KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » BAB 12 jinjang

    BAB 12 jinjang

    BY 18 Sep 2024 Dilihat: 15 kali
    Jinjang1_alineaku

    Hari telah berganti, meski dalam hitungan jam, namun dalam rentang waktu itu tak mampu menghapus rasa kesal di hati gadis yang hampir menginjak 18 tahun bernama Ata. Wira pikir semalam hujan turun yang disertai angin kencang bisa menghapus rasa itu. Nyatanya, sekarang si gadis masih memasang wajah masam.

    “Nanti nasi gorengnya gak enak kalo masaknya pake muka cuka gitu.”

    Sembari membenarkan kerah kemeja, pandangan pemuda usil itu masih terpaku pada wajah sepupunya yang sibuk membuat sarapan sambil memasang wajah datar.

    “Gak masak buat Mas Wira!”

    Muka garang si gadis tak mematahkan semangat pemuda jangkung itu untuk terus menggodanya. 

    “Terus, Mas makan apa?” 

    Rasa melilit di perut terasa ketika mata coklat Wira melirik isi wajan dari balik punggung sepupunya. Nasi goreng telur, suwir ayam, makanan kesukaan. Tanpa diminta, pemuda itu mengambil piring dalam lemari kaca di samping meja kompor.

    “Sisain buat makan siang, ya!” 

    Bukan hanya piring, satu rantang kosong pun dibawa ke arah Ata. 

     

    Meski masih kesal dengan ulah kakak sepupunya, gadis berambut sepunggung itu tetap mengisi dua piring, serta satu rantang dengan nasi goreng buatannya. 

    “Buat Pak Apta mana?” Mata bulat itu melirik sinis pemuda di sampingnya. “Memangnya Mas Wira aja yang butuh makan!”

    Melangkah enggan, Wira kembali mengambil satu piring. “Gak pake makan di sini, ‘kan, kayak kemarin?”

    “Ih, jangan dibikin repot! Kasian Pak Apta!”

    Wira mendengus, menyerahkan piring di tangannya, kemudian berlalu pergi keluar. Sesampainya di depan rumah, tanpa repot-repot menggunakan kakinya untuk menghampiri sahabatnya, pemuda itu memanggil tetangga sebelah. 

    “Apta! Sarapan!”

    Apta yang sedang mengeluarkan sepeda motor dari dalam rumah, sedikit berjengit kaget. Wira memang sesuatu. Pasti hatinya sedang diliputi kegundahan.

    Pemuda berkulit sawo matang itu mendelik ke depan pintu rumah Kepala Desa, dimana sahabatnya sedang menatap dirinya seolah hendak mengajak berkelahi begitu menginjakkan kaki di teras rumahnya. 

    “Masih pagi, Wir!” celetuk Apta memperingatkan. “Mbok, ya, ingat bertetangga.” 

    Apta mendorong sepeda motornya sampai pelataran jalan berubin selebar satu meter depan rumahnya. Menurunkan standar satu untuk menahan sepeda motornya agar tidak roboh. 

    “Urusan rumah tangga, nggak ngurusin tetangga!”

    Apta menggeleng mendengar ucapan Wira. Kakinya melangkah memutari pagar perdu, menapaki jalan bersemen di pelataran rumah Kepala Desa. Sah saja belum, masih mimpi di saat baru terbangun dari mimpi. 

    “Ibu bakalan nangis kejer denger omonganmu.” Apta mengekor sahabatnya menuju ruang makan yang menyatu dengan ruang santai. 

    “Assalamu’alaikum, Ata.”

    “Wa’alaikumussalam, Pak Apta.”

    Wira mendelik ke arah Apta yang sedang menarik kursi. “Kamu nggak ngucapin salam pas ketemu aku! Kok, ketemu calon istriku sok manis!”

    “Mas Wira!” Ata mencoba mengingatkan.

     

    Apta acuh akan ucapan sahabatnya. Ia tidak akan tersinggung dengan ucapan yang keluar dari mulut Wira. 

    “Sebagai sahabat, aku mendukung Wira. Jika seseorang serius padamu, pertimbangkan, Ta. Pikirkan bebet, bobot, dan bibitnya.”

    Senyum tipis mengembang di bibir Wira. Rasa bahagia menyelimuti hati kala sahabatnya mendukung usahanya untuk mendapatkan sang sepupu.

    “Kalau Wira itu bobotnya sedang, bibitnya tentu saja nilai tambah, cuma bebetnya aja yang kurang mumpuni.”

    Raut muka menawan Wira mendadak berubah keruh, “Kalo bukan teman, udah kupithes kamu!”

    Ata tergelak mendengar ucapan guru matematika-nya itu. 

    “Pak Apta bener. Mana ada istri mau suaminya nganggur tiap hari.”

    Meski ucapan seorang sahabat terdengar mengejek, namun baginya, Apta selalu saja bisa membuat suasana menjadi cair kembali. Ia senang melihat wajah masam sang adik sepupu kembali manis seperti sedia kala.

     

    ***

    Di kala menjelang malam, bak manantang maut, pemuda dengan segala kepercayaan dirinya yang tinggi mematikan layar televisi yang sedang dinikmati oleh perempuan paruh baya berstatus ibunya. Gadis pujaan hati, seperti biasa, sedang belajar untuk ujian akhir. Sang kepala keluarga asyik bermain ponsel pintarnya, melayani rekan kerja.

    “Kok dimatiin?” protes wanita berambut ikal sepunggung di samping Wira. Rambut yang biasa tergelung rapi, kini terikat rendah. Mata memicing, menambah kerutan kulit di bawah mata. 

    “Balikin remotnya!”

    Tama, selaku kepala keluarga mulai meninggalkan aktivitasnya, menatap keduanya dengan perasaan cemas. Biasanya kalau ibu-ibu diusik ketenangannya, maka berakhir dengan situasi yang menakutkan melebihi ajang uji nyali. 

    “Wir, balikin.” Sepasang mata Tama mengintimidasi sang putra. Meski terkenal ramah, tapi untuk urusan istri tercinta, anak pun jadi nomor kesekian. 

     

    “Bentar aja, Bu. Anak ganteng mau ngomong serius.” Wira meletakkan remot dalam genggaman ke atas meja. Wajah serius dipasang agar mendapat perhatian kedua orang tuanya.

    “Ngomong apaan? Cepet! Nanti sinetronnya habis!”

    Kedua tangan pemuda berambut coklat itu meraih salah satu tangan Sang Ibu, menggenggamnya lembut, 

    “Pak … Bu ….” Wira menarik napas dalam, mengeluarkan perlahan. “Wira serius sama cewek. Cantik, Bu. Nanti kalo udah lulus sekolah, mau tak lamar.”

    Baik Tama maupun Ningrum menatap putra mereka dengan bibir terbuka lebar. Sejenak merasa syok, sesaat kemudian keduanya mulai menanggapi ucapan sang putra dengan serius.

    “Ehem! Kalau serius bapak setuju saja, tapi kamu mesti serius nyari kerjaan.” 

    Wira mengangguk mantap. “Wira bisa kerja sama Ibu. Jadi pegawai juga nggak pa-pa.”

    Tersenyum senang, Ningrum menatap haru putranya, “Ibu sih setuju saja. Asal kamu serius. Memangnya anak siapa yang bikin kamu mau serius gini?”

    “Almarhum Adityama Pambudi dan almarhumah Hanum Tias.”

    Jawaban mantap Sang Putra tak mendapat tanggapan serius dari kedua orang tuanya. Keduanya kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Jika Tama kembali menatap layar ponselnya, maka Ningrum menarik tangan dari genggaman putranya, hendak meraih remot, namun urung saat mendengar nada serius Wira.

    “Aku serius ini, masa dianggap lelucon. Pokoknya aku tuh nggak rela Ata sama orang lain!” Dengan napas sedikit memburu akibat kesal ucapannya dianggap lelucon, Wira berusaha meyakinkan kedua orang tuanya bahwa dirinya serius dengan ucapannya. 

    “Aku nggak percaya orang lain bakal menjaga Ata dengan baik. Aku udah suka Ata sedari dia masih SMP!”

    “Mbok, ya, kira-kira tho, Wir! Ata masih adik sepupumu. Nanti apa kata tetangga. Kalian hidup seatap, nanti dikiranya kalian ngapa-ngapain, trus kita dianggap tutup mata!”

    Sifat keras kepala Wira kembali menguasai pikirannya. Rasanya tidak benar, jika kesungguhannya dianggap suatu keburukan. “Nggak ada urusan sama tetangga, Bu. Ini urusan hidupku, bukan hidup tetangga!”

    “Wira! Bukan masalah urusan tetangga atau bukan. Kamu gak mikirin perasaan Ata? Bagaimana jika tetangga juga berprasangka buruk sama adik sepupumu? Kalo kamu bisa acuh, bagaimana dengan Ata? Kamu udah dewasa, mikirnya juga harus seperti orang dewasa.”

    Wira menggeleng tak menyetujui. “Justru karena aku berpikir dewasa, aku memikirkan masa depan Ata. Pokoknya aku nggak percaya sama orang lain untuk menjaga Ata!” Bangkit dari posisinya, Wira melangkah memasuki kamarnya yang bersebelahan dengan kamar sang adik sepupu.

    Sepeninggal putra mereka, keduanya terdiam memikirkan bagaimana bisa mereka kecolongan seperti ini. Didikan lembek yang mereka terapkan mungkin menjadi pemicu putra mereka bertindak seenaknya tanpa memikirkan akibat kedepannya.

    Sedangkan Ata yang sedari tadi penasaran dengan keributan keluarga dari kakak Ayahnya, mencuri dengar. Gadis itu menunduk merasa bersalah. Antara ingin menyetujui ucapan Wira atau kedua orang tua pemuda itu. Jika dipikir-pikir lagi, ia tak memiliki pengalaman dengan laki-laki lain selain Wira atau Apta. Hanya dua laki-laki itu selain dari keluarganya lah yang menjadi teman dekatnya. Namun, perkataan kedua orang tua Wira juga ada benarnya. Tidak semua orang memandang suatu keadaan dengan pandangan yang sama. Pasti ada pihak, pro, kontra, dan netral. Memilih pun terasa berat dirasa.

     

    ***

     

    Malam menjelang dini hari terasa sunyi mencekam. Dalam keremangan cahaya lampu warga serta cahaya senter yang dibawanya, Wira berjalan ke sana kemari tanpa tujuan pasti. Mengikuti langkah kakinya, pemuda itu berjalan tanpa rasa lelah hingga sampai ke daerah desa tetangga yang berlainan dengan daerah adik sepupu laki-lakinya, Heru. Desa di mana Wijono berada. Seperti kekalutan hatinya membawa pemuda itu ke tempat di mana ia bisa melampiaskannya. Maesa yang sedang berada dalam tubuh sang Tuan merasa waswas dengan kelakuan nekat tuannya itu. 

    “Tuan, pikiran Anda sedang kacau. Alangkah baiknya jika Anda pulang,” ucap Maesa memperingatkan dengan nada hati-hati. Namun, tak ada tanggapan berarti.

     

    Tak hanya Maesa, Rewanda pun tak kalah cemas. Masalahnya jika bertemu Badhil, masalah akan menjadi lebih rumit. Jin yang memiliki perantara untuk menyakiti akan bertambah kuat. Bukannya mereka takut, hanya saja kekuatan mereka belum sebanding. Jika tuannya sedang kacau, bisa jadi akan mengganggu konsentrasi pemuda itu.

    “Kupikir hanya perasaanku saja, ternyata kamu memiliki nyali juga bocah ingusan.”

    Langkah kaki Wira terhenti. Sepasang mata kelamnya menatap nyalang pria yang berdiri beberapa meter di depannya. Satu makhluk yang menjadi pengkhianat mengekor di belakang pria tersebut. 

    “Menumbalkan sesuatu tak akan membuatmu semakin disegani, orang tua.”

    “Memangnya apa yang kamu ketahui tentangku? Kupikir kamu memiliki khodam, ternyata kita sama-sama dukun.”

    Wira berdecak. “Maaf, aku bukan dukun. Kebetulan aku hanya mendalami ilmu kebatinan, bukan ilmu perdukunan.”

    “Bagiku sama saja.”

    Melempar asal senter di tangannya, Wira mengambil belati kesayangannya, melepaskan dari sarungnya. sebagai timbal baliknya, Maesa terusir dari tubuh tuannya. Kedua mata terpejam, bibir terbuka membaca sederet mantra untuk menghadapi musuh, namun konsentrasi sedikit terpecah hingga belati yang melayang di depan tubuhnya bergerak tak stabil. Ujung belati sudah mengarah ke depan, namun beberapa kali goyang hampir terjatuh.

    Tanpa sadar, akibat terlalu lama memusatkan pikiran, sang musuh bersiap dengan bola api yang melesat kencang mengarah ke arah tubuh Wira. Bola api itu bukanlah suatu ilmu hitam yang tinggi, namun efeknya bisa menimbulkan penyakit pada yang orang yang terkena, khususnya menyerang psikis. 

    Rewanda yang mengetahui jika tuannya dalam bahaya, siap menjadi tameng. Namun nahas, tubuhnya terpental beberapa meter ke samping akibat hantaman keras dari makhluk berwujud babi hutan, dengan tanduk besarnya, yaitu Badhil. Tanpa sungkan, Badhil memihak Wijono dikarenakan kondisi kacau pikiran Wira akan melemahkan pemuda itu. 

    Sekuat tenaga Rewanda mencoba menjauhkan kaki Badhil dari atas dadanya. Setelah terjatuh, Badhil melesat cepat ke arahnya, menekan kuat dadanya dengan kaki besarnya.

     

    Maesa yang melihat sahabatnya mengalami masalah pun, segera menghilang dari sisi tuannya, tangannya terkepal siap menghantam tubuh makhluk berkepala babi. Satu pukulan berhasil mendarat di punggung menyebabkan, makhluk itu jatuh tersungkur. 

    Melihat aksi sahabatnya, membuat Rewanda melayangkan tatapan tajamnya pada Maesa. Jika Maesa bersamanya, lalu bagaimanaー

    “Arrrgh, panas!”

    Suara teriakan dari punggung Maesa mengalihkan pandangan dua pengikut setia Wira. Keduanya terpaku di tempatnya. Mungkin ini terlalu cepat untuk dipercaya, namun pemandangan di depan sana sungguh di luar dugaan. Bagaimana bisa situasi akan berubah menjadi di luar dugaan mereka.

     

    TBC.

     

     

    Kreator : Lastri

    Bagikan ke

    Comment Closed: BAB 12 jinjang

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021