KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » BAB 13 jinjang

    BAB 13 jinjang

    BY 18 Sep 2024 Dilihat: 250 kali
    Jinjang1_alineaku

    Suara teriakan kesakitan menggema dalam kesunyian malam di antara lebatnya pepohonan bambu di salah satu jalanan sepi sebuah desa. Satu sosok pria berusia kisaran 30 tahunan berdiri gagah di hadapan Wira. Bibir melengkung tipis seraya mencemooh ketidakberdayaan pemuda di belakangnya. Sepasang mata tajamnya menatap pria paruh baya di depan sana.

     

    “Tidakkah Anda terlalu tua untuk bermain dengan anak-anak, Tuan?” Suara beratnya bernada penuh wibawa. 

     

    Dilihat dari penampilannya pria itu bukanlah keturunan dari orang biasa. Baju beskap bermotif bunga berwarna emas menghias bagian leher, merambah bagian depan, serta bagian bawah baju. Kain dodot membalut bagian bawah tubuh sang pria. Blankon berwarna coklat tua menutupi kepala, menyembunyikan sebagian rambut kelamnya. 

     

    Wira yang melihat penampakan pria itu baru menyadari jika dirinya sedang melakukan kesalahan. Dirinya menghadapi musuh dalam keadaan memendam amarah hingga membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Prabaswara.” 

     

    Pelipis sang pria berkedut. “Sopanlah sedikit padaku. Aku seorang tumenggung penguasa sebagian tanah Jawa.”

     

    Wira mendengus. Makhluk di depannya sama saja seperti pengikutnya, hanya saja jin di depannya memiliki kekuasaan lebih tinggi serta kekuatan yang melebihi mumpuni. Menurut cerita kakeknya yang menyerahkan belati peninggalan leluhur, jin di depannya adalah pengikut setia Tumenggung Prabaswara leluhurnya. Sepeninggal leluhurnya, jin itu menyerupai wajah sang tumenggung untuk menjaga anak keturunannya. Tentu saja atas pilihan jin itu sendiri.

     

    Tiga makhluk jejadian tak jauh dari sana hanya melongo. Jadi belati yang dibawa Wira selama ini adalah perwujudan dari khodam pendamping pemuda itu? Jika hawa keberadaannya tak mampu terdeteksi oleh mereka, berarti khodam pendamping itu bukanlah jin sembarangan.

     

    Sedangkan Wijono yang sedari tadi terdiam syok melihat pemandangan di depannya kini mulai berlari menghampiri seorang gadis yang tergeletak memejamkan mata di bawah kaki Prabaswara dalam diam. Tenggorokannya terasa tercekik melihat Kirani alias Sri terkena ilmu hitamnya. 

     

    Prabaswara sendiri merasa tak peduli. Ia hanya peduli pada satu hawa negatif yang sangat besar. Alis tebalnya sedikit terangkat ketika merasakan keberadaan Badhil yang sangat tidak disukainya. Hawa jahat penuh kelicikan yang sangat merugikan. 

    “Jangan sembarangan membebaskan makhluk tidak tau diri lagi, Wira.”

     

    Wira terdiam tak berkutik. Memang ini adalah murni kesalahannya yang kadang gegabah mengambil tindakan. 

     

    Ujung mata Prabaswara menangkap pergerakan Badhil yang ingin melarikan diri. 

    “Selesaikan masalah dengan hati lapang.” 

    Prabaswara kembali mengubah dirinya menjadi sebuah belati, kemudian melesat mengejar bola api berwarna merah menyala, perwujudan dari Badhil.

     

    Wira kembali fokus pada pria paruh baya yang terlihat sedang memeluk tubuh gadis di depannya dengan tangisan tak bersuara. Sepertinya kedatangan Prabaswara bukan hanya memindahkan tubuh Sri sebagai tameng untuk dirinya, tapi juga memberi pelajaran pada pria di depannya. 

    “Kuberi pilihan untukmu. Berhenti berbuat onar atau aku akan membuatmu kian menderita. Pikirkan nasib keponakanmu itu jika sesuatu terjadi padamu.”

     

    Wijono mendongak, menatap murka pada pemuda yang berdiri menjulang di hadapannya. Mata basahnya memerah. Ia paling tidak suka jika diatur orang lain, apalagi oleh pemuda ingusan seperti Wira. Meletakkan tubuh dalam dekapan ke atas jalanan berbatu di bawahnya. Wijono bangkit, siap kembali untuk membuat perhitungan pada Wira. Kedua matanya terpejam, bibirnya terbuka, membaca mantra tanpa suara.

     

    Wira pun terpaksa melayani pria paruh baya itu meski dengan jalan kekerasan. Saat pria di depannya sibuk mengucapkan mantra, dirinya memilih mengepalkan tangan, berjalan cepat menuju Wijono yang berdiri kurang dari dua meter darinya. Sekuat tenaga kepalan tangannya meninju bagian ulu hati pria itu. Sesaat pria itu terdiam sebelum jatuh bersimpuh di hadapan tubuh Sri, kemudian tumbang di atas tubuh sang gadis. 

     

    Wira berjongkok, tangan terbuka menyentuh kepala Wijono. Menghela napas untuk membuang segala kegundahan hati, bibirnya pun terbuka membaca sebuah mantra. 

    “Pangeran Ikang Dayaka Atma  karsa, dalem ngendani jhana wibisana ingkang pantara andhakara darya janma.” (Tuhan Sang Pemberi Kehidupan atas izinmu, hamba menjauhi ilmu yang berbahaya antara gelapnya hati manusia.)

     

    Tubuh jangkung Wira bangkit, berbalik menjauh dari tempatnya semula untuk kembali ke rumah. Rasa lelah mendera seketika. 

     

    Sebelum tumbang, baik Maesa maupun Rewanda langsung menopang tuannya dari sisian tubuh yang berbeda. 

     

    “Tuan terlalu lama berjalan, jadi jangan memaksakan diri,” ucap Rewanda memperingatkan.

     

    Meski Wira berjalan dengan bantuan Measa, namun tetap saja kaki yang dipakai adalah milik Wira. Berjam-jam berkeliling bukanlah hal yang baik bagi fisik seorang manusia. Efeknya tetap akan ada setelah Maesa keluar. 

     

    “Rewanda … urus kedua manusia itu. Maesa, bawa aku pulang ke rumah.”

     

    “Baik, Tuan Wira,” keduanya menjawab serempak.

     

    Maesa mulai menopang seutuhnya tubuh Wira, kemudian membawanya pulang dengan berteleportasi. Rewanda memindahkan tubuh kedua orang yang telah tumbang sebelumnya.

     

    Jauh dari tempat mereka berada, bola api Badhil mulai meredup akibat tuannya sudah tidak lagi memiliki kekuatan ilmu hitam. 

     

    Prabaswara sendiri yang sedang bermain-main dengan menyamakan kecepatan Badhil, malah tidak mengurangi kecepatannya hingga berakhir dengan ujung belatinya menusuk bola api itu dan berakhir pada sebuah pohon besar di kedalaman hutan antah berantah.

     

    Mendengus kesal karena waktu bermainnya usai, Prabaswara mengubah dirinya menyerupai manusia dengan posisi masih di udara. “Beristirahatlah dengan tenang sampai manusia bisa menemukanmu lagi.” 

     

    “Sialan! Lepaskan aku, jin bodoh!” Badhil berteriak murka ketika tubuhnya menjadi penghuni baru salah satu pohon di hutan yang masihlah terlihat jarang terjamah manusia. Ia menyayangkan sikap makhluk sejenisnya yang memilih tunduk pada perintah manusia daripada menjerumuskannya. Padahal jin di depannya bukanlah dari kaum jin sembarangan.

     

    Tanpa mengindahkan ucapan jin jelek di depannya, Prabaswara kembali berubah menjadi belati, kemudian berbalik melesat menuju tuannya. 

     

    ***

     

    Ketika raja cahaya mulai menampakkan diri, semua orang mulai tersadar akan kewajiban masing-masing. Sayangnya, tidak dengan pria hampir berusia setengah abad bernama Wijono. Dirinya terbangun dengan pikiran kosong, tanpa tahu kehidupan macam apa yang dijalaninya. Untuk beberapa menit, otaknya bekerja menggali sisa-sisa ingatan yang mungkin masih tertinggal dalam otaknya. Namun sekeras apapun dirinya mengingat, rasanya mustahil untuk menemukan identitas dirinya sendiri. Lelah dengan pemikirannya, perlahan tubuhnya bangkit dari atas kasur lapuk yang mungkin selama ini menjadi tempatnya melepas lelah.

     

    Membuka pintu kamar, kesunyian begitu terasa. Gorden terlihat masih menghalangi cahaya sinar mentari di sisi kanannya. Satu set kursi rotan beralaskan bantal lapuk menandakan rumah yang ditinggalinya adalah rumah tua. Cat dinding terkelupas di beberapa bagian, aroma kayu lapuk pun menguar kuat. Menoleh ke bagian kanan, dirinya mendapati sekelebat bayangan seseorang. Merasa dirinya tidaklah sendirian, Wijono bergegas menghampiri sebuah ruangan tanpa penghalang pintu dengan perasaan was was.

     

    Satu meja kayu persegi dengan empat kursi kayu mengelilingi meja adalah hal pertama yang tertangkap pandangannya. Dirinya sempat terkejut dengan penampakkan seorang gadis yang bersembunyi di bawah kolong meja. Sebagian wajah sang gadis terlihat seperti terkena luka bakar, namun entah mengapa dirinya tak merasa risih dengan penampakkan itu. Tersenyum lembut, Wijono bersimpuh, satu kakinya terlipat di depan dada, satu lainnya terlipat ke belakang. 

    “Siapa namamu?” 

     

    Sang gadis menggeleng.

    Wijono kebingungan. Apakah gadis di depannya memiliki nasib yang sama dengannya? 

    “Apa yang kamu lakukan di sana?”

     

    Lagi, sang gadis hanya menggeleng.

     

    “Keluarlah. Aku tidak akan menyakitimu.” Wijono berusaha membujuk sang gadis untuk keluar dari persembunyiannya. Meski harus menunggu beberapa saat, dirinya tidak keberatan. Ketika sang gadis keluar, barulah ia bangkit. “apakah kamu tinggal di sini?” 

     

    Sang gadis yang ternyata Sri mengangkat tangan, menunjuk ke samping di mana sebuah pintu kayu yang sedikit terbuka. 

     

    Penasaran dengan ruangan itu, Wijono pun menghampirinya. Dibukanya perlahan pintu bercat coklat. Hanya dipan beralaskan tikar yang dilihatnya tanpa perabotan lain. Jika benar gadis di belakang tubuhnya menempati kamar itu, bukankah dirinya bukanlah orang baik? Meski yang ditempatinya untuk beristirahat beralaskan kasur lapuk, namun itu lebih baik daripada dipan yang pasti terasa keras untuk ditempati.

     

    Namun, yang tak disadari Wijono adalah sesosok makhluk tak kasat mata yang sedang terbaring di ruangan itu. Dialah Kirani yang masih memiliki kontrak dengan Sri. Jin wanita itu tidak bisa meninggalkan inangnya begitu saja. Dirinya juga enggan beranjak dari ruangan itu akibat terlalu malas menghadapi nasib buruknya. Sri masih bisa melihatnya, namun Wijono tidak. Tanpa Wijono yang memasang susuk di wajah Sri, maka dirinya tidak bisa terlepas dari sang pemakai susuk. Ingin menemui Wira, pemuda itu pasti akan menolak mentah-mentah dirinya akibat terlalu banyak mengganggu orang-orang terdekat manusia yang disukainya itu.

     

    Bangkit dari atas dipan, Kirani berjalan gontai melewati tubuh Wijono. Sepasang matanya menatap datar gadis yang terlihat menyedihkan di matanya itu.

    “Ingat … namamu Sri. Kamu tinggal di sini. Dia suamimu ….” Kirani menunjuk ke arah Wijono dengan ekor matanya.

    “Di luar banyak orang jahat, jadi jangan sekali-kali keluar.” Kirani kembali ke peraduan.

     

    Sedangkan Sri menelan ludah susah payah. Perlahan bibirnya terbuka memberitahu apa yang diberitahukan oleh Kirani. 

     

    Meski tak memiliki ingatan apa pun, Wijono mempercayai ucapan gadis yang mengaku sebagai istrinya. Acara saling mencoba menggali ingatan masing-masing terusik ketika seorang warga desa memberitahu Wijono bahwa waktu bekerja telah tiba. Entah mengapa dirinya juga terasa sangat familiar dengan pekerjaannya sebagai salah satu pekerja dari seorang pemilik perkebunan di desanya. 

     

    Baik Wijono maupun Sri menjalani kehidupan yang mengalir begitu saja dengan Wijono yang bekerja, Sri yang mengurus rumah, namun gadis itu tak pernah keluar rumah. Dirinya menutup diri dan merasa takut untuk bertatap muka dengan orang lain selain Wijono yang dianggap suaminya. Jika ada yang bertandang ke rumah, maka dirinya akan bersembunyi di dalam kamar Wijono. Sesekali saja dirinya tidur di sana. Dengan alasan lebih nyaman tidur di kamarnya sendiri, Sri lebih banyak menghabiskan di kamarnya sendiri ditemani oleh Kirani. Jin yang terus memenuhi otak Sri dengan segala keburukan dunia luar sebagai ajang balas dendam akan perlakuan Wijono selama ini. Ia merasa tak dapat menemukan kebebasannya kembali akibat ulah pria itu.

     

    TBC.

     

     

    Kreator : Lastri

    Bagikan ke

    Comment Closed: BAB 13 jinjang

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021