Tujuh bulan kemudian.
Di dalam kamar sempit itu, Amanda mengoyak lembaran koran. Koran berjudul Sekretaris CEO Zach merayu manajer perusahaan untuk menutupi kehamilan yang tidak diketahui siapa ayahnya.
Membaca artikel itu Amanda menangis. Tangannya mengelus perut yang membuncit karena kehamilan telah menginjak delapan bulan.
Setelah peristiwa dirinya bersama Pak Ryan. Keesokan harinya, Amanda langsung membuat surat pengunduran diri. Ia tidak berani menghadapi Tuan Zach, atau akibat dirinya mungkin saja performance perusahaan menjadi buruk.
“Non, ayo sarapan!”
Terdengar suara bibi Marni.
“Sebentar, Bi Marni.”
Berkali-kali Amanda mengusap pipi agar tidak tampak air mata. Sembari berkaca, tangannya mengusap sedikit bedak di pipi. Kesan segar merona di raut muka cantik itu. Bergegas gadis itu keluar dari kamar.
“Nona, ini urap dengan lauk ikan tuna, baik untuk kecerdasan bayi.”
“Oh oh. Aku lupa mematikan kompor!” Seru Bibi Marni berlari ke dapur.
Krompyang!
Tersentak Amanda mendengar sesuatu jatuh dari dapur. Ia berusaha berdiri sembari memegang perut.
“Apa itu, Bi?”
“Tidak apa-apa, Non. Cuma panci jatuh.”
Mendengar kata-kata bibi Marni, Amanda kembali tenang. Ia akan duduk, tetapi tiba-tiba keningnya berkerut seperti menahan sesuatu. Beberapa kali Amanda menarik napas dan mengeluarkannya kembali.
“Aduh! Nyeri sekali!”
Amanda berusaha duduk kembali, tetapi perut besar itu sungguh menyulitkan. Ia berhasil duduk setelah manjatuhkan diri ke kursi.
Braakk!
Naas, kursi itu tidak kuat menahan berat Amanda. Kaki kursi patah, Amanda jatuh terlentang di lantai.
“Nona!” pekik Bibi Marni.
“Bi, pe-perutku sa-sakiittt,” ucap Amanda terbata-bata menahan nyeri.
“Apa mungkin sudah saatnya lahir ya, Non?” tanya Bibi Marni dengan khawatir.
“Tunggu sebentar, Non!”
Bibi Marni segera membantu Amanda berdiri. Setelah berhasil duduk, bi Marni melihat baju bawah Amanda berwarna kemerahan.
“Oh ooh. Nona harus dibawa ke rumah sakit. Bibi akan minta bantuan Pak Udin.”
Perjalanan ke rumah sakit memerlukan waktu satu setengah jam, meskipun Pak Udin melajukan mobil pikap dengan sekuat tenaga. Mobil pikap yang biasa untuk mengangkut ikan, bukanlah mobil yang di desain untuk penumpang.
Sejak meninggalkan Jakarta, tepatnya perusahaan Zach, Amanda tinggal di desa kecil di pinggiran pantai selatan di Jawa Timur. Desa Kalibatur tempat asal bibi Marni. Untuk hidup mereka, Amanda berhemat menggunakan tabungan selama bekerja dan warisan dari ayahnya. Meskipun kadang-kadang, bibi Marni ikut menjual ikan bersama keluarga Pak Udin dan istrinya.
“Tolong segera, Nona saya mau melahirkan!”
Bibi Marni berseru memanggil petugas di IGD RS Iskak. Tepat waktunya, Amanda benar-benar melahirkan bayi dengan normal.
Oek! Oek! Oek!
Tangis bayi terdengar. Beberapa saat kemudian tampak seorang bayi dalam selimut yang di letakkan dalam box bayi. Seorang dokter memeriksa keadaan bayi itu. Bibi Marni tersenyum senang ketika salah satu bidan mengatakan bayi Amanda berjenis kelamin laki-laki.
“Dokter, Tolong segera ke ruang bersalin! Pasien Amanda ….”
Sangat jelas bibi Marni mendengar nama Amanda disebut petugas yang baru memasuki ruang bayi. Wanita itu panik, cemas melihat dokter dan bidan berlarian kembali ke ruang bersalin.
“Ada apa dengan Nona Amanda, Dokter?”
Huhuhuuuuuu….
Bibi Marni menangis, ketakutan menyergap dadanya. Ia menjatuhkan diri, duduk di lantai dengan lemas.
Bersambung ke Bab 3.
Comment Closed: Bab 2. Dua Permata itu Ternyata Buah Hati Boss
Sorry, comment are closed for this post.