Perasaan baru semalam merasakan mimpi melambung tinggi, namun pagi ini Wira merasa seperti dijegal hingga membuatnya terpelanting jatuh ke bumi. Pendengarannya masih waras, ‘kan? Jika iya, berarti adik sepupunya itu memang suka membuatnya gila. Bagaimana mungkin acara pernikahan tertunda hanya karena ingin fokus kuliah terlebih dahulu. Mas Heru yang menanggung biayanya. Selain terlalu muda membina rumah tangga, Ata juga ingin menjadi ibu yang memiliki pendidikan cukup untuk bekalnya nanti menikah agar supaya anak-anaknya juga berilmu. Padahal tanpa berilmu tinggi juga dirinya siap menerima segala kekurangan Ata. Hidup itu yang penting rukun, saling menjaga satu sama lain. Beres!
Namun jika dirinya protes nanti yang ada kedua orang tuanya malah mencekoki wejangan tanpa ingat waktu. Dari pada kuping panas, mending gangguin tetangga untuk meringankan kegundahan hatinya. Satu buku tulis tergulung, dan satu pena terselip di antara lembaran buku dalam genggaman menjadi medianya. “Apta!” Bak ingin mengajak berkelahi, tangan terkepal Wira mulai mengendor pintu rumah sahabatnya dengan brutal.
“Ya! Sabar, Wir!” Sang empunya rumah yang sedang mencuci piring bekas sarapan, terpaksa meninggalkan pekerjaannya. Kakinya melangkah cepat, melewati ruang makan, dan ruang tamu untuk membukakan pintu. Membuka kasar pintu utama, Apta melotot garang. “Ngapain sih, pagi-pagi bikin ribut!? Nggak enak didengar tetangga!”
Wira nyengir enteng tanpa merasa telah melakukan keonaran. “Ada masalah darurat! Nggak usah drama!” Mengangkat buku yang tergulung dalam genggaman ke depan wajah Apta. “Aku mau kuliah, jadi ajarin aku pelajaran yang nanti keluar pas ujian masuk universitas.” Bibir sedikit berisi tersenyum tanpa beban.
Melihat kelakuan abnormal sahabatnya, rasanya Apta ingin melempar sahabatnya itu ke atas genteng. “Memangnya otakmu masih bisa mikir?”
Wira mendengkus. “Setidaknya masih bisa ngitung bilangan, sama baca, tulis.”
Apta mengangkat tangan, menggocoh kening Wira. “Memangnya anak SD!?” Melemaskan bahu, Apta mengedikkan kepala ke samping, menunjuk ruang tamu rumah dengan ekor matanyaーmemberi gestur pada Wira untuk masuk ke dalam. Biasanya Wira jika dalam mode sinting pasti ada pemicunya.
Menggaruk kepala, Wira melangkah masuk, duduk di kursi kayu panjang bantalan sofa, depan jendela. Kakinya terlalu malas melangkah lebih jauh. Buku dalam genggaman dilempar asal ke atas meja persegi berkaki pendek terbuat dari kayu di depannya.
“Kali ini apa lagi?” Bak seorang kakak yang baik, Apta bertanya penuh kesabaran.
Wira menatap datar sang sahabat. “Kopi.”
Apta melongo. “Hah!?”
Berdecak kesal, Wira menopang kepala. “Ayang Ata belum bikinin aku kopi. Biasa masalah rumah tangga.”
“Astaga, Wir!” Mengusap kasar wajahnya, Apta bangkit menuju ke dalam menuju dapur.
Sepasang mata kelam Wira menatap tajam penampakkan seorang gadis mengenakan dress tanpa lengan berwarna merah di belakang kursi yang semula diduduki sahabatnya. Sedari tadi gadis itu mengikuti pergerakkan Apta. “Apa tujuanmu, Kirani?”
“Bebaskan aku dari rumah itu.”
“Itu sudah menjadi resiko yang harus kamu tanggung.”
Kirani berteleportasi ke samping Wira. “Kalo tidak mau, aku akan terus mengusik Apta.”
Memutar bola matanya malas, tangan Wira berusaha melepas lilitan makhluk halus di samping tubuhnya. Ia paling tidak menyukai jin yang jatuh cinta pada manusia. Baginya hal itu sangat merugikan bagi manusia yang dicintainya. “Aku akan melenyapkanmu tanpa sungkan.”
Wajah Kirani berubah pasi. Dilepaskannya lilitan tangannya. Ia pikir Wira akan langsung menyetujui permintaannya nyatanya pemuda itu malah bersikap dingin padanya. Padahal menurut kebanyakan sebangsanya mengatakan jika Wira paling ringan tangan dalam hal positif. “Tapi aku sudah lelah. Aku berjanji akan pergi menjauh.” Menunduk sedih. “Aku tidak akan mengganggu manusia lagi jika kamu mau membantuku.”
Nada putus asa yang terdengar dari sampingnya hampir membuat pendirian Wira goyah. Kali ini tidak ada lagi keputusan gegabah. Dirinya harus bijak dalam membebaskan jin dari tuannya. “Sementara waktu biarlah tetap seperti ini. Aku ingin kamu benar-benar memahami bahwa dunia manusia dan jin itu berbeda. Tak selayaknya kamu mengusik bangsa kami sesuka hati.”
Keheningan melanda. Keberadaan Kirani pun tidak lagi terasa bagi Wira. Jika dulu Kirani tidak mengusiknya mungkin ia akan membebaskan makhluk itu dari tuannya yang kini melupakan sebagian sisi kehidupannya.
Tak!
“Nih, kopinya! Jangan minta temen ngopi! Ga ada!”
Wajah rupawan Wira kembali cerah layaknya tanpa beban. “Jadi gimana … kamu mau, ‘kan, ajarin aku?” Mata kelam menatap penuh harap pada sahabatnya yang kembali duduk di tempat semula.
Melipat kedua tangan di atas perut, Apta memasang wajah datar. “Ngapain kamu tiba-tiba mau kuliah? Bukannya kamu paling anti yang namanya belajar?”
Mengembuskan napas kasar, pemuda dengan segala sifat tak tertebaknya itu meraih cangkir kopi. Meniupnya perlahan, sedikit menyeruputnya untuk membasahi kerongkonganya yang terasa gersang, segersang ruang hatinya. Meletakan cangkir ke atas meja, Wira berdehem, dan memulai sesi curhatnya. “Ata mau kuliah. Kamu tau, ‘kan, kalo aku nggak bisa jauh dari dia. Aku tuh takut kalo terjadi apa-apa pas aku nggak ada.”
Apta menggelang mendengar alasan sahabatnya ingin kuliah. “Ata itu udah gede! Kasih dia kepercayaan udah cukup. Aku yakin dia bisa jaga diri. Ata anak baik, pasti nggak bakal macem-macem pas jauh dari rumah.”
“Ck! Justru karena dia baik, orang lain yang bakal macem-macem ma dia. Hidup di kota ma desa, ‘kan, beda.”
“Aku ngerti. Seenggaknya lepas aja dulu sementara. Kamunya disini nyari kerjaan buat masa depanmu. Jangan tiap hari keluyuran nggak jelas juntrungannya gitu. belajar kerja!”
Mendesah lelah, Wira bangkit tanpa ingin menghabiskan kopinya yang baru diminum sedikit. “Ya, sudahlah … aku nggak jadi kuliah.” Mengangguk singkat, memberi hormat pada sang sahabat. “Terimakasih bapak atas solusinya.”
Wira pun berlalu setelah mengucapkan terimakasih dengan cara yang membuat Apta tak habis pikir, kenapa di usia tua, Wira kelakuannya seperti bocah.
***
Malam merambat naik. Bulan sabit timbul tenggelam di atas sana seolah sedang bermain petak umpet dengan alam semesta. Kegelapan begitu hening ketika waktu menuju hampir tengah malam. Angin bertiup lebih kencang tak seperti malam sebelumnya. Aroma busuk kotoran ayam seketika menyeruak di ruangan 4 x 5 meter. Pemuda yang sedang sibuk memeriksa setiap lembaran kerja siswa, reflek menutup hidung. Bangkit dari kursi kayu depan meja di kamarnya, Apta menghampiri pintu kamar di samping meja kerjanya. Pemuda itu sadar benar jika aroma itu bukanlah aroma biasa. Tidak ada kandang ayam, baik di sekitar rumahnya maupun di sekitar rumah Wira. Rumah tetangga pun berjarak cukup jauh. Lagipula sedari tadi tidak ada aroma yang mencurigakan seperti itu.
Langkah pemuda itu membawanya ke samping kamar di mana ada sedikit ruangan tanpa pintu yang biasa dipergunakan untuk mencuci baju sekaligus berwudhu. Meski dirinya tidak bisa melihat makhluk halus, namun terkadang ia bisa merasakannya. Hal itu menimpanya setahun setelah kematian kedua orangtuanya. Entah karena kesepian atau apa, namun yang pasti ia bisa merasakan kehadiran mereka dari hawa di sekitarnya saja. setiap kali bersama sahabatnya pun ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda di sekitarnya. Melihat Wira baik-baik saja dengan segala keanehan itu membuatnya bungkam. Setelah kejadian yang menimpa Wira minggu lalu sebenarnya ia ingin membicarakannya dengan sahabatnya itu, namun waktunya masih kurang tepat.
Meninggalkan pekerjaan yang tinggal sedikit, Apta memutuskan untuk meraih sajadah yang masih berada di atas kasur, membentangkannya di samping tempat tidur. Pemuda itu memutuskan untuk melakukan shalat malam sebelum tidur. Mengabaikan aroma yang masih menyengat di kamarnya, Apta mulai melaksanakan kegiatannya. Ketika akan sujud, penampakkan jubah hitam dan kaki tanpa alas di depan sajadah sempat mengejutkannya. Namun pemuda itu terus melaksanakan kegiatannya meski perasaannya mulai ketar-ketir dihadapkan dengan sesuatu yang baru kali ini muncul dalam kehidupannya.
TBC.
Kreator : Lastri
Comment Closed: BAB 15 jinjang
Sorry, comment are closed for this post.