KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bab 3: Mengubah Lingkungan Sekolah Menjadi Laboratorium: Kekuatan Pembelajaran Kontekstual

    Bab 3: Mengubah Lingkungan Sekolah Menjadi Laboratorium: Kekuatan Pembelajaran Kontekstual

    BY 12 Okt 2025 Dilihat: 10 kali
    Berpikir Kritis

    Menghidupkan Ilmu Konservasi dari Desa ke Sekolah

    Sebagai guru di tingkat SMP, saya menghadapi kenyataan yang sering terasa seperti lelucon pahit: anak-anak saya bisa hafal mati definisi konservasi in situ dan ex situ, tetapi mereka bingung ketika harus menggunakan ilmu itu untuk memecahkan masalah di halaman rumah mereka.

    Mereka tahu bahwa in situ adalah perlindungan di tempat aslinya, seperti yang ada di buku. Tapi mereka tidak pernah menganggap sepetak kebun di belakang rumah yang menyimpan benih-benih langka sebagai area in situ yang harus mereka jaga. Mereka tahu ex situ adalah pelestarian di luar habitat, tapi mereka tidak melihat kolam ikan buatan di samping sawah sebagai bentuk ex situ yang melindungi ikan dari sungai yang tercemar.

    Inilah akar masalahnya: ilmu pengetahuan yang mereka terima terlalu jauh dari konteks hidup mereka. Konservasi terasa sebagai tugas negara atau ahli biologi dari kota besar. Akibatnya, mereka merasa tidak punya tanggung jawab atas lingkungan di sekeliling mereka. Pengetahuan itu mandek, tidak bisa menjadi alat solusi.

    Saya harus mengubah filosofi mengajar saya. Saya harus membuat mereka mengerti bahwa mereka adalah pemilik masalah, dan ilmu pengetahuan adalah kunci solusi mereka.

    Filosofi kontekstual adalah jawaban saya. Ia berdiri di atas tiga pilar yang sangat membumi: Konstruktivisme (pengetahuan dibangun sendiri), Isu Lingkungan Lokal (menciptakan urgensi), dan Pembelajaran Kontekstual (menghubungkan kelas dengan desa).

     

    Pilar I: Menciptakan Urgensi Melalui Isu Lingkungan Lokal

    Untuk memulai pembelajaran, saya tidak lagi membuka buku. Saya membuka diskusi tentang masalah desa. Tujuannya adalah menciptakan urgensi, sehingga murid merasa perlu menguasai materi, bukan sekadar disuruh. Inilah peran Isu Lingkungan Lokal (Socioscientific Issues/SSI).

    Saya teringat kasus yang sangat kontekstual: maraknya pengambilan batu kali secara berlebihan di sungai yang mengalir melewati desa kami.

    Saya ajukan SSI ini ke murid:

    “Beberapa kepala keluarga mendapat uang dari menjual batu kali untuk pembangunan di kota (alasan ekonomi). Tapi pengambilan batu ini membuat tebing sungai longsor dan mengancam sawah kita. Secara ilmu konservasi, apa yang harus kita lakukan untuk sawah kita?”

    Seketika, ilmu Biologi dan Geografi menjadi sangat penting.

    • Mereka berdebat tentang erosi dan fungsi penahan air (Geografi/Sains).

    • Mereka membahas etika antara mencari nafkah dan menjaga sawah keluarga (Sosial/Moral).

    • Mereka terpaksa mencari solusi berbasis konservasi.

    Ide Solusi Mereka:

    1. Aksi In Situ: Melarang total pengambilan batu di area yang rawan longsor, dan menanam pohon penguat tebing di sepanjang aliran sungai (melindungi habitat asli sungai).

    2. Aksi Ex Situ: Mengalihkan fokus mata pencaharian ke budidaya perikanan darat menggunakan kolam buatan di lahan kering (menciptakan habitat buatan yang terkontrol, jauh dari sungai).

    Lihatlah proses ini. Mereka tidak menunggu saya memberi definisi in situ dan ex situ. Mereka mengkonstruksi kedua konsep itu sendiri dari kebutuhan nyata: satu untuk melindungi yang ada (sungai), satu lagi untuk menciptakan alternatif (kolam buatan) bagi kehidupan mereka. Inilah pembelajaran yang logis, tidak ambigu, karena berbasis pada konflik yang mereka rasakan.

    Pilar II: Konstruktivisme dan Kepemilikan Pengetahuan (Studi Kasus Kontekstual)

    Setelah masalah diangkat, tugas saya sebagai guru adalah memberikan alat, bukan jawaban. Inilah inti dari Konstruktivisme: pengetahuan yang paling melekat adalah yang dibangun sendiri oleh murid (Piaget, 1952).

    Saya menguji konsep ini dengan kasus konservasi ex situ yang paling kontekstual: tanaman pangan lokal.

    Banyak murid SMP di desa saya kini hanya mengenal padi dan jagung yang dijual di pasar. Mereka hampir melupakan tanaman umbi-umbian atau sayur lokal yang dulunya menjadi cadangan pangan utama desa.

    Proyek Kontekstual: Eksperimen Pertumbuhan dan Perkembangan Kacang Hijau

    Saya mengajak murid melakukan proyek sederhana tapi bermakna: mengamati pertumbuhan dan perkembangan kacang hijau. Bukan sekadar menanam dan mencatat tinggi tanaman, melainkan memahami faktor-faktor lingkungan yang benar-benar memengaruhi kehidupan tumbuhan.

    Untuk itu, saya membagi mereka ke dalam beberapa kelompok dengan fokus berbeda:

    1. Kelompok Media Tanam – mereka meneliti perbedaan pertumbuhan kacang hijau pada media tanah, kapas basah, dan sekam. Dari sini mereka belajar bahwa media bukan hanya “tempat tumbuh,” tetapi juga penyedia nutrisi dan kelembaban yang berperan besar dalam perkembangan akar dan batang.

    2. Kelompok Frekuensi Penyiraman – mereka menguji seberapa sering penyiraman mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Ada yang menyiram setiap hari, dua hari sekali, bahkan ada yang hanya seminggu sekali. Dari hasilnya, mereka menemukan titik seimbang: terlalu sedikit air membuat tanaman kering, sementara terlalu banyak air membuat akar cepat busuk.

    3. Kelompok Lokasi Penanaman – mereka menanam kacang hijau di tiga lokasi berbeda: ruang terbuka, teras rumah, dan di dalam rumah. Mereka mengamati bahwa cahaya matahari adalah faktor penting. Tanaman di ruang terbuka tumbuh lebih cepat dan sehat, sementara yang di dalam rumah tumbuh lebih lambat dan kurus karena kekurangan cahaya.

    Hasil pengamatan mereka kemudian dibahas bersama. Murid menyadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan bukan hanya soal “tumbuh tinggi,” tetapi hasil interaksi banyak faktor: cahaya, air, nutrisi, dan lingkungan sekitarnya.

    Proses ini terasa sangat logis dan membumi. Dari awal mereka tidak sekadar mendengar teori faktor-faktor pertumbuhan dari buku, tetapi mengalami sendiri bagaimana kacang hijau mereka bereaksi terhadap perlakuan berbeda. Mereka melihat, merasakan, dan mencatat hasilnya. Karena itu, mereka tidak lagi bertanya, “Apa gunanya belajar ini, Pak?” — manfaatnya langsung terlihat pada tanaman kecil yang mereka rawat dengan tangan mereka sendiri.

    Pilar III: Menghubungkan Titik-Titik – Guru sebagai Pemantik Aksi

    Filosofi kontekstual sejatinya adalah cara membuat ilmu pengetahuan hidup di tengah masyarakat. Ketika murid saya selesai melakukan eksperimen sederhana tentang pertumbuhan dan perkembangan kacang hijau, mereka tidak hanya berhenti pada tabel data atau grafik tinggi tanaman. Mereka mulai bertanya: mengapa tanaman di teras rumah tumbuh lebih lambat? Mengapa media sekam lebih gembur dibanding tanah biasa? Mengapa tanaman yang terlalu sering disiram justru mati lebih cepat?

    Pertanyaan-pertanyaan itu membuka ruang bagi mereka untuk melihat bahwa setiap keputusan kecil—cara menyiram, memilih media, atau menentukan lokasi—sebenarnya adalah bentuk intervensi terhadap lingkungan. Dari sinilah peran guru sebagai pemantik terlihat: saya membantu mereka menghubungkan titik-titik antara hasil percobaan di kelas dengan persoalan nyata di sekitar desa.

    Murid-murid kemudian menyusun laporan bergaya infografis. Bukan hanya grafik tinggi kacang hijau, tetapi juga rekomendasi: bagaimana masyarakat desa bisa menanam sayuran di teras rumah dengan lebih efisien, atau bagaimana cara menghemat air saat musim kemarau tanpa mengorbankan pertumbuhan tanaman. Infografis itu mereka presentasikan, bahkan ada yang membawanya ke balai desa sebagai ide kecil untuk program kebun keluarga.

    Inilah puncak transformasi:

    • Dulu: mereka pasif, sekadar menghafal faktor-faktor pertumbuhan tumbuhan dari buku.

    • Sekarang: mereka aktif, menggunakan data eksperimen mereka untuk memberi saran nyata bagi lingkungan sekitar.

    Kesadaran pun tumbuh bahwa ilmuwan bukan hanya mereka yang bekerja di laboratorium besar, tetapi juga anak-anak desa yang berani menggunakan ilmu kecil mereka untuk perubahan nyata.

    Tugas kita sebagai guru transformatif adalah menjaga agar api itu tidak padam. Dengan terus menanyakan, “Bagaimana ilmu yang kamu pelajari hari ini bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah di kampungmu besok?”, kita menyiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bertanggung jawab dan tangguh menghadapi tantangan hidup di masyarakat.

    Referensi:

    Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning: What it is and why it’s here to stay. Corwin Press.

    Piaget, J., & Cook, M. (1952). The origins of intelligence in children (Vol. 8, No. 5, pp. 18-1952). New York: International universities press

    Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes (Vol. 86). Harvard university press.

    Kreator : Abdurrahman Mahmud

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bab 3: Mengubah Lingkungan Sekolah Menjadi Laboratorium: Kekuatan Pembelajaran Kontekstual

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]

      Okt 21, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021