KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bab 1 – Resign & Mengikuti Suami

    Bab 1 – Resign & Mengikuti Suami

    BY 03 Okt 2025 Dilihat: 28 kali
    Resign & Mengikuti Suami_alineaku

    Aku tumbuh sebagai anak prajurit. Dari kecil aku sudah terbiasa melihat bagaimana hidup keluarga prajurit berjalan – pindah tugas, disiplin, dan penuh kejutan. Mungkin itu juga yang membuatku dulu bercita-cita menikah dengan seorang prajurit, bahkan bermimpi bisa melewati prosesi pedang pora di hari pernikahanku. Tapi, Allah selalu punya cara-Nya sendiri.

    Waktu itu aku malah jatuh cinta pada seorang calon dokter. Aku masih ingat komentar pertama Papa ketika dikenalkan. 

    “Kalau sama dokter, nggak bisa pedang pora loh…” katanya setengah bercanda. 

    Aku hanya bisa tersenyum, menelan bulat-bulat kenyataan bahwa mimpi kecilku seolah buyar. Tapi, ternyata Allah Maha Mendengar. Di tahun 2016, aku tetap digandeng erat oleh seorang dokter yang juga seorang prajurit. Di bawah payung pedang pora, mimpi kecil itu Allah wujudkan dengan cara yang lebih indah.

    Sebelum menikah, aku sudah menapaki jalan karirku sendiri. Lulus sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat, aku bekerja di lapangan, bertemu banyak orang, dan merasa puas karena bisa belajar banyak hal. Aku juga melanjutkan kuliah magister sambil tetap bekerja. Hingga akhirnya aku benar-benar menemukan passion saat menjadi dosen. Mengajar, berdiskusi dengan mahasiswa, dan meneliti, membuatku merasa inilah tempatku. Bahkan, seorang profesor dari Perth, Australia pernah menawarkan beasiswa S3. Bagiku, itu kesempatan emas.

    Tapi di saat yang sama, kehidupan pernikahan mengajakku ke arah yang lain. Suamiku harus bertugas di Manokwari, Papua Barat. Pilihan sulit itu pun datang: melanjutkan studi ke Australia atau ikut suami ke tanah yang bahkan tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku masih ingat, banyak orang yang menyayangkan keputusanku. 

    “Sayang banget, Cha. Kesempatan itu nggak datang dua kali,” begitu kata mereka. 

    Tapi, hatiku mantap. Aku percaya, rezeki seorang istri ada pada keberkahannya mengikuti suami. Aku memilih untuk ikut, meski berarti harus meninggalkan semua kenyamanan karier dan peluang yang sudah di depan mata.

    Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Manokwari, aku bahkan tersenyum sendiri. Aku yang lahir dan besar hanya di satu kota, tiba-tiba harus belajar hidup di pulau paling ujung Indonesia.

    Teman-temanku pun berkomentar, “Papua, Cha? Jauhnya…” 

    Tapi, entah mengapa aku tetap tenang. Aku selalu percaya, kalau niatnya berbakti pada suami, pasti Allah siapkan rezekinya sendiri.

    Di RSAL Manokwari, aku sempat bekerja membantu akreditasi rumah sakit. Tapi, hidup sebagai istri tentara itu penuh kepindahan. Belum genap setahun, suamiku ditugaskan lagi ke Batam, lalu ke Jakarta. Setiap kali aku baru menata langkah, ada saja mutasi baru. Sampai akhirnya aku sadar, mungkin inilah cara Allah mengajakku berhenti sebentar dari dunia kerja yang menuntut banyak waktu, lalu beralih pada sesuatu yang lebih fleksibel: mendampingi suami, mengurus rumah, dan perlahan merintis usaha sendiri.

    Hijrahku dimulai dari sini. Dari yang dulu mengejar pencapaian duniawi, berubah menjadi orientasi untuk akhirat. Aku belajar melepaskan sesuatu yang aku suka, untuk sesuatu yang Allah sukai. Aku belajar bahwa tak semua doa dijawab dengan cara yang kita mau, tapi selalu dijawab dengan cara terbaik menurut-Nya.

    Kini aku melihat ke belakang, dan aku tahu: memilih ikut suami ke Papua, meninggalkan tawaran S3, bahkan meninggalkan peluang jadi dosen di universitas ternama, adalah bagian dari perjalanan berhijrahku. Aku ingin hidupku bukan hanya tentang prestasi dan gelar, tapi tentang ridho Allah dan keberkahan keluarga. Karena itu, bagiku hijrah adalah ketika orientasi hidupku berubah. Dari ingin “punya banyak pencapaian” menjadi ingin “punya banyak alasan untuk pulang ke surga bersama orang-orang yang kucintai.”

     

    Bab 2 – Empat Tahun Penantian

    Setelah menikah, aku dan suami sama-sama menaruh harapan besar untuk segera diberi keturunan. Tapi perjalanan itu ternyata tidak semudah yang kami bayangkan. Tahun demi tahun berlalu, doa demi doa dipanjatkan, usaha demi usaha ditempuh.

    Ada momen-momen ketika aku merasa lelah sekali. Setiap kali tamu bulanan datang, aku menangis diam-diam. Pernah suatu hari, beberapa hari sebelum tahu akhirnya hamil, aku berkata pada suamiku: “Gapapa kalau Allah tidak kasih aku anak di dunia. Mungkin lewat ini Allah sedang menyiapkan aku supaya pantas jadi hamba-Nya yang masuk surga. Karena masuk surga itu berat, butuh pengorbanan besar. Semoga ini Allah catat sebagai pengorbananku.” Suamiku bahkan sempat merekam ucapanku itu, supaya suatu hari kalau aku sedih lagi, dia bisa memutarkan video itu sebagai pengingat.

    Kami sempat menjalani banyak ikhtiar medis, termasuk laparoskopi di awal 2018. Ada masa ketika garis samar di test pack sempat muncul, hanya untuk kemudian hilang lagi. Rasanya hati ini seperti jatuh berkali-kali. Tapi aku belajar, sabar itu bukan sekadar menunggu. Sabar itu adalah tetap yakin pada janji Allah, meski belum terlihat hasilnya.

    Aku pun mencoba memperbaiki pola hidup. Menjalani gaya hidup sehat ala Rasulullah, memperbaiki ibadah, menjaga pikiran, dan terus berdoa. Dan akhirnya, di September 2019, Allah menghadiahkan dua garis tegas yang tak pernah kulihat sebelumnya. Dua garis itu membuat seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Aku menangis bahagia. Aku tidak pernah menyangka, inilah skenario yang Allah tuliskan untukku.

    Kehamilan itu pun datang di waktu yang begitu pas. Qadarullah, aku sedang berada di Surabaya, hanya beberapa minggu sebelum jadwal penutupan pendidikan suami. Aku benar-benar bisa merasakan bahwa semua ini sudah Allah atur dengan sangat tepat.

    Yang membuatku tersenyum lagi, setiap kehamilan punya ceritanya sendiri. Saat anak pertama, aku tidak merasakan mual atau muntah seperti cerita banyak orang. Aku hanya ngidam sederhana: nasi putih hangat dengan telur ceplok. Sementara di kehamilan anak kedua, aku jadi sering mencari nasi ramas Padang. Rasanya lucu, betapa detail-detail kecil seperti itu pun menjadi kenangan berharga.

    Kini ketika mengingat kembali masa penantian empat tahun itu, aku baru menyadari: Allah tidak pernah salah waktu. Ia tahu kapan yang terbaik. Mungkin kalau aku langsung diberi anak di awal pernikahan, aku tidak akan belajar arti sabar, ikhlas, dan tawakal sedalam ini. Penantian itu bukan hukuman, tapi jalan untuk membersihkan hati. Dan ketika akhirnya Allah titipkan amanah itu, rasanya semua luka terobati.

     

    Bab 3 – Saat Allah Menitipkan Amanah

    Ada satu kalimat yang selalu terngiang di telingaku sejak dua garis tegas itu muncul: “Allah menitipkan amanah.” Bukan sekadar kabar gembira, bukan hanya doa yang terjawab, tapi sebuah amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban.

    Hari itu, aku menatap test pack berulang kali. Tanganku gemetar, air mataku tidak berhenti mengalir. Setelah empat tahun menunggu, akhirnya Allah percayakan sebuah kehidupan kecil di rahimku. Aku langsung teringat semua doa yang pernah kuucapkan, semua air mata yang pernah jatuh, semua momen ketika aku hampir menyerah. Dan ternyata, Allah tidak pernah meninggalkan. Ia hanya sedang menunggu waktu yang paling tepat.

    Perasaanku campur aduk. Ada rasa bahagia, haru, takut, juga tidak percaya. Bahagia karena doa panjang itu akhirnya terjawab. Haru karena Allah memilihku menjadi seorang ibu. Takut karena aku sadar, menjadi ibu bukan sekadar melahirkan, tapi juga mendidik, menjaga, membimbing hingga kelak harus menyerahkan anak ini kembali kepada Allah dalam keadaan sebaik-baiknya.

    Alhamdulillah, masa kehamilanku berjalan lancar. Aku tidak mengalami mual-mual berlebihan, tidak ada muntah yang membuatku lemah seperti cerita banyak orang. Aku bisa tetap beraktivitas dengan tenang. Hanya saja, setiap kehamilan punya kisah uniknya. Di anak pertama aku selalu mencari nasi putih hangat dengan telur ceplok—sederhana sekali. Sementara di anak kedua, tiba-tiba aku sering mengidam nasi ramas Padang. Sampai sekarang pun setiap kali mencium aroma nasi Padang, aku tersenyum sendiri, teringat masa itu.

    Ketika akhirnya hari persalinan tiba, aku pun kembali diuji. Melahirkan bukan hal yang mudah. Meski ditangani langsung oleh dokter obgyn, tetap saja itu adalah perjuangan antara hidup dan mati. Tapi justru di situ aku merasa semakin dekat dengan Allah. Setiap tarikan napas, setiap rasa sakit, setiap detik yang terasa begitu panjang—semuanya membuatku sadar betapa kecilnya aku, betapa bergantungnya aku pada kekuatan-Nya.

    Dan begitu suara tangisan pertama itu terdengar… seketika semua rasa sakit hilang. Yang tersisa hanyalah syukur. Syukur karena aku masih diberi kesempatan hidup, syukur karena Allah mempertemukanku dengan titipan yang selama ini aku nantikan, syukur karena rumah tangga kami kini semakin lengkap dengan hadirnya seorang anak.

    Saat itu aku berjanji pada diriku sendiri: aku tidak boleh main-main dengan amanah ini. Anak bukan hanya milikku atau milik suami, tapi milik Allah yang hanya dititipkan sementara. Aku harus menjaga, merawat, mendidik, dan membesarkannya dengan sebaik-baiknya.

     

     

    Kreator : Khairunnisa

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bab 1 – Resign & Mengikuti Suami

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]

      Okt 21, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021