Sejak berumur lima tahun, Suli memang dikenal sangat cantik, sopan dan memiliki senyum yang manis dengan dua lesung pipinya. Kini, dia beranjak besar, membuat kecantikan Suli lebih terlihat lagi. Badannya yang tinggi, langsing, kulitnya kuning langsat, matanya bulat hitam dengan bulu mata yang lentik. Apalagi kalau pakai baju sekolah, rambutnya diikat dua, sudah seperti gadis desa yang cantik jelita. Banyak teman-temannya yang terkadang suka menjodoh-jodohkan dengan beberapa teman lelakinya. Jika sudah seperti itu, Suli akan diam tersipu malu mengeluarkan senyum tipis yang membuat pipinya sedikit merah muda. Terkadang saat dia menahan marah malah membuat wajahnya semakin lucu karena yang dia lakukan hanyalah mengerutkan wajah.
Di kampung, menjodoh-jodohkan memang sudah wajar. Bahkan, terkadang para orang tua juga suka menjodohkan anak mereka walaupun hanya bercanda. Tetapi, ada juga yang serius bilang kepada Suli saat mereka saling berpapasan. Mereka akan dengan bangga berkata bahwa Suli akan jadi menantu mereka. Candaan-candaan seperti itu memang sudah biasa di daerah mereka. Tradisi menikah muda juga sudah melekat di desa mereka dan sudah turun menurun mereka lakukan dengan alasan tidak boleh kawin lama-lama nanti jadi perawan tua. Ada juga yang mengatakan jika sudah ada yang melamar tidak boleh ditolak, nanti jodohnya bisa jauh. Entah ini mitos atau fakta, yang jelas hampir semua orang mempercayainya. Tidak terkecuali Ibu dan Bapak Suli. Semua satu pemikiran saat menyangkut soal jodoh.
Banyak anak-anak yang baru lulus SD juga sudah menikah atau sudah dilamar orang, yang biasanya akan dinikahkan saat bulan panen, bulan banyak orang yang punya uang karena hasil panen mereka yang melimpah. Itu semua berlaku untuk yang mau punya hajat ataupun yang dimintai sumbangan. Adat di kampung sangatlah kental, dimana jika ada yang akan memiliki hajat (pernikahan/sunatan/lainnya), mereka akan keliling kampung untuk nempoi atau meminta sumbangan kepada beberapa orang yang sekiranya akrab dengan mereka. Terkadang, ada juga yang nempoi hampir setengah kampung. Nanti jika yang diterima sumbangan memiliki hajat, maka yang sekarang menerima sumbangan harus mengembalikan sumbangan mereka sesuai dengan yang dulu diberikan dan ditambah dengan sumbangan baru.
Adat ini terkesan seperti saling tolong menolong, tapi sebenarnya kita tidak akan tau di masa depan. Karena, jika yang menerima sumbangan itu sudah meninggal, maka yang wajib mengembalikan sumbangan adalah anak keturunan mereka (terkesan seperti hutang). Padahal, kita tidak tahu apakah nanti di masa depan mereka yang menerima sumbangan memiliki uang untuk mengembalikan sumbangan itu atau tidak. Anehnya, adat itu berlaku untuk yang sengaja meminta sumbangan ataupun yang tidak meminta sumbangan (tidak ulem atau biasa disebut dengan tidak menyebar undangan). Barang yang diminta beraneka ragam, ada yang minta tape ketan, pisang, rokok, gula, beras dan semua kebutuhan dapur lainnya yang sekiranya membutuhkan banyak uang untuk membelinya.
Bersyukurnya, saat musim panen terkadang bahan pokok sedikit lebih murah dibanding bulan lainnya, walaupun ada juga yang naik. Tapi, ha itu tidak memberatkan mereka dikarenakan semua orang sedang punya banyak uang hasil dari panen yang sedang melimpah.
Keluarga Suli adalah satu-satunya yang tidak memiliki sawah. Semua orang di desanya sudah tahu bahwa yang terkenal dari keluarga Pak Kasmen bukanlah kekayaan, melainkan kebaikan hati dan sopan santun terhadap orang lain dan didikan terhadap anak mereka yang luar biasa membuat mereka lebih dikenal di masyarakatnya.
“Aduh ada Suli lewat, toh. Ini dia calon mantune Ibu wis cantik, baik, sopan dan pintar lagi. Mau kan jadi menantunya Ibu?,Hehe.”
Tawa tetangganya yang memang sudah sering menggoda Suli agar mau menjadi anak perempuannya.
Di kampung Wetan Kali memang kebanyakan sepantaran Suli memiliki anak laki-laki. Hanya satu orang saja yang memiliki anak perempuan sebaya dengan Suli atau di atasnya( kakak).
Suli tersenyum sopan atas candaan tetangganya itu. Di kampung panggilan untuk orang menengah ke atas sering dipanggil Bu’e atau Pak, sebagai panggilan formal mereka dan akan ditambah nama kecil mereka untuk panggilannya, seperti halnya Bu’e ti, Bu’e Sum, Pak Narto, dll.
“Bukan deh, Bu. Suli buat si Budi cocok ini. Yang satu cantik dan yang satu tampan,” ucap Bu’e Sum yang memuji Suli dan juga putranya.
“Monggo Bu’e semua, saya duluan,” pamit Suli sopan sambil tersenyum meninggalkan ibu-ibu yang sedang berkumpul. Dia jalan duluan, pulang dari mushola sehabis mengaji.
“Bu’e, itu ibu-ibu suka sekali sih begituin saya. Kan saya malu di gituin di jalan.” Aduan Suli kepada ibunya yang sedih dan malu karena digoda oleh ibu-ibu untuk menjadi istri dari anak mereka.
“Digituin gimana sih, Nduk? Gak paham Ibu sama maksudmu.”
“Ya itu, suka bilang saya mau dinikahkan sama anak-anak mereka, Bu’e.”
“Oh itu, ya disenyumin aja. Gak usah risau. Lagian itu becandaan saja kok, gak usah di pikirin.”
Kang Tarjo tiba tiba ikut nimbrung. “Tapi, gak gitu loh, Bu. Kadang omongan mereka itu suka serius. Aku dengernya sih gitu, Bu’e.”
Kang Tarjo, kakak pertama Suli, juga merasakan hal yang sama seperti adik kesayangannya.
“Iya loh, Bu.” Suli terlihat sedikit kesal.
“Apapun itu, wis gak usah dipikirin, yang penting belajar yang rajin soalnya kamu kan minggu depan ulangan kelulusan, toh. Belajar saja. Tarjo juga yang lain, semua mau naik kelas gak?” ucap Ibu.
“Sudah, sana. belajar dulu,” usir ibunya untuk menenangkan anak-anaknya.
Di masa ujian ini, Ibu dan Bapak Suli akan meminta anak-anaknya fokus belajar agar lulus dan naik kelas. Untuk pekerjaan rumah biasanya Ibu nyicil mengerjakan dari sebelum subuh sampai malam, dibantu Bapak agar cepat selesai dan anaknya bisa fokus belajar.
Setiap Suli ingat perkataan para tetangganya yang membuat dia tidak nyaman dan ingin marah, maka dia juga akan ingat perkataan Bapak yang selalu menyampaikan satu wejangan yang membuatnya lebih sabar dan tenang kembali.
”Laa taghdob walakal Jannah.”
Janganlah kamu suka marah, maka bagimu surga. (HR Ath-Tabrani).
Hadist itu selalu Suli ulangi terus jika hatinya sedang tidak senang atas perkataan orang lain. Daripada mikirin perkataan orang lain yang hanya di ujung lidahnya, lebih baik mikirin hal yang lebih bermanfaat. Meski tetap saja bohong jika dia tidak terusik, sebisa mungkin Suli mencoba untuk melupakan dan fokus dengan belajar saja.
Terkadang namanya manusia masih dipenuhi nafsu dengan rasa jengkel, tapi kita harus mampu melawan dengan berpikir positif dan terus belajar memperbaiki diri dimulai dari ucapan kita. Karena kita tidak bisa menutup mulut orang lain yang banyak bicara membicarakan kita, tapi yang kita bisa lakukan adalah menutup mulut kita sendiri untuk tidak membalas perkataan mereka karena itu adalah perbuatan yang sia-sia.
Sebagai gadis desa yang sudah terlanjur terkenal, Suli mencoba untuk terus merunduk, tidak boleh sombong apalagi berbangga diri. Semua pujian atau hinaan hanyalah sampai di ujung lidah mereka saja. Dan, obat paling ampuh untuk membentengi diri adalah dengan iman dan menyibukkan diri dengan mencari ilmu, karena perempuan jika hidupnya tidak disibukkan dengan mencari ilmu maka dia akan disibukkan dengan perasaannya.
Kreator : Siti Purwaningsih (Nengshuwartii)
Comment Closed: BAB 4 – GADIS DESA
Sorry, comment are closed for this post.