
Perjalanan ke Distrik Ulilin”
(Catatan lapangan seorang perencana kota di perbatasan selatan Papua)
Pesawat mendarat di Bandara Mopah, Merauke, pukul tujuh pagi Waktu Indonesia Timur. Dari balik jendela, hujan turun deras, menutup landasan dengan kabut tipis. Genangan air terlihat di mana-mana, bahkan di tepi landasan pesawat.
“Selamat datang di tanah hujan,” gumamku pelan, setengah bercanda pada Hafidz yang duduk di sebelahku. Ia hanya tersenyum sambil menatap keluar, mencoba merekam pemandangan itu dengan kamera kecilnya.
Begitu kami turun dari pesawat, udara lembab langsung menyergap, hangat, asin, dan sedikit berbau lumpur. Di ujung area parkir, dua mobil dinas berwarna putih sudah menunggu. Seorang pria berkulit sawo matang dan berwajah tegas melambaikan tangan.
“Itu Pak Kabid dari Dinas PUPR,” kataku sambil merapatkan jaket.
“Selamat datang, Ibu Eva, Bapak-Bapak dan Ibu semua,” sambutnya dengan senyum ramah. “Maaf, cuaca memang begini terus seminggu terakhir. Kota sedang banjir kecil.”
Dan benar saja, sepanjang perjalanan dari bandara menuju kota, air menggenang di mana-mana. Beberapa rumah di pinggir jalan terendam sampai lutut. Anak-anak terlihat bermain di genangan, tertawa seolah hujan adalah teman lama.
Di dalam mobil, Pak Kabid bercerita bagaimana curah hujan beberapa hari terakhir membuat beberapa drainase meluap.
“Tanah di sini datar sekali,” katanya. “Air susah lari. Jadi kita harus pintar-pintar menata arah alirannya.”
Aku mengangguk. Dalam benakku, langsung terbayang peta topografi, arah sungai, dan jaringan jalan yang tergenang di lapangan. Tapi di sisi lain, ada perasaan aneh semacam kekaguman pada cara warga tetap beraktivitas di tengah kondisi itu.
Mobil kami melaju perlahan, menembus jalan berlumpur yang memantulkan bayangan langit kelabu. Sekitar pukul delapan pagi, kami akhirnya tiba di hotel tempat beristirahat. Hujan sudah mereda, menyisakan aroma tanah basah dan embun yang menempel di jendela mobil.
Di sepanjang jalan, Merauke tampak tenang. Pohon-pohon trembesi menjuntai di tepi jalan, beberapa motor melintas pelan melewati genangan. Kota ini terasa lapang tidak ramai, tapi penuh karakter.
Kami menginap di hotel bintang empat satu-satunya di kota Merauke, bangunan modern yang berdiri di tengah kawasan yang sebagian masih dikelilingi lahan kosong dan vegetasi rawa. Lobby-nya hangat, dengan aroma kopi dan kayu yang menenangkan. Rasanya aneh baru beberapa jam sebelumnya, aku menapaki lumpur, dan kini berdiri di lantai marmer mengkilap.
Kamar hotelku menghadap ke arah barat. Dari jendela, tampak cahaya jingga matahari sore menembus awan tebal yang tersisa. Di bawah sana, genangan air berkilau seperti kaca. Aku menatap pemandangan itu lama, mencoba memahami keseimbangan antara alam dan manusia yang sedang berubah perlahan di kota ini.
Aku langsung mandi air hangat yang terasa seperti anugerah setelah penerbangan panjang dan cuaca dingin. Di ruang makan hotel, kami sarapan cepat nasi goreng, telur mata sapi, dan kopi hitam yang terasa terlalu pahit tapi menenangkan.
Hari itu kami tidak langsung ke lapangan. Kami perlu berkoordinasi dulu. Setelah beristirahat sebentar, kami menuju kantor Dinas PUPR Kabupaten Merauke untuk bertemu tim teknis daerah. Di sana, ruangan ber-AC, aroma kertas dan peta lama memenuhi udara. Kami membahas rencana survei lapangan ke Distrik Ulilin rute, jarak, kondisi jalan, dan peralatan yang harus dibawa.
“Kalau hujan seperti ini, perjalanan bisa sampai enam jam,” ujar Pak Kabid sambil menunjuk peta di dinding. “Jalan tanahnya masih tanah merah di beberapa titik. Tapi tenang, besok kita siapkan mobil ganda dan sopir yang sudah biasa.” Aku mengangguk, mencatat semua di buku kecilku.
Di ruang rapat yang sederhana tapi hangat, aroma kopi bercampur dengan bau tanah basah yang terbawa dari luar. Kami berbincang tentang rencana pengembangan kota, kawasan perumahan baru, dan tantangan drainase di dataran rendah.
Namun di sela percakapan teknis itu, aku terus memandangi peta besar di dinding garis-garis biru sungai, area rawa, dan warna hijau hutan yang mengitari Merauke. Dalam diam, aku sadar: di tanah inilah konsep perencanaan akan diuji bukan hanya oleh data, tapi oleh kenyataan bahwa ruang di Papua tidak bisa semata dirancang dengan logika, melainkan juga dengan rasa.
Sore itu hujan mulai reda, tapi genangan belum surut. Dari jendela kantor, aku menatap langit perlahan memudar. Langkah pertamaku di Papua bukan di atas trotoar atau jalan kering, melainkan di atas tanah basah yang penuh air. Dan di situlah aku belajar bahwa setiap perencanaan sejati selalu dimulai dengan mengenali bagaimana alam bekerja lebih dulu, sebelum kita berani mengubahnya.
Menjelang sore, kami kembali ke hotel untuk menyiapkan perlengkapan: GPS, kamera drone, alat ukur, dan peta dasar wilayah. Hujan belum berhenti sejak pagi, hanya berganti intensitas dari deras menjadi gerimis, lalu kembali deras lagi.
Malamnya, tepat pukul tujuh, kami dijemput oleh Pak Kabid dan stafnya.
“Sudah capek, ya, Bu? Kita makan santai saja malam ini,” katanya dengan nada akrab.
Kami dibawa ke sebuah rumah makan seafood sederhana di pinggir kota. Lampunya kuning temaram, angin laut membawa aroma asin, dan di meja panjang sudah tersaji piring-piring besar berisi udang bakar, kepiting saus tiram, dan ikan kuah kuning semuanya segar, baru diambil dari perairan sekitar.
“Silahkan pilih menu,” kata pelayan muda sambil memberikan daftar makanan.
Aku menelusuri daftar itu dan mataku berhenti pada satu kata: Kepiting.
“Kepitingnya mau ukuran kecil, sedang, atau besar?” tanya pelayan itu sopan.
Tanpa berpikir panjang, aku menjawab, “Besar saja.”
Erland tertawa, “Bu Eva, yakin? Di sini besar bisa berarti sangat besar.”
Aku hanya tersenyum. “Ah, paling seperti di Bandung juga. Ukuran ‘besar’ di menu biasanya menipu.”
Teman-temanku memesan udang goreng tepung dan tumis kangkung, sementara aku menunggu kepiting pesananku datang. Kami mengobrol ringan tentang banjir, tentang perjalanan ke Ulilin besok, tentang sinyal internet yang sudah mulai hilang bahkan di tengah kota.
Ketika pelayan datang membawa piring besar, aku terdiam. Di depanku, seekor kepiting raksasa berwarna merah keemasan memenuhi seluruh piring. Capitnya sebesar tanganku. Uap panas dan aroma bumbu lada hitam menguar tajam, membuat semua mata tertuju ke meja kami.
“Bu Eva, itu bukan kepiting besar,” kata Dian sambil menahan tawa. “Itu raja laut.”
Kami semua tertawa keras, sementara aku hanya bisa menatap makhluk itu setengah kagum, setengah menyerah.
“Di Bandung, ukuran besar masih bisa dimakan sendiri,” kataku pelan. “Di sini sepertinya aku butuh bantuan masyarakat adat.”
Suasana makan malam itu jauh dari formal. Kami tertawa, saling bercerita, dan untuk sesaat melupakan banjir, data, serta peta. Seorang staf muda bercerita bagaimana di musim hujan, udang di sungai melimpah karena arus deras membawa makanan ke muara.
“Kalau air naik, rezeki juga ikut naik,” katanya sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk pelan, sambil memecahkan cangkang kepiting yang tebal. Di luar, rintik hujan kembali turun pelan, seperti ingin mengingatkan bahwa di tanah ini, air bukan ancaman, tapi bagian dari kehidupan.
Tawa kami pecah lagi, menembus suara hujan di luar. Malam itu, di sebuah kota basah di ujung timur Indonesia, aku merasa sesuatu yang sederhana: bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang peta dan tata ruang. Akan ada hal-hal kecil, tak terduga, yang membuat perjalanan ini hidup seperti hujan yang tak henti, dan kepiting besar yang menjadi tanda pertama bahwa aku benar-benar telah sampai di tanah Papua.
Malam itu, aku merasa Merauke tidak sekadar kota di ujung timur. Ia adalah ruang belajar tempat di mana manusia, air, dan tanah berbicara dengan caranya sendiri.
Dan di antara kepiting, tawa, dan bunyi hujan, aku mulai mengerti: menjadi perencana kota bukan hanya soal menata ruang, tapi juga menemukan irama hidup dari tempat yang baru mengenalmu.
(Lanjutan dari “Prolog – Hujan di Ujung Timur”)
Pagi berikutnya, langit Merauke tampak lebih cerah. Hujan semalam hanya menyisakan genangan tipis di tepi jalan dan embun yang menempel di kaca mobil. Kami bersiap check out dari hotel, meninggalkan kenyamanan bintang untuk perjalanan ke lapangan yang sesungguhnya, Distrik Ulilin, sekitar empat jam dari pusat kota.
Dari jendela kamar hotel, jalanan tampak lengang, hanya sesekali motor melintas menimbulkan cipratan air. Kami berangkat sekitar pukul delapan, setelah memastikan semua perlengkapan aman: GPS, kamera, peta dasar, dan logistik seperlunya. Dua mobil ganda disiapkan di halaman hotel bodinya sudah penuh lumpur sisa perjalanan kemarin, tanda bahwa medan di luar sana tak akan mudah. Koper-koper kecil ditumpuk di bak mobil double cabin yang sudah menunggu di halaman. Kabid dan dua staf dari Dinas PUPR kembali menemani kami. Kali ini mereka tampak lebih santai; sepatu bot menggantikan sepatu kulit, dan kemeja rapi diganti dengan jaket lapangan berwarna hijau lumut.
“Sekarang baru kita ke lokasi sebenarnya,” kata Kabid sambil tersenyum. “Di Ulilin, sinyal bisa hilang, tapi cerita selalu ada.”
Sopir kami, seorang pria Papua berperawakan kekar bernama Dominggus, tersenyum ramah sambil menyalami satu per satu.
“Kalau hujan begini, nanti di tengah jalan bisa main perahu sebentar,” ujarnya setengah bercanda. Kami tertawa, meski dalam hati sedikit waswas membayangkan apa yang menanti di jalan Trans Papua.
Kami berangkat selepas pukul delapan. Keluar dari kota, pemandangan berubah cepat. Gedung-gedung digantikan oleh hamparan rawa, sabana, dan deretan pohon sagu yang berdiri tenang di tepi jalan. Langit kelabu memantulkan warna hijau tanah basah sebuah harmoni yang hanya mungkin ditemukan di tanah yang hidup dari hujan. Jalan menuju Ulilin perlahan meninggalkan aspal dan berubah menjadi tanah merah yang lembap. Di kiri kanan terbentang padang luas dengan vegetasi savana khas selatan Papua rumput tinggi, pohon-pohon jarang, dan langit yang terasa begitu dekat.
Sesekali mobil berguncang saat melewati kubangan air sisa hujan, dan di beberapa titik, kami harus melambat karena jalan sebagian tertutup lumpur. Namun justru di situlah keindahannya. Semakin jauh dari kota, semakin terasa bahwa ruang di sini hidup dengan ritmenya sendiri. Tak ada bangunan tinggi, tak ada hiruk-pikuk hanya hamparan tanah luas dan suara mesin mobil yang berpacu dengan angin.
Dalam perjalanan, aku membuka kembali peta di pangkuanku. Di lembar itu, garis-garis biru sungai dan area rawa tampak seperti urat nadi yang menyatu dengan bentang alam. Setiap titik yang kulihat di peta kini mulai berwujud nyata: jembatan kayu kecil di atas sungai keruh, deretan rumah panggung di kejauhan, dan ladang-ladang yang baru dibuka.
Sekitar satu jam perjalanan, kami berhenti di PLBN Sotta, pos lintas batas antara Indonesia dan Papua Nugini. Di tempat ini, dua dunia bertemu tanpa tembok tinggi hanya pagar kawat dan papan bertuliskan “Selamat Datang di Indonesia.” Di seberang, bendera Papua Nugini tampak berkibar di antara pepohonan rendah.
Beberapa anak muda lokal menghampiri kami, menawarkan jasa foto berbayar di depan monumen perbatasan. “Sepuluh ribu saja, Bu, satu kali jepret,” katanya ramah. Aku mengangguk, menyerahkan uang sambil tersenyum. Ada sesuatu yang jujur dan polos dalam cara mereka mencari penghidupan. Tak jauh dari situ, ibu-ibu setempat menjual tas rajutan warna-warni dari serat alami. Aku membeli satu, dengan pola merah-hitam, sebagai kenang-kenangan kecil dari perbatasan yang tenang ini.
Sebelum kembali ke mobil, aku menatap ke arah hutan di sisi timur, mencoba membayangkan kehidupan di seberang sana kampung-kampung kecil di tanah Papua Nugini yang mungkin sama basah, sama sunyi, tapi berbeda bahasa dan cerita.
Kami melanjutkan perjalanan. Jalan mulai menanjak, berlumpur, dan di beberapa titik air mengalir seperti sungai kecil. Truk-truk pengangkut logistik terjebak di tengah genangan, ban belakangnya berputar sia-sia. Dominggus menurunkan gigi mobil, menatap lurus ke depan. “Pegangan, Ibu,” katanya singkat. Mobil berguncang keras, lumpur muncrat ke kaca depan, dan tawa spontan pecah dari kursi belakang. “Rasanya seperti off-road versi pemerintah,” seru Rino di tengah riuh suara mesin.
Sekitar tengah hari kami berhenti di sebuah warung kayu di pinggir jalan untuk makan siang. Menu hari itu sederhana: nasi putih, tumis daun pepaya, dan daging rusa goreng. Saat piring dihidangkan, aku terdiam sejenak. Daging rusa binatang yang bagi sebagian orang adalah satwa liar, tapi di sini bagian dari kehidupan sehari-hari.
“Dari hasil buruan?” tanyaku pelan. Pemilik warung, seorang ibu setengah baya, mengangguk.
“Ya, Ibu. Di sekitar hutan masih banyak. Kalau tidak makan rusa, nanti tidak kuat kerja.”
Ada kejujuran yang menenangkan dalam jawabannya. Sambil mengunyah pelan, aku berpikir tentang keseimbangan yang rapuh antara manusia dan alam bahwa di sini, kedekatan itu bukan romantisme, melainkan kenyataan hidup.
Setelah makan, perjalanan kembali dilanjutkan. Hujan turun lagi, kali ini lebih deras. Beberapa kali mobil harus berhenti karena jalan terendam. Di satu titik, air mengalir deras melintasi jalan, nyaris menyerupai sungai kecil. Sopir mobil depan turun untuk memastikan kedalaman air, sementara kami menunggu dengan jendela tertutup rapat. Hujan menghantam kaca seperti butiran pasir.
Perjalanan dilanjutkan ke arah timur. Sekitar dua jam kemudian, kami tiba di jalan Trans Papua, jalur utama menuju Ulilin. Hujan turun deras kembali, dan air mulai mengalir di permukaan jalan. Kabid memperlambat mobil. Di depan, genangan air panjang menutup jalan sejauh mata memandang. Di kiri kanan hanya rawa air mengalir pelan, tanpa batas jelas antara jalan dan tanah.
Kami berhenti di tepi genangan. Air berwarna coklat pekat, dalamnya sulit ditebak. Mobil dari arah berlawanan tampak berhenti juga di ujung sana. Kami saling menunggu, mengukur waktu dan keberanian. Kabid turun pelan, sementara suara hujan memukul atap mobil seperti genderang tanpa jeda. “Biasanya kami lihat dulu kendaraan lain lewat,” katanya. “Kalau truk bisa, berarti aman untuk kita.”
Beberapa menit kemudian, sebuah truk besar datang dari arah seberang. Kami semua menahan napas saat kendaraan itu masuk ke genangan air. Perlahan, roda-roda besar itu setengah tenggelam. Air naik sampai pintu, tapi truk berhasil melintas. Kabid tersenyum kecil. “Oke, berarti kita bisa juga. Tapi pelan-pelan saja.”
Mobil kami mulai bergerak. Suara mesin bergemuruh, air menampar bodi mobil dengan keras. Aku menatap keluar jendela hanya ada air sejauh pandanganku. Hujan turun semakin deras, dan dunia terasa menyempit menjadi ruang kecil berisi suara mesin, napas kami, dan aroma tanah basah. Sesaat aku merasa ngeri betapa kecilnya manusia di hadapan alam. Tapi juga kagum, karena di tengah semua itu, kami tetap maju. Tidak ada peta yang bisa menjelaskan pengalaman ini. Tidak ada koordinat yang mampu menggambarkan ketegangan antara air dan tanah, antara rencana dan kenyataan.
Setelah hampir satu jam menembus banjir, akhirnya air mulai surut. Jalan kembali terlihat, meski licin dan penuh lumpur. Kami bersorak lega, saling tersenyum dalam diam. Kabid tertawa, “Nah, itulah pengalaman pertama melintasi Trans Papua saat musim hujan. Tidak akan terlupa, ya Bu?” Aku mengangguk sambil menatap keluar jendela. “Tidak akan terlupa,” kataku pelan, “karena disinilah perencanaan berhenti menjadi teori dan berubah menjadi perjalanan.”
Suasana tegang berubah menjadi tawa ketika Dominggus memutar lagu reggae keras-keras dari ponselnya. “Supaya mobil semangat jalan,” katanya. Dan entah bagaimana, memang terasa: di tengah hujan, suara tawa dan musik itu membuat perjalanan terasa ringan.
Kami sempat berhenti di tepi jalan untuk beristirahat. Kabid menunjuk ke arah hamparan rawa di kejauhan. “Itu arah Ulilin. Tanahnya datar, tapi kalau hujan, air bisa naik cepat sekali. Karena itu kami butuh perencanaan matang, supaya pemukiman baru tidak terjebak di genangan.”
Aku mencatat kalimat itu di buku lapangan. Setiap komentar, setiap observasi, setiap aroma lumpur yang menempel di udara terasa penting. Karena di sinilah, rencana ruang bukan sekadar teori, tapi soal bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan alam.
Menjelang sore, kabut mulai turun. Di kejauhan, rumah-rumah kayu muncul di antara ladang dan pepohonan. Dominggus menoleh ke belakang sambil tersenyum, “Kita sudah dekat, Ibu. Itu Ulilin.” Kami tiba di Ulilin, sebuah distrik kecil dengan suasana hening, dikelilingi rawa, hutan, dan jalan tanah yang belum sempurna. Beberapa anak-anak melambaikan tangan ke arah mobil kami, seperti menyambut tamu dari dunia lain.
Aku turun dari mobil, menjejak tanah lembap yang masih menyimpan sisa hujan. Di kejauhan, anak-anak berlarian di pematang, dan suara jangkrik mulai terdengar. Aku menarik napas panjang. Langkah pertama di Papua kini terasa lengkap bukan hanya tentang sampai, tapi tentang bagaimana bertahan di antara air, tanah, dan waktu.
Aku menatap sekeliling ini benar-benar lapangan yang sebenarnya. Di sinilah, di antara tanah basah dan udara lembap, aku merasa peran seorang perencana kota diuji sepenuhnya.
Dalam hati aku menulis satu kalimat:
“Perencanaan sejati dimulai ketika peta berhenti menjadi kertas, dan berubah menjadi kenyataan di bawah kaki kita.”
Sebelum menuju ke tempat kami akan tinggal, kami berhenti sejenak di sebuah persimpangan kecil. Di sana, aroma durian menyeruak kuat dari tumpukan buah yang dijajakan di atas meja kayu sederhana. “Coba, Bu, durian Papua beda rasanya,” ujar Dominggus sambil tersenyum lebar.
Kami pun duduk di bangku panjang di bawah tenda plastik, menunggu buah dibelah. Padahal kalau di Bandung, durian sudah sering kami makan dan terasa biasa saja. Tapi entah mengapa, di tanah Papua rasanya berbeda manisnya lebih pekat, udaranya lebih lembab, dan suasananya lebih akrab. Candaan sopir dan pedagang durian yang bercampur dengan logat khas mereka membuat suasana sore itu terasa ringan dan hangat.
Tawa kami bercampur dengan aroma buah dan udara hujan yang mulai reda. Momen sederhana itu seulas durian di pinggir jalan, di antara kabut dan lumpur menjadi kenangan kecil yang tak akan terlupakan dalam perjalanan panjang ke perbatasan selatan Papua.
Kami lalu melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, mobil berhenti di halaman rumah keluarga transmigran Jawa yang menjadi tempat kami bermalam. Rumahnya sederhana tapi hangat..
Di sana kami disambut oleh keluarga transmigran Jawa yang sudah tinggal lebih dari dua dekade. Rumahnya sederhana tapi hangat. Sebuah rumah transmigran yang sudah direnovasi, namun masih mempertahankan bentuk aslinya. Lantainya dari semen abu-abu yang terasa dingin saat disentuh kaki, dindingnya dari papan yang mulai menghitam di beberapa sudut.
Saya pergi ke kamar mandi, ruang kecil dengan tembok semen kasar dan bau lumut yang lembab. Bak mandinya besar, berlantaikan semen, khas kamar mandi pedesaan yang sederhana dan jujur. Airnya dingin, seperti baru diambil dari sumur belakang rumah. Dapurnya luas, tapi sebagian lantainya masih berupa tanah merah yang mengering tidak rata. Di sudut dapur, tungku batu masih digunakan, dan aroma kayu bakar menyatu dengan bau asap dan tanah basah.
Tuan rumah kami, seorang bapak berusia lima puluhan, bercerita bahwa ia datang ke Ulilin sejak dua puluh tahun lalu, bersama rombongan transmigrasi gelombang pertama. “Dulu waktu datang, belum ada jalan, Bu,” katanya sambil tersenyum kecil. “Kalau mau ke Merauke, jalan kaki dua hari, baru naik perahu.” Aku mendengarkan dengan takzim di wajahnya tersimpan keteguhan yang jarang terlihat di kota, keteguhan orang-orang yang membangun kehidupan di tanah baru dengan sabar, kerja keras, dan keyakinan sederhana bahwa hujan bukan penghalang, melainkan anugerah.
Malam itu, kami duduk di beranda, menatap halaman berlumpur yang diterangi lampu. Dari kejauhan terdengar suara katak dan jangkrik bersahutan, seperti paduan suara malam di pedalaman Papua. Aku membuka buku catatan dan menulis satu kalimat yang rasanya cukup mewakili semuanya:
“Di tanah hujan ini, setiap langkah terasa berat, tapi setiap tetes air seperti doa menegaskan bahwa perjalanan ini bukan sekadar tugas, melainkan cara lain untuk mengenal Indonesia dari pinggirannya.”
Malam turun perlahan. Di luar, suara katak bersahutan, berpadu dengan denting hujan yang kembali turun pelan di atap seng. Lampu minyak di meja makan memantulkan cahaya kekuningan yang lembut. Kami duduk bersama di beranda, menikmati teh panas dan biskuit seadanya, sambil berbincang ringan tentang cuaca, kebun, dan jalan yang esok harus ditempuh.
Malam itu, kami membagi kamar seadanya. Saya kebetulan sekamar berempat dengan rekan-rekan perempuan, sementara yang laki-laki tidur di ruang tamu, beralaskan tikar pandan dan berselimut jaket lapangan. Tidak ada keluhan, hanya tawa kecil dan cerita singkat sebelum tidur. Entah karena lelah atau karena suasana yang damai, kami semua cepat terlelap di bawah bunyi hujan yang kembali turun pelan
Di tengah keheningan malam pedalaman itu, aku menulis di buku kecilku:
“Mungkin begini rasanya menjadi perencana di perbatasan belajar dari mereka yang tinggal paling jauh dari pusat, tapi justru paling dekat dengan makna bertahan. Di sini, ruang tidak diukur dari peta, melainkan dari napas dan kesabaran. Dan hujan, yang di kota sering dianggap gangguan, di tanah ini justru menjadi tanda kehidupan.”
Hujan di tanah Papua bukan sekadar cuaca ia adalah cara alam menguji, menyapa, dan memeluk. Setiap tetesnya membawa pesan diam-diam: bahwa perjalanan ini tidak hanya tentang menemukan lokasi, tetapi juga menemukan makna.
Malam itu aku menutup buku catatan, menatap keluar jendela. Di kejauhan, kabut bergeser perlahan, dan samar-samar terdengar suara air menetes dari atap ke tanah. Di tanah hujan ini, perjalanan baru saja dimulai. Di bawah suara hujan yang tak berhenti sejak pagi, aku menutup hari dengan rasa syukur. Hujan yang turun seolah menjadi simbol ujian pertama dan sekaligus penyambutan dari alam Papua. Tanah ini hidup dengan cara yang berbeda, dan mungkin, untuk memahami Papua, seseorang harus lebih dulu belajar membaca hujan.
Kreator : Eva Siti Sundari (evoy1972)
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Bab 1 Kedatangan di Tanah Hujan
Sorry, comment are closed for this post.