Niat hati ingin memejamkan mata, namun sekelebat rasa tak nyaman di hati begitu mengganggu. Perasaan mengganjal begitu menyiksa.
“Seseorang mengirim sebangsa kami ke rumah Tuan Apta, Tuan.”
Satu informasi dari bawahannya membuat Wira urung bergelung nyaman menyambut mimpi indahnya. Kapan dirinya istirahat dari para pengganggu yang datang silih berganti mengganggu orang-orang di sekitarnya. Pemuda jangkung itu berjalan menghampiri pintu utama rumahnya, berniat untuk memeriksa keadaan sang sahabat. Baru saja kaki menginjak ruang santai suara gedoran pintu terdengar. Ia yakin itu pasti Apta yang sedang ketakutan. Benar saja, saat membuka pintu, penampakan sang sahabat yang didapatinya dengan raut muka pasi. Mau tidak mau malam ini dirinya harus tidur terlambat untuk memastikan makhluk itu tidaklah macam-macam.
Menghela napas, Wira mengamati makhluk yang masih betah bertengger di langit-langit kamar Apta, menatap tanpa berkedip pemuda yang kini terlelap dan tak peduli dengan keberadaannya.
“Siapa yang mengirimmu!?”
Kesal keberadaannya dianggap angin lalu, Wira bertanya dengan nada ketus.
“Tampang jelek saja bangga. Sok-sokan eksis. Manusia juga ogah liatnya.”
Dua tangan terlipat di atas perut, sepasang mata tajam menatap makhluk di atas sana tanpa rasa takut. Punggung lebarnya bersandar di sandaran kursi kayu yang didudukinya.
Butuh beberapa waktu bagi makhluk di atas sana untuk menyadari, jika pemuda yang sedari tadi duduk di atas kursi depan meja bukanlah manusia biasa. Terlalu terpaku pada korban membuatnya melupakan pemuda itu. Bagaimana bisa pemuda itu menekan aura mendominasi yang begitu kuat? Menyadari jika pemuda yang masih menatap tajam dirinya bukanlah tandingannya, nyalinya pun mulai menciut. Tanpa pikir panjang lagi, ia pun bergegas pergi meninggalkan kamar korbannya.
Rewanda yang berjaga di atas rumah Wira bersama Maesa bergegas mengikuti makhluk yang baru saja keluar dari rumah Apta.
Maesa tetap tinggal menjaga rumah tuannya.
Sepeninggal makhluk pengganggu, Wira memasang penghalang di rumah Apta agar tidak mudah dimasuki oleh makhluk yang mulai berdatangan mengganggu kehidupan sahabatnya sebelum mengikuti jejak sahabatnya untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya.
***
Sepasang mata kelam terpaku pada layar ponsel yang baru saja menggelap. Untuk beberapa tahun belakangan, pria berstatus pak dhenya tak pernah sekalipun menghubunginya. Hubungan mereka memanglah tidak dekat. Selain jarak rumah yang memakan waktu dua jam perjalanan menggunakan sepeda motor, pak dhenya itu adalah salah satu dari saudara ayahnya yang menolak mengurusnya di saat ia kehilangan ke-dua orangtuanya.
“Pagi-pagi udah bengong. Awas kesambet!”
Menghela napas, Apta bergeming. Duduk termangu di sofa ruang tamu rumahnya. Tak dihiraukannya Wira yang ikut duduk, dan tidak langsung pulang.
“Pulang, gih!”
“Kok, ngusir!?”
Apta memasukan ponsel ke dalam tas ransel di atas pangkuan yang berisi laptop dan lembaran kerja siswa serta buku pelajaran.
“Aku mau kerja!”
Mengernyit heran, praduga akan suatu masalah menimpa sahabatnya merasuk dalam pikiran.
“Ada masalah?”
“Nggak ada!”
Menyampirkan ransel ke atas bahu, Apta bangkit siap melangkah meninggalkan ruang tamu, namun urung ketika sepasang matanya bertemu pandang dengan sepasang mata sahabatnya.
“Nanti pulang kerja kujelasin! Nggak usah masang muka kayak orang nggak dianggep!”
Bibir sedikit berisi terangkat ke atas membentuk bulan sabit.
“Kalo nggak gitu, kamunya sok misterius.”
Menghela napas lelah, tubuh berbalik meninggalkan rumah untuk bekerja, sedangkan Wira masih tetap di tempatnya. Menyandarkan tubuhnya, perlahan sepasang bola matanya tertelan kelopak mata.
“Bagaimana Rewanda?”
Perwujudan pria dewasa berkumis tipis dengan kulit sawo matang dan tinggi kurang dari 170 CM muncul di belakang tubuh Wira.
“Jin itu kiriman dari orang pintar yang memiliki tempat praktek di hutan buatan milik juragan dari kota, Tuan. Menurut desas-desus yang beredar di kalangan bangsa kami, orang pintar itu juga yang pernah mengirim teluh pada orangtua Tuan Apta enam tahun lalu.”
Spontan Wira membuka kedua matanya, kemudian mencondongkan tubuhnya. Rasa terkejut menyambangi hatinya.
“Siapa yang menggunakan jasanya?”
“Saudara Ayah Tuan Apta, Tuan.”
Menggeram rendah, dua tangan terkepal di atas pangkuan. Kali ini ia tidak akan membiarkan orang-orang itu mengambil apa yang tersisa dari salah satu orang yang sudah dianggapnya keluarga.
“Apakah ini masih berhubungan dengan tanah warisan?”
“Betul, Tuan.”
Wira membuang nafas kasar, tubuhnya bangkit dari duduknya, kemudian melangkah meninggalkan rumah Apta untuk pulang. Sedikit amarah menguasai hatinya. Memang dirinya tidak pernah merasakan hidup kesusahan, tapi menurutnya bersenang-senang dengan mengambil hak orang lain itu salah, apalagi dengan jalan yang tidak baik. Apakah hak yang diambil secara paksa dahulu masih kurang cukup?
***
Wira meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Melakukan perjalanan selama dua jam lebih membuat tubuhnya seperti batu. Hari mulai memasuki waktu sore hari ketika dirinya dan sahabatnya sampai ke sebuah kota kecil di mana pak dhe Apta tinggal. Rumah di depannya cukup mewah, namun terlihat suram. Awan gelap memayungi bangunan tersebut.
“Karma kah?”
Wira berkacak pinggang di depan pintu gerbang berwarna coklat. Di sampingnya motor Apta terparkir. Sang empunya sibuk mengetuk pintu besi dengan gembok untuk memberitahu kedatangannya. Meneliti sekitar, Wira hanya menggeleng tak percaya. Tempat itu penuh dengan jin pembawa penyakit, menurutnya. Sepertinya sang empunya rumah mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatannya.
“Tunggu sebentar!”
Apta menghentikan aksinya ketika suara seorang wanita terdengar olehnya. Seorang wanita kisaran 40 tahunan terlihat ketika pintu gerbang terbuka.
“Pak Pamidi ada?”
Kening wanita di depan Apta berkerut dalam.
“Mas Apta, ya?”
Apta tersenyum tipis.
“Iya.”
“Mari masuk, Mas!” Sang wanita seketika memasang wajah cerah.
Apta menoleh ke samping.
“Yuk, Wir … masuk!”
Sang wanita terkejut ketika pemuda di depannya datang membawa teman. Pandangan luar memang tidaklah terlihat akibat pagar setinggi empat meter yang berdiri kokoh tertutup oleh fiber plastik.
“Eh!? Masnya bawa temen, tho?”
Apta tersenyum.
Wira mengedikkan bahu, acuh. Kakinya melangkah menghampiri sang sahabat.
“Yuk!”
Dengan wajah polos, Wira menimpali ucapan sahabatnya. Bahkan ia tidak peduli dengan wajah kurang berkenan sang wanita. Ia tahu ada sesuatu yang janggal pada wanita yang kini berjalan menuntunnya masuk ke dalam bangunan berlantai dua.
Udara pengap menyambut Wira begitu masuk ke ruang utama. Ruangan itu tidaklah terlalu luas. Hanya ada satu set sofa serta meja kaca persegi yang berada di ruangan 5 x 4 meter. Berbelok ke samping kiri, sebuah pintu menanti kedatangannya serta sahabatnya. Di dalam ruangan yang terlihat luas dengan ranjang besar nan empuk, terbaring seorang pria yang terlihat sangat tua. Wira mengenali siapa pria itu. Meski jarang sekali bersua, tapi ia tidak akan lupa wajah itu meski sudah terlihat keriput.
Rambutnya telah memutih, dan terlihat jarang. Tubuhnya ringkih dan beberapa luka bernanah menghiasi bagian tubuh yang tidak tertutup kain. Pria bernama Pamidi itu hanya menutupi bagian bawah tubuhnya dengan kain jarik. Dipikir-pikir, seharusnya Pamidi masihlah sehat di usianya saat ini. Pria itu tidak terlihat seperti usia 50 tahun, tetapi di atas usia renta. Kedua tangannya terlihat kaku, dan salah satunya terlipat di atas perut. Nafasnya sedikit kasar.
Sebisa mungkin, baik Wira maupun Apta, tidak menunjukkan rasa jijiknya. Bahkan keduanya menahan mual saat mencium aroma yang menguar dari tubuh pria paruh baya yang kini menjelma menjadi tua renta. Entah sejak kapan pria itu sakit. Setidaknya kurang dari tiga tahunan. Terakhir kali pria itu datang ke tempat Apta untuk meminta surat tanah atas nama ayahnya agar dijual dan dibagi rata, namun Apta menolak. Tanah itu bukanlah warisan kakeknya, melainkan hasil kerja keras kedua orangtuanya.
Saat kakeknya mulai sakit-sakitan, tidak ada yang merawatnya. Bahkan perkebunan di kaki bukit milik sang kakek hanya kedua orangtuanya yang mengurus. Saudara yang lain tinggal menikmati hasil dari perkebunan cengkeh yang dikelola oleh kedua orangtuanya. Kedua orang tuanya adalah seorang pekerja keras lagi sederhana. Uang yang mereka kumpulkan susah payah digunakan untuk membeli tanah yang cukup luas dan di atas tanah itu berdiri kokoh rumah peninggalan kedua orangtuanya.
TBC.
Kreator : Lastri
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: BAB 19 jinjang
Sorry, comment are closed for this post.