KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » BAB 14 jinjang

    BAB 14 jinjang

    BY 18 Sep 2024 Dilihat: 24 kali
    Jinjang1_alineaku

    Pagi begitu sunyi, mengukir goresan kesedihan di hati seorang Anantari Putri, atau biasa dipanggil Ata. Gadis berusia hampir menginjak 18 tahun itu terpekur di atas kursi kayu, samping ranjang kamar sang kakak sepupu. Pagi ini, seperti biasa Bu Dhe membangunkan Wira, namun tidak ada tanggapan dari pemuda itu. Berulang kali mencoba, nyatanya hasilnya tetap sama. Wira tetap terdiam, terlelap dengan wajah damai. Dadanya naik turun teratur seolah pemuda itu hanya tertidur. Entah apa yang terjadi, dirinya tidak begitu mengerti mengapa tiba-tiba Wira seperti ini. 

     

    Tertunduk menatap Qur’an yang tertutup di atas pangkuan, raut wajahnya menunjukkan kesedihan. Usai melaksanakan ibadah paginya, ia membaca sedikit isi kitab suci di atas pangkuannya itu, berharap dengan begitu Wira akan terbangun. Namun, hasilnya tetap nihil. Berulang kali ia memanggil nama kakak sepupunya, tetap saja pemuda itu tetap terdiam tak bergerak. Kedua orang tua pemuda itu sedang pergi ke desa sebelah mencari orang yang mungkin bisa membantu keadaan pemuda yang masih betah menutup mata. 

     

    Menghirup napas dalam, Ata mendongak, menatap wajah rupawan di atas ranjang. Mungkinkah Wira terlalu banyak memikirkan perasaannya hingga berakhir seperti ini? 

    “Mas Wira … Pulang, Mas. Ata janji bakal nurutin kemauan Mas Wira sekalipun ….” Menghela napas, tangannya terangkat menghapus jejak air mata di pipinya. Meski Wira menyebalkan, tapi hanya kakak sepupunya lah orang terdekat yang dimiliki olehnya. “Sekalipun Mas menginginkan pernikahan, Ata bakal nurut.” 

     

    “Jangan menempatkan sesuatu yang tidak kamu kehendaki demi orang lain tanpa memikirkan dirimu sendiri. Hal itu bukan akan menyakiti dirimu sendiri, akan tetapi pasanganmu kelak.”

     

    Ata menunduk, menyembunyikan wajah kacaunya. Ia melupakan jika ada Apta yang menemaninya di ruang santai.

     “Tapi Pak Apta yang bilang sendiri kalau Ata harus memikirkannya.”

     

    Pemuda berusia dua puluh empat tahun itu berjalan mendekati sisi anak didiknya. Tubuhnya berbalik menghadap ranjang. Sepasang mata hitamnya menatap sedih keadaan sahabatnya yang terbaring nyaman tanpa mengetahui jika orang-orang di sekitarnya sedang kalang kabut melihat kondisinya. 

     

    “Betul … tapi apakah kamu bener-bener mikirin atau ini hanya keputusan spontan akibat keadaan Wira sekarang. Aku nggak ngelarang kamu buat nerima Wira, cuma pikirkan baik buruknya, terus jangan lupa ada pro dan kontra. Bukan hanya dipikirkan tetapi hati perlu ada kesiapan, jika hatimu belum siap, maka keputusan bisa ditunda sejenak. Wira bukan orang yang suka bermain dengan perkataan. Aku tau jika dia bilang suka, maka suka dalam arti yang serius. Wira bisa menunggu sampai hatimu siap mengambil keputusan.”

     

    Sang gadis bungkam. Memang keputusannya spontan, tapi hanya Wira yang membuatnya nyaman meski menyebalkan. Ia baru menyadari jika melihat Wira seperti ini adalah hal yang tak diinginkannya.

     

    ***

    Terbangun di pagi hari dengan suasana berbeda membuat seorang Wira harus berpikir keras mengartikan keadaan. 

     

    “Mas Wira, ngopi dulu sebelum pergi kerja. Ata buatkan pisang goreng kesukaan Mas Wira buat nemenin kopinya.”

     

    Nah! Inilah keganjilan yang terasa begitu mengganjal, bahkan terasa menampar keras kewarasannya. Sejak kapan pisang goreng dan kopi menjadi makanan kesukaan? Dan lagi ….

     

    Wira menatap Ata yang tertunduk malu, duduk di seberang meja ruang tamu dengan sebuah nampan melamin berwarna putih polos dalam dekapan. Sejak kapan Ata seperti itu.

     

    “Oi, Prabaswara.” 

     

    Suasana masih hening tanpa ada sahutan dari pemilik nama.

     

    “Prabaswara!” 

     

    Kesal tak mendapat sahutan dari sang pemilik nama, Wira meninggikan suara, dan tak peduli dengan reaksi gadis di seberang meja. Ia tahu jika itu hanya ilusi yang diciptakan oleh Prabaswara.

     

    “Tidak sopan mengganggu kenyamanan tetangga di pagi hari.”

     

    Wira mendengus. Tubuhnya bersandar pada sandaran sofa yang didudukinya. “Apakah menyesatkan jiwa seseorang yang seharusnya dijaga dengan baik termasuk tindakan yang sopan juga?” 

     

    Kepala bermahkotakan helaian coklat menoleh ke samping. Sepasang mata coklatnya menatap tajam pelaku penculikan jiwa miliknya itu. Pasti saat tertidur, Prabaswara sengaja membawanya ke dunia lain. 

    “Kembalikan seperti semula!”

     

    Prabaswara tersenyum lebar. Ia merasa tertarik dengan sikap Wira yang tidak pernah ingin bermain-main jika untuk masalah penting. Pasti pemuda itu menyadari, jika keadaannya di dunia nyata sedang tidaklah baik-baik saja. Hal itu akan menyebabkan keluarganya merasa sedih dan Wira tak menyukainya. 

     

    “Anggap saja ini ujian untuk menguji seberapa peka insting-mu untuk membedakan dunia nyata dan ilusi, serta cara mengatasinya. Kamu harus mencari jalan pulangmu sendiri. Waktumu terbatas, sehari di sini bisa saja sebulan atau setahun di duniamu. Selamat berjuang cucuku yang tampan.”

     

    Wira mengusap kasar rambutnya setelah Prabaswara menghilang dari pandangan. Tubuhnya bangkit tanpa ingin menyentuh makanan yang disediakan oleh Ata. Kakinya melangkah keluar rumah mencari celah yang mungkin menjadi akses kembali ke dunianya. menoleh ke samping, rumah Apta masih ada di sana. Pagar perdu pun masih menjadi pembatasnya. 

     

    Menghela napas, kaki Wira kembali melangkah memutari rumah, meneliti setiap celah yang mungkin berbeda dari tempat yang ditinggalinya di dunia nyata. Sayang, dirinya kehilangan petunjuk. Sekali lagi Wira menyusuri setiap sudut pelataran yang mengelilingi rumahnya. Lelah dengan pencarian yang tak membuahkan hasil, Wira berhenti sejenak di samping kamarnya. Tubuhnya berbalik, bersandar pada tembok. Sepasang matanya menatap lurus, kemudian bergulir ke samping. Dahinya berkerut dalam saat melihat bayangan hitam pekat di balik pohon asam yang tumbuh sejajar dengan kamar yang ditempati Ata. 

    “Matahari masih bersinar cerah, bodoh.” 

     

    Wira berlari menuju bayangan hitam pekat menyerupai pohon asam, namun bayangan itu terlihat begitu besar dan posisinya tidak sesuai dengan posisi matahari saat ini. Matahari hampir berada di atas kepala, akan tetapi bayangan itu malah lebih besar dari objek aslinya. Seharusnya bayangan itu lebih kecil dan lebih pendek dari objek aslinya. 

     

    Sesuai dugaannya, Wira terbangun dengan detakan jantung yang menggila efek kejut dari perpindahan jiwanya yang terjadi secara spontan. Mengatur deru napas, kepala Wira menoleh ke samping. Sepasang matanya langsung terkunci oleh sepasang mata hitam bulat kesukaannya. Sayang mata yang biasa terlihat cerah itu kini terlihat mendung. Ia tak akan pernah lupa kapan terakhir kali mata itu menunjukkan ekspresi yang sama. Saat kematian kedua orangtua Ata adalah waktu terakhir ia melihatnya. 

    “Ha-hai,” dengan suara serak, Wira menyapa gadis pujaan hatinya.

     

    “Mas Wira.” 

     

    Wira tersenyum kecil saat namanya meluncur dari bibir mungil Ata. Gadis itu bahkan langsung berpindah tempat, duduk miring di tepian ranjang, memeluknya lembut. Suara isak tangisnya terdengar lirih. “Maaf.” Hanya satu kata itu yang dapat diberikan olehnya mengingat dirinya pasti telah membuat hati Ata gelisah entah untuk berapa lama.

     

     “Aku lapar. Aku pingin nasi goreng.” 

     

    Wira mengelus kepala Ata dengan lembut. Semoga kedua orang tuanya tidak melihat adegan romantis yang sedang dialaminya itu. Kalau ketahuan bisa diceramahi tujuh hari tujuh malam. Ingin membalas pelukan, takut jadi fitnah, jadi ia hanya mengelus kepala Ata dan tidak ingin berbuat lebih seperti mencium pucuk kepala dengan aroma khas aroma rambut wanita di atas tubuhnya itu.

     

    Melerai pelukan, wajah bahagia tergambar jelas di wajah manisnya. “Ata buatin. Bu Dhe dan Pak Dhe pasti senang Mas Wira udah pulang. Nanti Ata suruh orang buat manggil mereka.”

     

    Wira mengangguk kecil. Penasaran dengan waktu yang dilalui raga tanpa jiwa, ia pun bertanya pada adik sepupunya itu. 

     

    “Berapa lama aku tertidur?”

     

    “Hampir dua minggu.”

     

    Wira memejamkan mata. Pikirannya mengutuk kelakuan Prabaswara. “Awas, kubuang kau ke laut.”

    “Siapa yang mau dibuang ke laut, Mas Wira?”

     

    Membuka mata, bibir kering tersenyum kecil. “Tidak ada. Mas laper banget.”

     

    Ata bergegas bangkit dari sisi Wira. Dengan semangat, gadis itu mulai menyiapkan permintaan sang kakak sepupu. Sedangkan Wira di kamar mencoba bangkit perlahan. Rasa kaku seketika menjalar di seluruh persendiannya. Beruntung hanya dua minggu, jika lebih lama lagi mungkin ia akan kesulitan beraktivitas seperti biasanya.

     

    ***

     

    Kediaman Nanditama terlihat ramai dari biasanya. Para pria terlihat berkumpul di ruang utama, duduk di lantai beralaskan tikar. Beberapa makanan ringan serta minuman berupa kopi, teh hangat, serta air mineral menemani makanan tersebut. Mereka baru saja selesai mengadakan selamatan untuk Wira. Meski Pambudi tak menyangka jika putra semata wayangnya itu jiwanya diculik jinーkata pemuka agama yang dipanggil olehnyaーsampai hampir dua minggu lamanya, namun ia bersyukur putranya kembali dengan keadaan sehat dan tak mengalami perubahan ganjil di diri putranya itu. Ia tak pernah lelah untuk mendoakan sang putra agar menemukan jalan pulang. Heru, sang keponakan pun jauh-jauh menghadiri acara tersebut. 

     

    Bukan tanpa alasan pemuda beranak satu itu datang, melainkan ia ingin menyampaikan sesuatu pada para kepala keluarga yang hadir dalam acara tersebut. Memantapkan hati, Heru mulai membuka suaranya.

     

    “Selamat malam untuk semua yang hadir malam ini. Begini … minggu lalu, adik saya Anantari mengatakan pada saya bahwa dia memiliki nazar.” 

     

    Heru menoleh ke samping di mana Wira duduk tenang dengan kepala tertunduk entah mendengarkan atau pemuda itu sedang memikirkan sesuatu, ia tak tau. Heru menatap satu persatu pria yang hadir, tidak terlalu banyak, hanya kurang dari 20 orang. 

    “Sebagai seorang gadis yang tinggal satu atap dengan seorang pemuda yang bukan muhrimnya, rasanya itu tidak baik dipandang meski mereka masih bersaudara.” 

     

    Beberapa orang terlihat mengangguk mengerti. Wira sendiri mulai waswas jika Ata akan dibawa pergi kakaknya ke desa sebelah. 

     

    Menepuk pundak pemuda di sampingnya, Heru kembali melanjutkan ucapannya, “Nazar adik saya adalah ingin menjadi pendamping Wira saat Wira terbangun. Saya membicarakan ini di sini tujuannya adalah untuk meminta doa kalian semua untuk kelancaran niat baik adik saya.”

     

    “Selamat, Wir.”

     

    Wira terlihat syok mendengar ucapan Heru. Bahkan saat Apta yang duduk di sampingnya memberi ucapan selamat, serta uluran tangan, pemuda itu terlihat kebingungan. 

     

    Tak mendapat respon dari sahabatnya, Apta menggeplak kepala Wira, tak terlalu kencang, namun sukses membuat pemuda itu kembali pada kenyataan.

     

    “Seneng dikit kek, gayung bersambut.”

     

    “Apta ….” Wira menoleh ke samping. “Coba geplak lagi, siapa tau aku cuーaduh! Kubilang geplak, bukan nyubit!” Wira mengelus pipinya yang terkena cubitan maut sahabatnya.

     

    Nanditama hanya menggeleng menyaksikan kelakuan memalukan putranya. Dirinya bersama anggota lainnya memang sengaja merahasiakan hal ini untuk memberi kejutan pada putranya itu. 

    “Silahkan bapak-bapak, dilanjut lagi menikmati hidangan yang seadanya. Jika memiliki nasehat untuk putra saya boleh diungkapkan.”

     

    Para tamu kembali melanjutkan aktivitas menikmati hidangan. Beberapa dari mereka memberikan tips membuat istri tunduk pada suami. Ada pula yang menggoda Wira tentang malam pertama. Masalahnya, Wira itu minus perkara wanita. Tak pernah merasakan menjalin asmara atau apa pun yang berhubungan dengan percintaan. Nanditama yang melihat para tamu memperlihatkan wajah biasa saja merasa lebih tenang. 

     

    Sedangkan di ruang santai, jantung Ata berdebar tak karuan. Di sampingnya, sang Bu Dhe mencoba menenangkan kegelisahan gadis itu. Hal seperti ini memang terkadang membuat wanita merasa berdebar-debar tak karuan. Banyak hal berkecamuk dalam pikirannya. Mulai dari apakah keputusannya sudah benar. Apa semua akan berjalan lancar dan hal-hal lainnya yang mungkin terasa mengganggu pikiran.

     

    TBC.

     

     

    Kreator : Lastri

    Bagikan ke

    Comment Closed: BAB 14 jinjang

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021