Menjelang tengah hari langit begitu terlihat cerah, namun suasana mendung begitu terasa di hati yang berduka. Kehilangan bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi jika berhubungan dengan orang terdekat. Wajah yang biasa terlihat cerah kini layu. Bibir yang biasa tersenyum lebar tanpa beban, kini membentuk garis lurus. Sepasang mata yang biasa melihat penuh binar, kini terselimuti embun. Sikap usil, cerewet, lenyap tergantikan oleh sikap kaku menghadapi kenyataan di depan mata. Langkahnya terasa berat saat mengantar orang tercinta ke peraduan terakhir.
Pemuda berusia 18 tahun, berstatus pelajar SMA tahun akhir itu perlahan menutup tempat peristirahat sang kakek. Kakeknya adalah teman di kala kedua orangtuanya sibuk. Ada rasa mengganjal di hatinya ketika tubuh kaku berbalut kain kafan di bawah sana perlahan menghilang tertutup tanah. Ikhlas melepaskan mungkin akan membutuhkan waktu yang tidaklah sedikit.
“Diikhlaskan, ya, Wir?”
Wira mencoba mengangkat ujung bibirnya, meski terasa sulit ketika sahabat baiknya ikut berjongkok di sampingnya. Para pelayat silih berganti meninggalkan pemakaman. Mengambil napas panjang mengisi paru-parunya yang kian sesak, pemuda yang biasa terlihat aktif itu masih sulit untuk membuka suara. Sudah sedari pagi buta, setelah mengetahui sang kakek tiada, pemuda itu masih saja bungkam, menangis dalam diam. Ditanya pun hanya menjawab dengan gestur tubuhnya saja.
“Wir, ayo pulang. Kasian ibu di rumah.”
Masih bertahan dengan keterdiamannya, Wira bangkit diikuti Apta. Keduanya berjalan mengekori pria berusia kisaran 40 tahunan berstatus ayah Wira. Kakek Wira yang meninggal adalah ayah dari sang ibu. Semenjak ditinggal sang istri, ibunya memboyong kakeknya untuk tinggal serumah dengan mereka agar ada yang merawat. Wajar jika Wira sangat menyayangi kakeknya karena hanya kakeknya teman yang selalu ada untuknya berkeluh kesah.
***
Mata kecoklatan menatap hampa ruangan 5 x 5 meter dengan sebuah ranjang cukup besar. Satu lemari dua pintu terbuat dari kayu. Aroma khas sang kakek masih tertinggal. Mendudukkan diri di atas ranjang, pikiran Wira melayang membayangkan wajah penuh wibawa sang kakek saat menasehatinya. Menghela napas lelah, Wira menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong. Sekelebat ingatan pesan terakhir muncul dalam pikiran.
“Le, ini benda kesayangan kakek. Dijaga, ya. Benda ini sudah mengikuti buyut kita, turun temurun.”
Menurut sang kakek, benda itu adalah perwujudan jin yang mengabdi pada Tumenggung Prabaswara. Menurutnya, benda berbentuk belati itu hanyalah benda biasa. Mungkin ucapan sang kakek hanyalah perkataan orang sepuh yang sudah terkikis ingatannya.
Lelah mengenang sang kakek, perlahan sepasang matanya mulai terpejam. Namun baru saja matanya terpejam, suara wibawa seorang pria memecah keheningan ruangan yang menjadi kamar kakeknya.
“Rasanya aku lupa menghitung dari generasi ke generasi. Ah, sekarang generasi ke berapa,ya? Tumenggung Prabaswara, Tumenggung Wibhisana, Tumenggungー”
Spontan Wira membuka mata. Tubuhnya bangkit, kepalanya menoleh ke samping, menatap tajam pria yang sedang berbaring di samping tubuhnya. “Kamu siapa!? Berani-baraninya masuk ke dalam kamar kakekku!”
Membuang nafas kasar, pria berpakaian adat Jawa zaman kerajaan ikut bangkit, menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang, memutar tubuhnya menghadap Wira, kemudian duduk bersila. “Kamu tidak sopan bersikap seperti itu padaku. Aku ini seorang tumenggung.”
Wira mulai kesal dengan lelucon pria di sampingnya. “Tumenggung? Nggak ada jabatan yang namanya tumenggung di sini! Keluar kamu!”
Sang pria mendengkus. “Dari kesekian orang yang kupilih, cuma kamu saja yang tidak sopan.”
“Wir, kamu kenapa?”
Kehadiran Ningrum mengalihkan perhatian Wira dari pria di sampingnya. “Bu, siapa sih orang ini!?”
Tergambar jelas raut muka khawatir yang ditunjukkan wanita yang berjalan menghampiri sang putra. “Orang siapa?” bertanya dengan nada lembut, wanita berambut pendek sebahu duduk di samping putranya. Sepasang mata Ningrum menjelajah setiap sudut ruangan, namun tak ada penampakkan seseorang yang disebutkan oleh putranya. “Nggak ada orang, kok. Kamu nggak pa-pa, ‘kan?”
Kening Wira berkerut dalam. Kepalanya menoleh ke arah pria yang sedari tadi terdiam di tempatnya. Bibir sang pria tersenyum mengejek. Menganalisa situasi, kini ia mengerti. Jika ibunya tidak bisa melihat pria di sampingnya, berarti pria itu bukanlah manusia.
Wira kembali menoleh ke arah sang ibu. “Nggak pa-pa Bu. Mungkin itu cuma perasaanku aja.”
“Yakin, kamu nggak pa-pa?”
Wira tersenyum menenangkan. “Iya.”
“Ya, sudah. Nanti kalo ada apa-apa, panggil ibu.”
Wira mengangguk.
Ningrum bangkit meninggalkan kamar ayahnya. Jujur wanita itu merasa sangat kehilangan, namun perasaannya dipendam. Ia ingin terlihat tegar demi keluarganya. Menangis pun tak begitu lama. Memaksakan hati untuk melepaskan orang yang membesarkan dengan kasih sayang itu sangat berat, namun ia juga tidak ingin memberatkan jalan sang ayah kembali ke pangkuan-Nya.
Wajah layu penuh kesedihan berubah serius. Mengikuti jejak sang pria, Wira ikut duduk bersila di atas ranjang. “Apa tujuanmu memperlihatkan diri di hadapanku?”
Pria kisaran 30 tahunan di depan Wira mengetuk dagu beberapa kali. “Hanya menjagamu … itu saja.” Bibir tipis tersenyum lebar. “Kalau ingin sesuatu yang lebih, kamu bisa mendapatkannya.”
Wira menatap penuh curiga. “Maksudmu?”
“Ilmu kebatinan. Aku bisa mengajarimu seperti aku mengajari kakekmu.”
“Untuk apa memilihku?”
“Karena hanya kamu satu-satunya keturunan laki-laki dari pendahulumu.”
Wira menggeleng lemah. “Aku menolak!”
Sang pria membuka blankon, menggaruk kepala. “Kamu tau. Kakekmu mempelajari ilmu itu untuk menolong banyak orang tanpa diketahui oleh orang yang ditolongnya.”
“Aku tidak akan mempercayai makhluk yang terkenal dengan kelicikannya untuk menyesatkan manusia.”
“Terserah Kamu sajalah.”
Mengedikkan bahu, Wira bangkit meninggalkan kamar bekas almarhum sang kakek untuk kembali ke kamarnya di samping kamar kakeknya. Saat menginjakkan kaki di ruang santai, sekilas matanya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Ketika telinganya sayup-sayup menangkap suara isak tangis dari kamar di belakang lemari tempat televisi dan berbagai macam pajangan, dirinya urung masuk ke kamar. Menghampiri kamar kedua orangtuanya, diam-diam ia menguping apa yang terjadi di dalam sana.
“Sudah, tho, Bu. Wira pasti baik-baik saja.”
“Ibu merasa gagal, Pak, hiks! Ibu jarang ada buat Wira.”
“Ssst, sudah. Wira anak baik. Meski sedikit bandel, bapak yakin Wira ngerti kesibukan Ibu.”
Wira mengendap kembali menuju kamarnya, membuka dan menutup pintu kamar dengan perlahan, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara yang dapat didengar oleh kedua orangtuanya. Selama ini ia memang tidak peduli akan kesibukan kedua orangtuanya. Selama ada sang kakek itu sudah cukup baginya. Apalagi Apta juga sering menemaninya bermain.
***
Di kala semua orang terlelap dengan damainya, sepasang bola api terbang melayang menuju satu rumah warga dan masuk ke dalam sebuah kamar berisi sepasang suami istri. Tidur keduanya terusik ketika merasakan panas dalam tubuh keduanya. Meski hanya beberapa saat, namun cukup untuk membangunkan keduanya.
“Bu, kok tiba-tiba badanku sakit semua, ya?” Pria berusia kisaran 40 tahunan membangunkan tubuhnya. Duduk di atas ranjang, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, mencoba melemaskan otot lehernya yang terasa kaku. Mungkin ini efek bangun tidur.
“Sssh, aduh, Pak. Badanku juga rasanya sakit semua. Kenapa, ya, Pak?” Sang istri ikut bangun. Memijat bahu yang terasa kaku.
“Mungkin efek bangun tidur, Bu.” Sang suami menatap jam dinding di seberang ranjang. “Tidur lagi saja Bu. Siapa tau nanti pas bangun sudah baikan.” Ketika waktu masih menunjukkan pukul 02.30 pagi, sang suami mengajak tidur kembali.
Sang istri menuruti dan membenarkan persepsi suaminya. Mungkin efek terlalu lelah pasca panen baru terasa sekarang. Keduanya kembali melanjutkan waktu istirahat yang sempat terganggu oleh kondisi tubuh masing-masing.
TBC.
Kreator : Lastri
Comment Closed: BAB 16 jinjang
Sorry, comment are closed for this post.