KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » BAB 17 jinjang

    BAB 17 jinjang

    BY 17 Okt 2024 Dilihat: 172 kali
    Jinjang1_alineaku

    Pagi itu kondisi kedua orangtua Apta menimbulkan tanya di benak sang putra. “Kok, muka Ibu sama Bapak, pucet gitu?” Mata kelam Apta bergantian meneliti wajah keduanya yang sedang menikmati sarapan dengan tidak bernafsu. 

     

    “Ibu ndak tau. Badan ibu sakit semua pas bangun tadi.” Wanita berambut hitam tergelung rapi menimpali pertanyaan pemuda berstatus anaknya. “Padahal badan ibu juga ndak panas.”

     

    “Sama … bapak juga gitu. Apa sebaiknya kita nyuruh orang lain buat ngasih upah panen saja, Bu?” Pria yang menurunkan bentuk wajah pada putranya memberi saran pada sang istri. Bibir sedikit berisinya terlihat pucat layaknya gambaran wajahnya saat ini.

     

    Wanita bernama Nindita menggeleng lemah. “Ndak baik, tho, Pak menyuruh orang lain untuk mewakili rasa terimakasih kita pada orang yang telah membantu kita.”

     

    “Rasanya nggak masalah, Bu. ‘Kan, kondisi Ibu tidak memungkinkan untuk pergi.” Apta menyetujui ucapan ayahnya. Mana tega ia melihat ibunya pergi dengan kondisi seperti itu. “Gimana kalo Apta aja yang ke sana?” 

     

    Kembali wanita di seberang Apta menggeleng lemah. “Kamu harus sekolah. Rasanya ibu masih bisa pergi. Toh cuma sebentar.”

     

    Menghela napas pasrah, Apta kembali meneruskan sarapannya. Ibunya itu memang sifatnya keras kepala. Sekali mengambil keputusan, maka akan sulit untuk mengubah keputusannya. Merayu susah payah pun percuma, tidak akan ada hasilnya. 

     

    “Apta! Ayo berangkat!”

     

    Memejamkan mata. Apta mencoba meredam rasa kesalnya. Perasaan beberapa hari lalu sahabatnya itu suasana hatinya selalu mendung, namun pagi ini ia merasa jika sahabatnya itu sedang kerasukan. Tidak ada orang yang masih dalam suasana berduka bisa mengeluarkan suara dengan nada yang sama seperti biasanya. 

     

    “Apta! Ap—aduh! Ibu!”

     

    “Yang sopan kalau sedang bertamu! Dasar anak bandel!”

     

    “Aku lagi nggak bertamu, Bu! Disambut juga kagak! Nggak dikasih sa—aduh!”

     

    Tiga orang dengan usia berbeda di ruang makan hanya terkikik geli mendengar kegaduhan di luar rumah mereka. Wira memang suka membuat ibunya mengamuk dengan tingkah polahnya.

     

    “Sudah, berangkat sana. Nanti ibu yang beresin piringnya. Kasian, nanti Wira kelamaan nunggu.”

     

    Meraih tas ransel di atas kursi kosong di sampingnya, Apta bangkit dari duduknya dengan rasa enggan. Sebelum meninggalkan ruang makan, pemuda itu mengucapkan salam.  “Kebiasaan banget kamu Wir.” Apta mendengkus ketika sampai di teras rumahnya disambut tampang sok polos sahabat gilanya.

     

    Wira tersenyum lebar. “Kebiasaan yang menyenangkan.”

     

    “Apta, ambilkan sendal ibu. Lemparin sini biar ibu bisa nimpuk kepala Wira. Siapa tau otaknya balik lagi ke tempatnya.”

     

    “Memangnya Ibu pikir, otak jenius anak Ibu piknik ke mana?”

     

    “Tidak ada orang jenius otaknya anjlok ke telapak kaki.”

     

    “Ibu mah nggak sayang anak.”

     

    Apta menggeleng melihat ibu dan anak berstatus tetangga malah ribut di rumahnya. Sang ibu memang masih di pelataran rumah sebelah dan tidak bisa langsung menghampiri anaknya karena ada pagar perdu yang membatasi area rumahnya dan rumah sahabatnya . Jika tidak ada pagar perdu, niscaya telinga Wira sudah memerah. Menenteng dua sandal milik Ningrum, Apta melangkah menghampiri pagar perdu, menyerahkan sandal tersebut ke pemiliknya. “Apta berangkat dulu, Bu.”

     

    Ningrum tersenyum manis. “Terimakasih. Nitip anak ibu. Kalau nakal, ibu ikhlas kalau kamu mau buang di tengah jalan.”

     

    Apta tertawa renyah. “Siap, bos!”

     

    Wira mendengkus. “Anak ganteng kok, disia-siain.” Tubuh Wira berbalik meninggalkan teras rumah Apta diikuti Apta. Keduanya berjalan beriringan. 20 menit adalah waktu yang dibutuhkan keduanya untuk mencapai tempat mereka menimba ilmu. 

     

    ***

     

    Hari berganti minggu, terus bergulir terhitung selama dua bulan lamanya kedua orangtua Apta penyakitnya semakin parah. Diagnosis dokter tidak menunjukkan penyakit berbahaya. Pergi ke orang pintar pun tidak ada hasilnya. Awalnya seperti sakit biasa, lama kelamaan, keduanya tidak bisa bangun dari tempat tidur. Diperparah dengan batuk berdarah, tidak bernafsu untuk memasukkan makanan. Apta merawat keduanya dengan telaten. Jika dirinya pergi ke sekolah, ada kerabat yang mau merawat kedua orang tuanya. Ada rasa putus asa yang tidak bisa diungkapkan oleh pemuda itu pada orang-orang terdekatnya, termasuk Wira. Apta mencoba untuk tegar. Melihat kondisi kedua orangtuanya yang setiap hari harus menahan kesakitan rasanya ia tidak tega.

     

    Wira sendiri merasa ada kejanggalan pada keadaan kedua orang tua sahabatnya.

     

    “Jika kamu menyadarinya, kenapa tidak mau menerima tawaranku?”

     

    Membuang nafas kasar, Wira mengabaikan suara di belakang tubuhnya. Meski pena di tangan, buku tulis terbuka lebar, namun kertas di depannya masihlah kosong. Sedari tadi pemuda itu tak bisa berkonsentrasi mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh gurunya di sekolah. 

     

    “Sepertinya ada sifat serakah yang mendatangkan bencana.”

     

    “Jika kamu mengetahuinya dan dapat mencegahnya, kenapa tidak membantu orang yang sedang kesusahan?”

     

    Penampakkan pria berwibawa di belakang Wira mengangkat alis. “Memangnya kamu pikir bangsa kami bisa mencelakai manusia dengan mudahnya tanpa perantara? Jika dunia kami dan dunia manusia menyatu, maka banyak manusia yang celaka, karena bangsa kami lebih senang menyesatkan bangsa manusia.” 

     

    Membuang nafas kasar, Wira menjatuhkan pena di tangannya ke atas buku tulisnya yang masih bersih tanpa coretan apa pun. Tubuhnya bangkit dengan kasar, kemudian berjalan menghampiri ranjang di seberang meja belajar. Menjatuhkan tubuhnya dengan posisi kaki menjuntai menyentuh lantai, sepasang matanya menatap langit-langit kamar. “Jangan menggangguku lagi. Aku ingin hidup normal.”

     

    Wira membenarkan posisi tidurnya. Suasana kamarnya langsung hening begitu makhluk jejadian itu meninggalkan kamarnya. Ia memutuskan untuk tidur saja karena merasa lelah setelah memikirkan kondisi sahabatnya yang setiap hari terlihat mengenaskan akibat memikirkan kedua orangtuanya yang tidak kunjung membaik, malah semakin memburuk. Tak berselang lama, sepasang mata Wira pun terpejam perlahan, siap mengarungi alam mimpi.

     

    ***

     

    “Wir, bangun.”

     

    Tubuh jangkung Wira menggeliat sebelum mengganti posisi dari menghadap jendela kamar, kini menghadap tembok kamar. “Hmm.” 

     

    “Wira, bangun!” Wanita dengan wajah bantalnya menggoyang bahu putranya lebih kencang dari sebelumnya.

     

    Berbalik terlentang, sepasang mata masih terpejam. “Apa sih, Bu. Masih pagi juga,” bibirnya menggumamkan protes akan tidurnya yang terganggu.

     

    “Temui Apta, gih! Buruan! Penting, Wira!”

     

    Kelopak mata Wira perlahan terbuka. “Masalah penting apaan sih, Bu?”

     

    “Udah, sana cepetan!”

     

    Meski mata terasa berat, Wira tetap beringsut menuruni ranjang. Kaki jenjangnya dipaksakan melangkah meski langkahnya belumlah mantap. Sepanjang langkahnya menuju rumah sebelah, otaknya berusaha mencerna keadaan. Biasanya jika ibunya mengatakan hal penting akan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan nada khawatir, maka hal itu bisa jadi sesuatu yang buruk.

     

    Seketika kesadaran Wira pulih seutuhnya mengingat keadaan kedua orangtua Apta. Begitu sampai di pelataran rumah Apta, ia mempercepat langkahnya. Jantungnya berdebar kencang. Mungkinkah kondisi kedua orangtua Apta kian bertambah buruk dari kemarin?

     

    Tanpa mengetuk, maupun memberi salam, Wira masuk ke dalam rumah Apta melewati ruang tamu, dan berhenti di depan pintu yang terbuka di lorong menuju ke ruang makan. Mengambil napas dalam, mengeluarkan perlahan, kakinya melangkah memasuki kamar. Di depan ranjang ia melihat sahabatnya duduk menatap kosong dua tubuh yang terdiam dengan mata terpejam. Melihat tubuh keduanya rasanya Wira sangat tersiksa. Mereka seperti tidak makan dalam jangka waktu yang lama. Wajah cerah, nan kencang terlihat keriput dan layu. Bagaimana bisa mereka bertahan dalam waktu hitungan bulan dalam kondisi seperti itu. “Ap ….” Wira mencoba mengisi paru-parunya yang sesak. “Apta.”

     

    Sang objek yang dipanggil bergeming tak merespon. Tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan. Matanya terus terpaku pada tubuh kedua orangtuanya yang terbujur kaku di atas ranjang. “Bagaimana bisa mereka seperti ini? Mereka terlalu baik untuk mendapatkan hukuman seperti ini.”

     

    Mengepalkan tangan, sekuat tenaga Wira memukul daun pintu dengan bagian samping kepalan tangannya. Amarah langsung menguasai pikirannya. Benarkah yang diucapkan makhluk jejadian semalam itu bukan kebohongan?

     

    “Menyimpan dendam itu tidak baik.”

     

    Wira tak menggubris ucapan makhluk jejadian yang tiba-tiba muncul di sampingnya. 

     

    Sang makhluk jejadian mencoba membaca pikiran pemuda di sampingnya. “Andai aku punya kuasa … pfft hahaha! Wira, Wira. Kuasa pun tidak akan membantumu. Jika kamu ingin menguasainya, maka hilangkan energi negatif di pikiranmu.” 

     

    Wira melangkah menghampiri Apta. Satu tangannya menyentuh bahu sahabatnya, meremasnya lembut, menyalurkan kekuatan untuk mendukung kehidupan sang sahabat agar bisa menghadapinya dengan tegar. Kehilangan orang yang sangat dicintai adalah hal tersulit untuk diterima dengan lapang dada.

     

    Penyesalan Wira hingga saat ini adalah keputusannya yang terlambat untuk menyelamatkan orang-orang terdekatnya di kala dirinya mungkin memiliki kesempatan untuk menyelamatkannya.

    TBC.

     

    Kreator : Lastri

    Bagikan ke

    Comment Closed: BAB 17 jinjang

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021