Satu bulan sudah berlalu sejak Pak Kades melamar Suli untuk jadi menantunya. Pertemuan untuk taaruf belum bisa dimulai karena Mas Ardi masih sibuk mengurusi wisuda dan hal lainnya.
”Banyak sekali hal yang membuat aku jadi berpikir tentang keputusan ini. Benarkah Mas Ardi menyukaiku sajak lama? Benarkah dia sudah yakin akan menikahiku, sedangkan dia orang yang berpendidikan dan punya banyak teman di kampusnya? Apa mungkin tidak ada yang dia ingin nikahi dari salah satu temannya? Bahkan, aku sering mendengar bahwa dia jarang pulang ke rumah. Ataukah ini hanya bercandaan dia saja? Tapi, tidak mungkin kan jika itu bercanda Pak Kades sampai datang.”
Suli terus bergumam sendiri entah dalam hati, saat memasak, berdagang, atau bahkan saat sendiri.
Itulah pikiran bodoh yang terus menghantui Suli selama sebulan terakhir. Tidak seperti lamaran pada umumnya, setelah ditanyakan justru terasa mengecewakan—seolah sengaja diulur, atau bahkan seperti tidak jadi sama sekali. Entahlah. Kepalanya sudah terlalu pusing memikirkan hal itu.
Akhirnya, kabar baik datang dari Pak Kades, dari utusannya dia berpesan bahwa lusa beliau akan datang bersama keluarga dan juga Mas Ardi untuk melakukan gulo kopi (taaruf) dengan benar. Kami menyambut kabar baik itu dengan sangat senang, apalagi Bu’e yang tersenyum gembira mendengar putrinya sungguh-sungguh akan bertemu dengan calon suaminya.
Pagi yang cerah ini diiringi dengan kicauan burung yang berkicau tiada henti, seakan-akan burung tahu bahwa Suli dan Bu’e serta keluarganya sedang menunggu rombongan keluarga Pak Kades. Mereka datang dan kami menyambut mereka dengan sangat sopan dan baik.
Didampingi Ustadz dan Ustadzah, kami memulai perkenalan ini. Tanya jawab seputar keseharian, apa yang disukai ataupun yang tidak disukai, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, perkenalan tentang hakikat pernikahan, mempelajari cara mempertahankan rumah tangga, bagaimana sikap kita jika ada kecekcokan atau selisih pendapat dalam berumah tangga, sebaiknya menjaga komunikasi dalam hubungan, saling menghargai pendapat satu sama lain, tidak mementingkan ego masing-masing dan banyak hal lagi pelajaran yang memang seharusnya dilakukan untuk proses taaruf ini. Tiba-tiba, Ustadz dan Ustadzah bertanya kepada kami dan keluarga. “Kenapa ada proses taaruf sedangkan lamaran sudah diterima?”
“Karena sejatinya kami belum begitu tahu satu sama lain tentang kepribadian masing-masing, dan bersyukurnya saat Suli meminta perkenalan ini melalui proses taaruf, Pak Kades bersedia,” ucap Bu’e menjelaskan.
“Kalau begitu, perkenalan ini bisa dianggap cukup dan kami sebagai saksinya. Jadi, silahkan Pak Kades memulai acara penentuan tanggal pernikahannya. Oh ya, sebelum akad nikah, jika Nak Ardi atau Nak Suli ingin bertanya atau menyampaikan sesuatu, harap melalui kami terlebih dahulu. Nanti kami yang akan menyampaikan pertanyaan maupun permintaan dari masing-masing pihak.”
”Baik.” Suli dan Ardi setuju.
Akhirnya, mereka semua sepakat bahwa pada Minggu Wage tanggal 19 Maret tahun 2000, dua hari setelah perayaan hari raya Idul Adha 1420 H adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan pernikahan. Semua orang yang hadir di acara ini setuju dan bersyukur karena semuanya berjalan lancar sebagaimana mestinya.
Karena acara pernikahan dua bulan lagi, Bu’e sudah mulai pergi berbelanja bahan-bahan baku agar saat mendekati waktunya tidak begitu terburu-buru. Sekarang yang ke pasar untuk jualan nasi bukan lagi Bu’e, akan tetapi Suli. Di pasar, semua orang membicarakan pernikahan Suli dan Ardi. Kabar pernikahan itu menjadi tidak biasa sebab dia akan dipersunting oleh anak dari kepala desa, keluarga yang terhormat, terpandang dan juga terkenal dermawan. Suli hanya bisa tersenyum mendengar semua orang membicarakan dia dan semua keluarga Pak Kades, karena Pak Kades mau besanan dengan orang dari kalangan biasa.
Mulut orang-orang di pasar memang susah untuk ditebak, apalagi berhenti bicara jika menyangkut urusan orang lain semua seakan akan menjadi detektif dan tiba-tiba banyak sekali topik yang bisa dibahas. Bukan cuma kebaikan keluarga Pak Kades, tapi juga Mas Ardi yang tak luput menjadi bahan pembicaraan mereka. Entah itu kuliahnya yang cepet wisuda, lulusnya karena orang dalam, dan banyak juga yang bilang kalau aslinya Mas Ardi tidaklah pintar. Dan jika pulang ke rumah, pasti teman-teman wanitanya akan langsung menghampiri. Banyak sekali berita yang orang-orang ini tahu soal keluarga Pak Kades.
Ucapan semua orang sungguh luar biasa. Suli mendengarkan mereka sambil terus beristighfar karena ada beberapa kata yang tak pantas diucapkan di kalangan umum. Mereka tak luput membicarakan keluarga Suli baik ayahnya, ibunya, kakaknya yang tidak lagi pulang ke rumah, dan tentu saja Suli yang putus sekolah. Sungguh kata-kata mereka benar-benar di luar dugaan.
Bagaimana bisa mereka sudah tidak segan membicarakan orang di depan orang itu sendiri. Suli sungguh tidak menyangka jika hari ini saat jualannya laris dan hampir habis sepanjang waktu dia terus mendengarkan ocehan orang-orang pasar yang tidak berhenti mencemoohnya, dalilnya sih ikut bergembira mendengar kabar baik, tapi kok semua hal dilakukan tanpa titik dan koma.
”Mari ibu-ibu saya duluan, nggih. Alhamdulillah sudah habis dagangan saya,” ucap Suli pamit terlebih dahulu karena di sana banyak orang yang lebih tua, jadi Suli menghormati mereka dengan berpamitan.
”Oh ya, nak Hati-hati ya di jalan. Kalau gak suruh jemput Mas-mu toh,” ucap seorang ibu yang juga memiliki seorang anak gadis yang sebentar lagi akan menikah.
Nggih, Bu. Alhamdulilah, Mas Ardi ne masih di Jogja, masih ngurusin surat-surat kuliahnya. Orang kuliahan memang beda sibuknya, Bu. Alhamdulillah saya bersyukur Mas Ardi mau memilih saya jadi istrinya.”
Mendengar perkataan itu membuat ibu tersebut langsung terdiam, sedikit menyadarkan dirinya bahwa calon menantunya hanyalah seorang kuli pasar yang dia sendiri kadang suka mencemoohnya. Ibu-ibu yang tidak tau diri. Saat ada orangnya, dia akan memuji. Tapi, saat tidak ada orangnya dia akan membicarakannya. Perilaku yang aneh.
Di sepanjang jalan pulang, Suli terus berpikir. Banyak sekali pelajaran yang bisa dia ambil dari kejadian selama di pasar tadi. Bagaimana kita harus menanggapi orang-orang yang sedang membicarakan kita, caranya hanyalah diam. Kita akan tetap kalah jika berdebat dengan mereka yang bicara hanya menggunakan mulut, tanpa menggunakan otak dan hati mereka. Cukup katakan sebuah kebenaran, sisanya tinggal diam. Karena mereka tidak akan pernah puas jika belum mendapatkan apa yang mereka ingin dengar.
Dan jangan pernah terpancing emosi dengan perkataan orang-orang yang bahkan tidak dekat dengan kita, komentar buruk mereka tentang kita hanya akan kembali kepada mereka sendiri, mereka hanya lupa membawa cermin untuk berkaca pada diri mereka sendiri, bahwa apa yang mereka bicarakan adalah apa yang mereka tidak sanggup lakukan atau apa yang sejatinya mereka harapkan.
Biasanya orang-orang yang suka membicarakan orang lain adalah orang-orang yang merasa orang lain memiliki kelebihan dari mereka sedangkan mereka tidak punya, sesuatu yang orang lain dapatkan adalah sesuatu yang sejatinya mereka juga inginkan, hanya saja mereka tidak beruntung, nama penyakit ini adalah iri hati.
Selalu ingat semuanya akan kembali kepada kita apapun itu, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran :
”Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
(Qs. al-Zalzalah : 7-8).
Dan juga, ”Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri.” (Surah Al- Isra ayat 7)
Sepanjang jalan pulang, Suli terus saja mengulang isi dari surah ini karena membuat hatinya tenang. Dia yakin Allah Maha Adil, Maha Mendengar dan Maha Tahu. Apa yang tidak bisa kita lakukan untuk menutup mulut orang-orang itu, maka Allah mampu melakukannya. Allah tidak tidur. Semua akan mendapatkan balasannya entah itu kebaikan ataupun keburukan. Maka, jagalah lisan agar kita selamat sampai tujuan karena kita tidak tahu sejahat apa perkatan kita terhadap orang lain kecuali orang itu menegur kita, itu pun terkadang kita tak menyadari bahwa itu perkataan buruk.
Kreator : Siti Purwaningsih (Nengshuwartii)
Comment Closed: BAB 16 – TA’ARUF
Sorry, comment are closed for this post.