Warna jingga menghias langit senja pertanda hari bersiap menyambut kegelapan. Burung-burung hilir mudik kembali ke peraduan. Angin berhembus lembut membawa kenyamanan, mengusir penat setelah seharian beraktivitas. Perlahan wajah lelah terhapus oleh hangatnya sambutan keluarga. Perkara lumrah realita kehidupan hangat sebuah keluarga, namun hal itu tidak berlaku bagi pemuda bernama Adipati Wira. Tubuh lelahnya disambut wajah masam sang pujaan hati, padahal ia ingin merasakan hangatnya senyuman manis adik sepupunya itu.
Menghela napas, kaki jenjang Wira mengikuti pergerakan Ata melewati ruang tamu, memasuki ruangan lain di samping ruangan tersebut. Sebuah ruangan yang berisi sofa tunggal berhadapan dipisahkan meja kayu kecil, satu sofa panjang menghadap televisi layar datar di atas meja kayu menempel tembok. Di belakang televisi adalah kamar kedua orangtuanya. Satu set meja makan dengan 6 kursi kayu tertata rapi di belakang sofa panjang. Dua pintu kamar berjajar dipisahkan tembok selebar setengah meter di samping ruang santai. “Mbok ya, aku disambut pake senyuman manis biar segeran dikit. Kamu itu, lho, kaya istri lagi ngambek kurang jatah duit.” Langkah Wira terhenti begitu gadis di depannya berhenti, berbalik menatapnya tajam. Duh! Kapan coba bisa berumah tangga biar bisa menikmati dengan leluasa hubungan spesial antara dirinya dan juga sang pujaan hati. Ekspresi Ata itu menggemaskan meski sedang marah. Mata bulatnya melebar, wajahnya sedikit memerah, hidung mungilnya kembang kempis, bibir tipisnya sedikit maju. “Yuk, ke KUA!”
“Mas Wira!”
Wira meringis kecil melihat mata memerah Ata. Niat hati ingin bercanda malah membuat kemarahan gadis itu semakin menjadi. menggaruk kepala yang tidak gatal, mata hitamnya menatap punggung Ata yang menghilang dari pandangan, memasuki area dapur. sepertinya hal yang berhubungan dengan berumah tangga tidak harus dibuat bercandaan, musti diseriusin. Mungkin besok sore setelah kedua orangtuanya pulang, dia langsung meminta restu untuk meminang Ata.
Mengangkat bahu, pemuda jangkung itu membuka salah satu pintu di sampingnya, berjalan lurus ke arah lemari dua pintu, mengambil baju ganti. Seharian menggantikan tugas sang Ibu membuatnya kehilangan waktu untuk bermain-main di malam hari. Memang setiap kali kedua orangtuanya ada acara, tugasnya adalah mengawasi persawahan. Sayangnya hanya tugas bapaknya saja yang tidak bisa digantikan olehnya. Maklum dirinya hanya tamatan SMA. Bukan kedua orangtuanya tak mampu menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi, namun kekeraskepalaannya membuat keduanya orangtuanya menyerah. Mana mungkin dirinya meninggalkan desa di saat ia mengerti benar jika praktek perdukunan masih marak di sekitarnya. Jika tidak ada unsur pertumbuhan manusia, dirinya pasti tidak akan menolak untuk melanjutkan sekolah.
Wira menghentikan langkahnya saat akan menuju kamar mandi di belakang dapur. Sepasang matanya menatap punggung Ata yang masih sibuk menyiapkan makan malam. Gadis itu adalah gambaran sempurna pendamping hidup baginya. Secantik apapun kembang desa, tidak akan bisa mengalahkan kecantikan Ata di matanya.
***
Malam merayap dalam senyap. Suara nyanyian binatang malam pun tak terdengar. Awan gelap berarak menyembunyikan kerlap kerlip hiasan langit di kala malam menjelang. Satu pikiran ramai memperebutkan prioritas utama untuk sebuah penyelesaian. Antara dendam atau kepentingan banyak orang. Rasa hati gatal ingin menghentikan kelakuan Kirani yang makin meresahkan. Di sisi lain dirinya sangat ingin memberi pelajaran pada orang yang telah melenyapkan dua orang yang berharga dalam hidupnya. Andai bisa melakukannya secara bersamaan, tentu akan dilakukan. Sayang … tenaganya tidak akan sampai jika harus mengurus dua musuh sekaligus.
Menghela napas, tubuh lelahnya berbalik terlentang menatap langit-langit kamar. Bibirnya terbuka memanggil salah satu bawahannya, “Rewanda.”
“Saya, Tuan.”
Wira mendudukkan diri di atas ranjang, menoleh ke samping menatap Rewanda dalam penampakkan manusianya. “Cari tahu tentang Kirani. Aku ingin tau dari dukun mana dia berasal.”
“Baik, Tuan.” Rewanda menghilang dalam sekejap dari ruangan tuannya. Tujuannya langsung ke sebuah rumah sederhana dengan susunan bata tanpa penutup semen sebagai pelindungnya. Rumah itu nampak sepi dikarenakan sang penghuni sedang terlelap. Meski terlelap, namun peliharaannya masih aktif memasang penghalang di sekitar rumah tersebut. Karenanya ia hanya bisa menatap bangunan di depannya tanpa ingin bertindak tanpa persetujuan tuannya. “Tuan Wira, rumahnya terhalang sihir pelindung.” Rewanda mengirim telepati pada tuannya, menunggu perintah selanjutnya.
“Terobos saja. Aku tau jika penjaga kirani bukanlah jin yang kuat.”
“Baik, Tuan.” Bibir berkumis tipis Rewanda mulai bergerak membaca mantra untuk melenyapkan pelindung di rumah Kirani. Namun belum juga usai, suara layaknya seorang gadis menginterupsinya.
“Tidak usah bertindak layaknya maling. Jika kamu ingin mengetahui sesuatu, akan kuberi tau.”
Rewanda mendongak menatap penampakkan seorang gadis yang ia kenali benar sedang berdiri di pinggiran atap rumah. “Haruskah aku mempercayai musuhku sendiri?”
“Percaya atau tidak, aku lebih takut pada tuanmu daripada tuanku. Aku juga memiliki alasan sendiri untuk berbagi informasi.”
Rewanda melompat menjauh saat tiba-tiba gadis bergaun merah selutut tiba-tiba muncul di depannya. Ia tidak menyukai gadis sebangsanya itu akibat pernah berusaha menyerang tuannya dengan ilmu sihir pengikatnya. Beruntung tuannya bukanlah orang lemah dalam hal ilmu ghaib.
“Hahaha, tidak usah sok menjauh. Aku tidak akan memakanmu.”
Rewanda mengendurkan otot wajahnya, bersikap biasa saja menghadapi gadis di depannya, namun tak serta merta mengendurkan kewaspadaannya. “Beri aku sebuah alasan kuat untuk mempercayaimu.”
“Aku mencintai tuanmu.”
Rewanda membuka mulutnya lebar. “Hah!?” Rasa terkejutnya membuatnya lupa jika dirinya sedang berhadapan dengan musuh. “Kamu tau, ‘kan, Tuan Wira itu manusia.”
“Aku tau batasanku sebagai makhluk berbeda dari tuanmu, makanya aku hanya bisa menikmati wajah tampannya saat Sri sedang mencari perhatian Wira.”
Kening Rewanda berkerut dalam saat mendengar nama asing di telinganya. “Siapa Sri?” tanyanya heran.
“Ini adalah informasi yang akan kuberikan padamu. Kirani adalah namaku, bukan nama gadis yang selama ini kujaga. Nama gadis itu adalah Sri Lestari, putri dari pasangan yang dibakar hidup-hidup oleh warga di desa ini 15 tahun lalu. Kamu bisa melihat wajah aslinya, bukan? Luka bakar itu adalah akibat dari gadis itu sempat mendekati kedua orangtuanya. Wajahnya sempat terkena hantaman tangan ayahnya. Beruntung gadis itu diselamatkan oleh warga dan diboyong pamannya ke desa sebelah.”
Rewanda menyimpan segala informasi yang didapatkannya. Entah ini sebuah kebenaran atau tidak, namun ia berusaha untuk menghindari perkelahian antar sesama jika memang tidak diperlukan. Harusnya ia masuk, mengambil informasi dari gadis di dalam sana dengan cara membaca pikiran gadis itu. Namun sekali ini ingin mempercayai makhluk sesamanya selain sahabat bodohnya. “Lalu untuk tujuan apa gadis itu kembali?”
“Membalas dendam pada desa ini dengan cara memanipulasi pikiran para pemuda desa, menyesatkan siapa saja yang terjerat olehnya, kemudian menghancurkannya secara perlahan. Beberapa pemuda yang terjerat sudah dijadikan tumbal oleh pamannya sebagai syarat untuk mendapatkan ilmu yang lebih tinggi lagi.”
“Apakah paman dari Sri juga yang mengganggu ketenangan kekasih tuanku?”
Kirani langsung memasang wajah tak suka saat mendengar kata ‘kekasih’ yang dimaksudkan oleh Rewanda. Ia merasa wajahnya lebih cantik dari gadis desa itu, tapi Wira malah lebih memilihnya. Ia merasa lebih kurang menarik dibandingkan gadis berpenampilan biasa saja seperti Ata jika memikirkan kenyataan yang ada. “Benar. Itu saja yang bisa kuberitahu. Pulanglah.” Nada bicara Kirani berubah ketus sebelum meninggalkan Rewanda yang tak memahami situasi sang gadis.
Merasa informasi yang didapatkan sudah cukup, Rewanda kembali pada tuannya dan memberi segala informasi yang didapatkannya.
Sedangkan Wira yang mendapatkan segala informasi yang saling terhubung antara kejadian yang terjadi selama ini mulai dapat mengurangi rasa gundahnya akan keputusannya esok. Meski begitu, pemuda itu masih saja merasa ragu untuk memberi pelajaran pada orang yang berani mengusik ketenangannya. Masalah lain pasti akan muncul jika dirinya berhasil dalam aksinya. Kemungkinan besar, efeknya akan berimbas pada si pengguna ilmu hitam itu sendiri. Belum efek yang akan menimpa gadis bernama Sri itu akan terlihat jelas di mata para penduduk di sekitarnya.
TBC.
Kreator : Lastri
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: BAB 11 jinjang
Sorry, comment are closed for this post.