tak bersemangat sekolah. Sebenarnya, aku sangat kasihan karena harus merepotkan Bapak. Ia harus mengurus kepindahanku ke kantor Departemen Agama waktu itu yang sekarang berganti kantor Kementerian Agama. Tapi aku sungguh tidak betah bila terus lanjut di Madrasah tempatku belajar itu. Tak lama, aku sudah masuk di sebuah sekolah menengah atas swasta. Tentu dengan seragam yang berbeda sewaktu aku bersekolah di Madrasah. Hal ini pastilah menuntut pengeluaran lagi. Sungguh, kasihan orang tuaku.
Sebagai siswa baru aku disuruh berkenalan, tapi kebetulan sebagian dari teman-teman sekelasku sudah aku kenal. Sebab mereka adalah para lulusan dari sekolah yang sama saat di SMP dulu. Teman-teman menyambutku dengan gembira. Bahkan ada yang meledekku.
“Dini .. Dini … Kamu itu sudah bener-bener sekolah jurusan surga, malah pindah ke sini!” Sontak teman-teman yang lain pun tertawa.
Aku merasa betah sekolah di sini, meski swasta tapi tertib dan disiplin. Kegiatan ekskul-nya juga aktif. Waktu itu aku ikut ekskul pramuka.
Kini tak terasa tiga tahun hampir berlalu, sebentar lagi aku lulus. Ada sedikit kecewa yang kurasa sebab dulu tak menuruti arahan orang tua untuk melanjutkan sekolah ke sekolah agama. Saat lulus SD Bapak ingin mendaftarkanku di sebuah sekolah Diniyah Putri. Tapi aku menolaknya karena tempatnya yang jauh dan aku belum berani pisah dari orang tua. Saat lulus SMP pun aku masih belum cukup mandiri untuk disekolahkan di Madrasah Aliyah Negeri karena harus ngekos. Sekarang aku baru merasakan betapa pentingnya pendidikan agama. Semua telah berlalu dan tak dapat kuulang kembali. Biarlah nanti anak-anakku saja yang akan ku sekolahkan di sekolah agama, hiburku dalam hati.
Meski hanya satu catur wulan aku bersekolah di Madrasah Aliyah, aku merasa bersyukur karena dari sini lah aku mengenal berhijab. Bagaimana berpakaian yang sopan dan menutup aurat. Aku masih ingat betul kala itu, era tahun 1995. Di mana masih jarang sekali orang yang memakai jilbab. Bahkan satu kampung saja hanya aku lah yang berkerudung. Itu pun hanya pas sekolah saja. Aku masih belum terbiasa memakainya saat di rumah atau bepergian.
Pernah suatu hari sepulang sekolah, cuaca cukup terik. Aku berjalan kaki karena tak dijemput oleh Kakak. Begitu sampai di kampungku, ada salah satu warga yang bertanya padaku.
“Din, memangnya tidak gerah ya memakai pakaian tertutup semua gitu?”
“Tidak,” Jawabku.
Meski dalam hati dongkol aku hanya bilang, “Malah adem kok, soalnya kan tubuh kita terlindungi tidak kena sinar matahari langsung.”
Hmmmm, sungguh kenangan yang sampai kini tak bisa kulupakan. Alhamdulillah semua bisa kulewati, dan akhirnya aku terbiasa berhijab. Terima kasih Pak, sudah mendaftarkanku bersekolah di sekolah agama. Meski tak lama dan harus pindah, tapi banyak pelajaran yang bisa kudapat.
Kreator : Sri Dewi Rejeki
Comment Closed: Awan Kelabu
Sorry, comment are closed for this post.