KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » BAB 18 jinjang

    BAB 18 jinjang

    BY 14 Des 2024 Dilihat: 90 kali
    Jinjang1_alineaku

    Sudah menjadi bagian dari sifat manusia jika merasa kurang dengan apa yang dimiliki saat ini meski dilihat dari pandangan orang lain yang hidup di kekurangan ingin merasakan di posisi tersebut. Mempunyai banyak harta tidak menjamin hati akan merasa tercukupi. Nafsu dunia berlebihan akan harta menyesatkan jalan pikiran. Apa pun dilakukan meski dengan cara di luar akal sehat, termasuk menyakiti. Pepatah akan harta tidak mengenal saudara pun menjadi benar adanya. Winan adalah salah satu dari segelintir manusia yang masih mempercayai jalan yang ditempuhnya adalah jalan efektif untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Wanita berusia 45 tahun itu kembali menemui orang pintar yang pernah dipercaya olehnya untuk mencelakai saudaranya sendiri.  

     

    Pembagian hasil yang dilakukan selama beberapa tahun ini bersama saudara lainnya terasa begitu memberatkan kehidupannya. Semakin bertambahnya tahun, maka bertambah pula pengeluaran. Anak semakin besar, kebutuhan pokok semakin meningkat, tapi pekerjaan suami tidak juga mampu menutupi kekurangan akan kebutuhan sandang. Apa pun yang dibelinya haruslah bagus, mahal, dan pastinya ia tidak mau derajatnya turun karena harus menghemat pengeluaran. Terpaksa ia mencoba keberuntungan kembali untuk mengambil sisa kekayaan saudaranya. “Jadi bagaimana, Mbah?” Bibir berlipstik merah memberi kesepakatan harga jasa. Berharap cemas, wanita yang masih terlihat cantik di usia hampir setengah abad itu menanti jawaban pria yang duduk bersila di depannya. Sejenak hanya keheningan yang terasa di ruangan sebuah bangunan terbuat dari bambu seluas 5 x 5 meter. Winan menunggu dengan sabar sang pria mengambil keputusan.

     

    “Harga segitu bisa lama efeknya.”

    Winan membuang napas kasar.

    “Perasaan dulu tidak semahal ini, Mbah?”

     

    Pria paruh baya dengan sebagian helaian putih menghias kepala terkekeh lirih.

    “Kamu tau ‘kan zaman sekarang dan dulu itu sudah berbeda?”

     

    “Iya sih Mbah, tapi masa tidak ada keringanan sedikit.”

    Pria di depan Winan menggeleng. 

     

    “Tidak ada yang ringan. Kamu pikir berurusan dengan hal seperti ini perkara mudah? Setiap hari aku harus mengeluarkan biaya untuk ritual. Mencelakai seseorang dengan cara bertahap juga membutuhkan energi lebih.” 

     

    Selain untuk biaya ritual, ia juga ingin tetap merawat bangunan yang biasa dipergunakan untuknya bekerja. Meski bangunannya sederhana, tetap saja memerlukan biaya untuk mengurusnya. Tempat ritual ini adalah rumah kedua baginya. Selain itu ia juga harus berbagi hasil dengan sang empunya tanah. Ia mana berani membuka praktek di rumah, di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas tidak menyukai praktek ilmu hitam. Membuka praktek saja diam-diam, menawarkan jasa dari mulut ke mulut. Biasanya orang yang pernah memakai jasanya yang akan memberitahu orang lain yang ingin memakai jasa orang pintar. 

     

    Winan pasrah dengan harga yang diinginkan oleh pria di seberang meja kayu berkaki pendek. Melihat begitu banyaknya perlengkapan ritual di atas meja, ia pun memaklumi. 

     

    “Baiklah, kita sepakat.” 

    “Kapan dimulainya?”

    “Semakin cepat, semakin baik.”

    Sang pria mangangguk.

    “Sebagai awal rencana, bagaimana jika ku kirim bawahanku untuk menakut-nakutinya terlebih dahulu?”

    “Boleh Mbah. Biar dia hidupnya tidak tenang sebelum ajal.” 

     

    Senyum merekah di bibir berlipstik merah hingga satu cekungan di bagian pipi kirinya terlihat jelas. Wanita cantik dengan postur yang masih ramping di usia hampir setengah abad itu ingin sekali melihat keponakannya menderita. Rasa dendam akan perlakuan tidak adil ayahnya membuatnya membenci keluarga sang kakak, Apsara.

     

    Dulu, ia mengirim teluh pada kakaknya dan itu berhasil. Sekarang pasti tidak akan gagal. Keyakinannya begitu kuat akan kemampuan orang pintar langganannya. Setiap kali ada orang yang dianggapnya mengganggu, maka ia tidak akan segan-segan memberi pelajaran pada orang tersebut.

     

    Setelah kesepakatan didapat, Winan meninggalkan bangunan di tengah-tengah hutan buatan tersebut. Aksesnya hanya jalan setapak dari pinggiran hutan. Wanita itu meninggalkan kendaraannya di sana. Hampir satu jam wanita itu berjalan untuk sampai ke tempat orang pintar yang bernama Gantha. 

     

    ***

     

    Waktu terasa berhenti ketika dihadapkan dengan hal-hal di luar akal sehat manusia. Meski rasa takut masih bergelayut dalam hati, namun pemuda dengan segala keyakinan akan perlindungan Tuhan untuknya tetap bertahan pada kegiatannya. Berserah diri adalah hal terbaik menurutnya. Makhluk di depannya pasti akan pergi dengan sendirinya jika ia bersikap acuh. 

     

    Benar saja, saat berdiri dari sujudnya, makhluk di depannya sudah tidak ada. Helaan napas penuh kelegaan keluar tanpa hambatan. Pikiran pun berangsur tenang kembali. Hati terasa lapang bak tanpa beban. 

     

    Usai melakukan kegiatannya, Apta memutuskan untuk tidur dan menunda pekerjaannya untuk esok pagi. Lagipula hanya tinggal beberapa lembar saja. Namun niatnya untuk langsung tidur tertunda. Setelah meletakkan perlengkapan ibadahnya ke dalam lemari, pemuda itu berbalik menghadap ranjang. 

     

    Satu makhluk mengerikan berdiri di atas ranjang hampir membuatnya terjengkang. Tubuhnya kira-kira dua meter, rambut gimbal memahkotai kepala besarnya, empat taring besar menyembul dari belahan bibir tebal dengan panjang hampir sampai ke telinga berbulu bak telinga binatang buas. Matanya bulat besar dengan iris merah menyala. Sekujur tubuhnya tertutup bulu lebat layaknya kera. Kuku panjang nan runcing menghias jari-jari tangannya. Kakinya berbentuk seperti kaki kera.

     

    Menelan ludah susah payah, Apta menggeser tubuhnya ke samping menuju pintu keluar kamar. Menekan kuat gagang pintu, menariknya ke dalam, pemuda itu bergegas melangkah keluar dengan tergesa-gesa menuju pintu keluar rumah. Sesampainya di pelataran rumah, ia berlari kecil menuju rumah Wira. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang memastikan makhluk itu tidak mengikutinya, namun harapannya sirna ketika ia melihat penampakan makhluk itu di ambang pintu rumahnya yang tidak sempat ditutup olehnya. Sekuat tenaga ia berlari, namun tetap saja rumah Wira masih terasa jauh dirasa padahal rumah itu hanya di sebelah rumahnya. Ingin berteriak meminta tolong, tapi bibir rapat terkunci, tak mampu terbuka meski keinginan untuk berteriak begitu kuat. 

     

    Apta bernafas lega ketika perjuangannya tidak sia-sia untuk mencapai rumah Wira. Peluh terlihat membasahi kaos hitam yang dikenakannya. Dengan nafas terengah, tangan terkepal, menggedor brutal pintu kayu di depannya. Hanya dalam waktu singkat, pintu di depannya terbuka menampilkan sahabatnya yang terlihat dari raut wajahnya, sahabatnya itu belumlah tidur. 

     

    “Ada … hah! Ada setan!” Mengambil napas dalam mengeluarkan perlahan.

    “Ck! Iya … setannya kamu!”

    “Kamu kok gitu!?”

    Jari telunjuk teracung di depan bibir.

     

    “Ssst! Jangan keras-keras, nanti ada yang dengar. Kamu tau sendiri Ibu itu kayak gimana. Nanti yang ada bisa orang sekampung disuruh grebek rumahmu. Kita kesana aja.” 

     

    Meraih pergelangan tangan Apta, Wira menarik sahabatnya itu ke rumah sebelah setelah menutup pintu rumahnya.

    “Kamu nggak takut, Wir?”

    “Kagak! Aku ini iblis, jadi setan pada takut.” 

    Wira sedikit terkejut ketika memasuki rumah sahabatnya. Hawa negatif terasa begitu kuat hampir di seluruh ruangan. 

    “Besok aku tidur di sini.”

    “Buat apa?”

     

    Sepasang pupil kecoklatan meneliti setiap sudut kamar Apta, namun tidak ada penampakan makhluk apapun yang mengganggu sahabatnya. Pandangannya pun bergulir ke langit-langit ruangan. 

     

    “Ketemu!!”

    Kening Apta berkerut mendengar ucapan sahabatnya. 

    “Apanya yang ketemu?” Apta bertanya dengan nada heran. 

    Masalahnya. Wira terus saja mendongak tanpa mengalihkan pandangan dari satu objek. Saat melihat ke tempat yang sama yang menjadi perhatian sahabatnya itu ia tidak mendapati apa pun.

     

    “Sebaiknya kamu tidur. Tenang aja, aku nggak bakalan pergi.”

    “Janji, ya. Awas kalo aku bangun kamunya nggak ada!”

    “Bawel, ih! Tidur aja sana, besok kesiangan! Nanti aku nyusul! Aku belum ngantuk.”

     

    Apta melewati tubuh sang sahabat menuju ranjang, kemudian berbaring terlentang. Menelan ludah susah payah tatkala bayangan makhluk mengerikan terlintas dalam pikiran. Meski tidak sendirian, tapi apakah dirinya masih bisa terlelap dengan bayang-bayang buruk yang menyertai. Meski pernah melihat penampakan yang lainnya, namun tak semengerikan yang tadi dilihatnya.

     

    TBC.

     

    Kreator : Lastri

    Bagikan ke

    Comment Closed: BAB 18 jinjang

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021