KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • betonredofficial.com
  • billybets.ch
  • Bisnis
  • Branding
  • Buku
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • ggbetofficial.de
  • gullybetofficial.com
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Metafisika
  • montecryptoscasinos.com
  • Moralitas
  • Motivasi
  • mrpachocasino.ch
  • Nonfiksi Dokumenter
  • Novel
  • novos-casinos
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • okrogslovenije
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Pablic
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Pin-Up oyunu
  • Pin-UP VCH
  • Pin-Up yukle
  • Politik
  • Post
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Public
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » BAB 13 — Gurun, Doa, dan Poros Kenangan yang Retak

    BAB 13 — Gurun, Doa, dan Poros Kenangan yang Retak

    BY 19 Des 2025 Dilihat: 45 kali
    Malang, Salatiga, Kendal, dan Tegal (1966–1979)_alineaku

    China menyambutku bukan dengan pelukan, melainkan dengan jarak sejauh mata memandang.

    Saat pesawat menurunkan roda di landasan Lanzhou, udara pertama yang menyentuh wajahku terasa asing: kering, tipis, seperti lembar kertas yang belum ditulisi. Aku menarik napas, dan paru-paruku memprotes:

    “Ini bukan udara rumahmu.”

    Di perjalanan menuju Gansu Agricultural Field, kaca mobil menjadi bingkai sebuah lukisan yang tak kunjung selesai. Padang tanah kuning tua terbentang luas — retak seperti bibir tanah yang kehilangan doa dan menunggu hujan yang tak pernah datang. Setiap retakan mengingatkanku pada rindu yang terlalu lama disimpan tanpa air mata. 

    Padang itu seperti buku tua yang sudah kehilangan halaman depan dan belakangnya. Kita tak pernah benar-benar tahu bagaimana ia bermula, atau ke mana cerita itu hendak berakhir. Kita hanya bisa berjalan di atasnya dan berharap ia tidak runtuh di bawah langkah-langkah kecil kita.

    Di sinilah aku akan tinggal selama tiga minggu untuk magang lapangan menjadi tamu di tanah yang nyaris tak bersuara.—tawaran yang diberikan Profesor Sato sebelum salju Nagoya benar-benar mencair dari jendela asrama.

    Rumah batu tempat kami menginap berdiri seolah dipahat langsung dari kerasnya takdir. Hanya ada tempat tidur sederhana, meja kayu yang condong ke satu sisi,
    dan tirai tipis yang menari ketika angin gurun menyelinap masuk. Rumah batu yang  sederhana, nyaris tanpa perabot. Di pagi hari, angin gurun meniup tirai hingga menimbulkan suara seperti seruling jauh yang mencari tuannya. Aku berbagi kamar dengan Chen Mei, mahasiswi periang, sekaligus penerjemah yang membantuku, yang selalu membawa semangat seolah hidup tak punya waktu untuk dikeluhkan. Rambut pendeknya menari tiap ia tertawa, matanya menyimpan rasa ingin tahu seperti anak kecil yang baru menemukan dunia.

    Suatu malam, saat listrik padam dan lilin kecil memantulkan bayangan kami ke dinding bagaikan kisah yang ingin keluar dari tubuh:

    “Negaramu selalu hangat, bukan?” tanyanya.

    Aku mengangguk, menatap nyala yang mengerjap pelan

    “Hangat dan lembab,” ujarku. “Di sana hujan turun tanpa perlu alasan.”

    Aku teringat bau hujan pertama yang jatuh di halaman rumah—suara Bima yang tertawa, Lintang yang berlari tanpa alas kaki, Bagas yang memandangku dari pintu dengan kelelahan di matanya.

    Chen Mei menatap jendela gelap yang tak menunjukkan apa pun, menutup buku catatannya dan bersandar pada lututnya.

    “Aku ingin merasakan hujan tropis suatu hari. Apa rasanya?” 

    Aku menatap api lilin yang bergoyang pelan. 

    “Rasanya seperti pelukan. Lembut, tapi berat. Ia menempel di kulit seperti ingin mengingatkan kita bahwa bumi tidak pernah benar-benar ingin melepas….seperti seseorang memanggilmu pulang… dengan suara air.” 

    Ia mengangguk, seolah sedang menampung hujan yang belum pernah ia lihat ke dalam memorinya. Ia tersenyum, namun senyuman itu jatuh ke tanah gurun yang tak mampu menumbuhkan apa pun selain ketabahan. 

    Aku tersenyum samar.  Sedang aku sendiri… baru sadar aku merindukan hujan bukan karena dinginnya, tapi karena ia tidak pernah membiarkanku merasa sendirian saat menangis.

    Hari-hari berikutnya berjalan lambat seperti matahari gurun yang enggan tenggelam.

    Hidup di Gansu adalah tentang bertahan. Air langka. Makanan sederhana.

    Pekerjaan lapangan tidak mengenal kata ‘cukup’.

     

    Setiap pagi kami berjalan menuju lahan penelitian: hamparan gandum dan jagung yang menguning, saling merebut sedikit kelembapan yang disisakan angin gurun. Kami meneliti tanah, menandai kehidupan yang keras kepala, mencatat angka-angka yang tak pernah cukup untuk menjelaskan betapa keras manusia ingin tetap hidup. Tapi lebih dari itu, aku belajar melihat kerja keras sebagai ibadah paling jujur. Aku sering memperhatikan petani-petani tua yang bertarung dengan debu dan waktu. Tangan mereka retak seperti tanah yang mereka rawat, namun mata mereka — mata itu menolak menyerah

    Suatu sore, aku melihat seorang petani tua berdiri di tengah ladang gandum, tangannya gemetar, namun mata tetap fokus pada tanaman di depannya. Aku mendekat, menarik tangan Chen Mei untuk menterjemahkan dalam bahasa Mandarin.

    “Kenapa Bapak masih bekerja? Matahari hampir tenggelam.”

    Ia menatap langit sebentar, lalu tersenyum. Wajahnya—keriput oleh usia dan  matahari—terlihat seperti peta perjalanan panjang yang tak pernah dihentikan oleh rasa lelah.

    “Matahari belum menyerah,” katanya pelan. “Kenapa aku harus lebih dulu?”

    Jawabannya menancap ke dalam diriku lebih dalam dari butir-butir debu yang menempel di kulit. Seolah ia baru saja membacakan sebuah ayat tanpa kitab.

    Malamnya aku menulis:

    “Gansu bukan hanya tentang tanah yang kering, 

    tetapi tentang ketabahan yang hidup di bawahnya.”

    Aku menunduk. Karena saat itu, aku merasa aku yang telah menyerah lebih dulu —
    bukan mereka.

    Seminggu kemudian, kami dibawa ke sebuah desa di pinggir kota kecil, dihuni oleh mayoritas Hui—kelompok minoritas Muslim di China. Masjid mereka kecil, kubahnya tak begitu mencolok, warna hijau di pintunya lebih mirip daun yang hampir layu.

    Aku belajar sebuah kata baru: Hui. Kaum Muslim minoritas yang memelihara iman dalam bisikan dan keheningan.

    Di sana, aku bertemu Zhang Xiu—wanita Hui paruh baya yang menjadi narasumber. Ia menerima kami dengan kurma dan teh panas yang asapnya mengepul seperti doa yang sedang naik ke langit.

    Ni shi musilin ma?” (Apakah kamu Muslim juga?)

    Aku mengangguk. 

    Ia tersenyum dengan sorot lega yang sulit dijelaskan. Dan dalam senyumannya, aku melihat rumah

    Ia menunjukkan mushaf tua—kertasnya menguning dan huruf Arabnya hampir pudar. Aku mengusap halamannya perlahan. Ia berkata:

    “Kami membaca dengan hati, bukan lidah.” katanya. “Kadang lidah ini takut bersuara salah.”

    Aku terdiam.

    Beberapa kali, kepatuhanku juga terasa seperti ritual yang dihafalkan tanpa sempat dirasakan.

    Kami salat berjamaah. Gerakan kami sama—namun jadwalnya harus menyesuaikan jam kerja dan kebijakan desa. Azan tak pernah berkumandang di udara ini, namun di dada para Hui, suara panggilan itu tak pernah padam. Tatapan mereka saat takbir… lebih khusyuk daripada yang sering kulihat di masjid-masjid megah.

    Mereka tidak memiliki kelapangan, tapi mereka memiliki keteguhan yang nyaris puitis—seperti puisi yang diukir dengan pahat di batu yang keras.

    Chen Mei memperhatikan dari kejauhan, matanya berbinar—aneh campur penasaran. Setelahnya ia berbisik:

    “Kepercayaanmu… membuat kalian terlihat teguh sekali.”

    Aku tersenyum, tapi agak getir.

    “Andai kamu tahu… keyakinan juga bisa retak—terutama saat yang seharusnya kau percayai justru menjauh.”

    Chen Mei tidak bertanya lagi. Mungkin ia tahu, beberapa rasa sakit tidak perlu diterjemahkan.

    Aku menunduk, lalu memejamkan mata.

    Dalam keheningan itu, aku merasa seperti berdiri di antara dua dunia: yang pernah kupeluk erat, dan yang sedang berusaha kupahami.

    Aku iri pada mereka— yang bisa berpegang pada keyakinan tanpa harus mencari alasan untuk bertahan. 

    Hari-hari selanjutnya, aku tenggelam dalam riset. Bertanya. Mencatat. Mengamati.

    Aku memperhatikan bagaimana perempuan Hui memakai kerudung dengan warna lembut, bagaimana anak-anak belajar Alif–Ba–Ta hanya seminggu sekali karena guru agama mereka harus bekerja sambilan sebagai buruh bangunan.

    Tiap Jumat mereka berkumpul diam-diam. Masjid menjadi tempat di mana napas mereka menemukan ritme yang benar.

    Seorang pemuda Hui berkata: “Di sini, beribadah adalah cara kami tetap menjadi diri sendiri.” Aku memandang wajahnya yang masih muda namun matanya telah menua oleh sejarah yang dibungkam.

    Aku membatin:

    “Ketika keyakinan diuji, seseorang justru makin tahu siapa dirinya.”

    Tapi jika keyakinanku datang dari rumah yang retak… kau tahu apa yang terjadi?

    Malam datang di gurun seperti tinta hitam yang dituangkan ke sutra terang.
    Dan dalam gelap yang tak menyisakan bayangan, aku menelepon Bagas.

    Suara di seberang terdengar jauh, seolah aku menelepon sebuah gua kosong.

    “Aku baru pulang kerja,” katanya hambar. “Apa kabar?”

    Aku ingin bilang bahwa aku melihat versi lain dari Islam di sini.
    Bahwa aku iri pada keteguhan para Hui.
    Bahwa rindu padanya kini terasa seperti tanah gurun yang pecah-pecah—ada retakan yang makin lebar.

    Tapi yang keluar hanya:

    “Aku… capek. Banyak yang harus aku pelajari.”

    Ada jeda panjang seperti jurang yang tiba-tiba tercipta di antara kami.

    Bagas mengembus napas. “Kalau kamu nggak kuat, ya pulang. Kenapa harus maksa diri?” Aku menggigit bibir.

    “Aku kuat. Aku cuma ingin kamu ada.” 

    Aku ingin berkata bahwa aku bukan lelah.
    Aku hanya ingin ia bertanya:
    “Kamu bahagia di sana?”
    atau
    “Apa kamu merindukanku?”

    Namun yang keluar hanya:

    “Aku harus menyelesaikan ini.”

    Ada suara perempuan tertawa samar di belakangnya. Aku berhenti bernapas.

    “Siapa itu?” tanyaku, meski suaraku pecah.

    “Teman kantor! Kamu jangan curiga!”

    “Aku juga capek. Kamu pikir aku nggak punya masalah di sini?”

    Aku menutup mata. Bahkan tembok rumah batu ini terasa lebih jujur daripada jawabannya.

    “Aku ingin kita bicara baik-baik,” kataku pelan.

    “Sudah malam. Aku mengantuk.”

    Klik.
    Telepon terputus.
    Tanpa pamit. Tanpa rindu.

    Aku tersenyum pahit, meski ia tak bisa melihat. Jarak memang menguji cinta. Namun terkadang, cinta justru runtuh bukan karena jarak… melainkan karena diam.

    Dan malam itu, bulan terasa seperti luka bundar yang memandangku tanpa ingin sembuh.

    Suatu siang, badai pasir datang tanpa peringatan. Butiran debu memukul jendela seolah ingin masuk dan mengambil alih. Kami semua dikurung angin dan debu; dunia luar menjadi kabur seluruhnya. Dalam ketakutan yang samar, Chen Mei berkata: “Kalau alam seperti ini… aku merasa kita kecil sekali.”

    Aku menatap langit kuning yang menghapus horizon.

    “Kita memang kecil,” jawabku. “Tapi bukan berarti tidak berarti. Tuhan menyukai yang kecil. Ia mudah menemukannya.””

    Tiba-tiba aku tersadar:

    Di sini—ribuan kilometer dari Jogja—aku justru merasa lebih dekat pada diriku sendiri.

    Di tengah badai itu, aku menulis di buku harian:

    “Barangkali Tuhan mengirim gurun
    agar kita berhenti mencengkeram apa yang tak bisa kita genggam lagi.”

    Nama Bagas kutulis di halaman terpisah. Lalu kuhapus dengan tinta basah yang meninggalkan jejak— bukan hilang… hanya sulit dibaca.  Gurun di luar sana seolah menular ke dalam diri.

    Beberapa hari sebelum kami kembali ke Jepang, Zhang Xiu memintaku membacakan doa.
    Ia menutup mata, seolah setiap kata adalah porselen tipis yang harus ia peluk dengan sangat hati-hati agar tidak pecah.

    Seusai doa, ia bertanya: “Kamu mencintai seseorang di rumah?” aku tahu Chen Mei menerjemahkan dengan hati-hati.

    “Ya. Tapi cinta kami seperti tanah retak yang takut akan hujan.”

    Zhang Xiu memegang tanganku erat, hangat meski udara dingin.

    “Hujan datang untuk menghidupkan tanah. Jika tanah takut pada hujan, ia akan mati dalam kesendirian.” 

    Aku menggigit bibir—kata-katanya terlalu tepat, terlalu masuk.

    Ia menepuk bahuku. “Kalau cinta benar, ia akan mencari jalan pulang. Kalau tidak… biarkan ia pergi seperti angin gurun.”

    Aku mengangguk pelan. 

    “Tapi cintamu… seperti porselen yang retak, ya?” katanya lembut.

    Aku tidak menjawab. Retakannya terlalu nyata. Namun, seperti porselen, retak itu justru membuktikan ia pernah dipegang erat.

    Zhang Xiu menggenggam tanganku dengan kekuatan lembut yang tak bisa kupahami.

    “Jika cinta benar,” ujarnya, “retak itu akan diisi emas.”
    Ia menyebut istilah itu: kintsugi — seni menyembuhkan keretakan.

    “Tapi jika tidak,” katanya sambil menatap jauh, “retaknya akan menjadi jalan bagi cinta lain untuk masuk.”

    Aku menghela napas, hatiku gemetar. Udara gurun terlalu kering untuk membawa lega.

    Hari kepulanganku, petani tua itu memberikan seikat gandum kering.

    “Untukmu,” katanya. “supaya kau ingat, yang bertahan tidak pernah sendirian.”

    Aku mencium bau tanah di tangkai gandum itu: bau yang mengajari manusia untuk tidak meminta lebih dari yang sanggup diberi bumi.

    Mobil bergerak meninggalkan desa. Padang luas itu kembali menjadi lukisan
    yang menolak di restorasi. Namun kali ini, di kanvas dunia yang kekuningan itu, aku melihat goresan baru: goresan diriku sendiri.

    Dan aku mengerti,

    Gurun mengajariku merendah.
    Umat Hui mengajariku yakin dalam bisikan.
    Bagas mengajariku bahwa cinta pun bisa menjadi gurun.

    Aku menatap langit yang jauh, menyadari bahwa aku mungkin sedang berjalan
    bukan menuju rumah, melainkan menuju versi diriku yang sanggup pulang
    —meski yang menunggu mungkin sudah tidak sama.

     

     

    Kreator : Shavitri Nurmala Dewi

    Bagikan ke

    Comment Closed: BAB 13 — Gurun, Doa, dan Poros Kenangan yang Retak

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]

      Okt 21, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021