Maesa ingin meratapi nasib sialnya, namun urung karena malu dengan wujud manusianya yang kekar, tapi pertahanannya serapuh kaca, mudah pecah. Sepasang mata kecoklatan terus menatapnya garang, seakan sarat akan dendam. Tuannya memang sesuatu, semakin dituruti semakin tak tahu balas budi. Untung saja tuannya sedang dalam kondisi kalut dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Seandainya tuannya itu tau dirinya berpikiran seperti itu, sudah dipastikan tuannya benar-benar akan memusnahkannya.
Ingin melarikan diri, namun tidak bisa. Dirinya sudah terikat dengan tuannya. Meski galak dan menakutkan, sebenarnya Wira adalah sosok yang baik. Apalagi di kalangan jin. Wira selalu membebaskan para jin yang selalu diperbudak oleh dukun tidak bertanggung jawab. Dan selama diperbudak mereka diperlakukan kurang baik. Sebagai contoh; jika pelanggan kurang puas, mereka selalu disiksa dan tidak diberi makan. Bukan para jin itu tidak bisa melawan, hanya saja jika sudah terikat, maka ia takkan bisa lari dari tuannya. Tuannya adalah seorang pengendali kehidupan mereka. Maesa sangat bersyukur, tuannya saat ini meski suka marah-marah, tapi hatinya baik. Memberinya makan dengan layak. Terkadang, ayam hitam kesukaannya pun selalu diberikan cuma-cuma.
“Apa perlu aku mendirikan sekolah untuk para jin yang bodoh!?”
“Jangan repot-repot Tuan. Tuan saja sudah cukup pintar mengajari kami, jadi tidak per .…” Maesa bungkam, tatkala pandangan tuannya makin menajam ke arahnya. Ingin berlindung di belakang Rewanda, tapi temannya ada di belakang tuannya. Lagi pula perubahan temannya tak mungkin bisa menyembunyikan tubuhnya yang besar.
“Kalian berisik sekali, tidak kusangka, kalian berdua ternyata jin rendahan. Mudah diperbudak manusia.”
Menghela nafas kasar, Wira mengambil belati dengan sarung, serta gagang terbuat dari bambu kuning yang terselip di pinggang. Mengeluarkan belati dari sarungnya, tanpa pikir panjang, pemuda itu langsung melemparnya ke arah batu besar di tengah gua. Gua itu bukanlah gua yang panjang. Hanya beberapa puluh meter menjorok ke dalam dengan ruangan luas setelah pintu masuk. Di tengah ruangan ada sebuah lubang besar di langit-langit gua.
“ARGH …! SIALAN KAU MANUSIA RENDAHAN!!!”
Melangkah menghampiri batu, bibir tersenyum mengejek. “Kamu meremehkanku?”. Sepasang matanya meneliti dengan seksama makhluk yang terperangkap di dalam pohon. Telunjuknya menyentuh bagian ujung gagang belati, bibirnya terbuka membaca sebuah mantra. Jari telunjuk menekan belati agar semakin menusuk lebih dalam. Suara jeritan pilu terdengar memekakkan telinga, setelah itu.
“Ampun! Maafkan, saya Tuan!”
Wira menghentikan kegiatannya kala jin yang menempati pohon di depannya terlihat sudah tidak berdaya. Sebenarnya ia enggan berurusan dengan makhluk yang menurutnya dari sebagian jenisnya, jin di depannya termasuk golongan makhluk picik. Tidak bisa dipercaya. “Kau adalah makhluk kesekian yang membuat hariku semakin buruk!”
“Maafkan saya Tuan. Tolong bebaskan saya dari sini. Saya berjanji akan menjadi pengikut Tuan yang setia.”
Mengangkat sebelah alis, bibir menyeringai. “Cih!” Mempunyai dua pengikut saja sudah membuatnya ingin melenyapkan mereka, apalagi ditambah makhluk picik seperti ini. Bisa-bisa ia membakar hutan sampai habis. “Baik, mungkin kamu bisa menjagaku saat bersemedi nanti.” Meski riskan memelihara makhluk di depannya, namun Wira tetap membebaskannya. Toh, jika berulah ia bisa mengembalikan jin itu kembali ke asalnya.
Mencabut belati, menggores sedikit jari telunjuknya, dibiarkannya tiga tetes darah jatuh di bagian bekas tusukan belatinya.“Marmati, Kadaningsun kan katon lan ora katon.Kang karawatan lan ora krawatan. Ingsun weweh panggon langkung jembar kanggo kuripan liyane kersaning Gusti ingkang pawehi kuripan.”
(Saudara laki-laki dan perempuan yang gaib, saudara yang terlihat dan tidak terlihat.Yang terawat dan tidak terawat. Aku memberi tempat yang luas untuk kehidupan lainnya atas izin Tuhan yang memberi kehidupan)
Wira menyapukan telapak tangannya di tempat darahnya terjatuh. Seketika darahnya terserap ke dalam batu dan tak berapa lama kemudian segumpal asap hitam terlihat muncul bersamaan dengan kehadiran makhluk berbentuk manusia berkepala babi. “Ck! Bulu lagi,” Wira bergumam disertai decakan kesal.
“Bisakah kau mengubah bentuk wajahmu lebih baik?” Sepertinya sensitif bulu masih menjadi persoalan bersambung di kepala Wira. Menghela napas, pandangan bergulir memperhatikan ketiga pengikutnya. “Rewanda!”
“Saya, Tuan!”
“Kamu berlakulah seperti diriku. Gantikan aku beberapa hari agar orang-orang desa tidak curiga, jika aku menghilang. Termasuk ke-dua orang tuaku.”
“Baik, Tuan!” Rewanda menghilang dengan cepat dan muncul di dalam kamar tuannya dengan wujud yang menyerupai Wira. Seringnya bersama sang tuan, membuatnya hafal betul kelakuan tuannya sehari-hari, termasuk menjahili sahabatnya. Namun meski harus bersikap seperti tuannya, sifat jahilnya terkadang dihilangkan.
Wira memperhatikan ke-dua makhluk di depannya. Semoga saat bersemedi nanti, ke-dua makhluk itu tidak berbuat konyol. Apalagi yang satu baru Wira dapatkan. Dirinya sudah seperti peternak jin kalau seperti ini. Meski membebaskan makhluk di depannya, namun ia tidak mau terburu-buru membuat kontrak kepemilikan.
Jari telunjuk Wira teracung menunjuk ke arah makhluk berkepala babi yang sekarang sudah berubah wujud menjadi pria paruh baya. Keningnya berkerut tanda sedang memikirkan sesuatu. “Kamu kuberi nama Badhil!”
“Badhil, Tuan?’’
Wira mengangguk membenarkan. Pandangannya tetap mengunci makhluk di depannya yang terlihat kebingungan. “Iya Badhil. Babi Dhekil!”
Hampir saja Maesa tertawa mendengar penuturan tuannya, namun urung kala tatapan tuannya menghujam dirinya.
“Tuan, bisa diganti? Kalau Kadhil saja bagaimana?” protes Badhil.
“Kebagusan!” Wira memutar tubuhnya, melangkah kian masuk ke dalam gua. Ia harus menemukan tempat sunyi.Tak dihiraukannya suara bisik-bisik di belakangnya. Namun, belum sampai ke tempat yang dituju, tubuh Wira tumbang disusul jeritan panik Maesa.
***
“Kau bodoh atau apa Maesa!?”
Rasanya Maesa ingin adu jotos dengan sahabat di depannya. Sudah kesekian kali untuk hari yang sama, ia selalu dikatai bodoh. Saat tuannya terbangun, tuannya yang akan mengatainya bodoh. Sekarang tuannya sedang terbaring sahabatnya yang mengatainya bodoh. Apa salah Maesa coba? Ia hanya mengantar tuannya ke rumah karena insiden di gua, tapi Rewanda tak menyetujuinya. Hari menjelang pagi, dan sebentar lagi aktivitas warga kampung dimulai. Rewanda hanya tidak ingin saat ibu dari sang tuan mengetahui kondisi anaknya. Sedangkan Maesa membawa pulang tuannya karena tak ingin memperparah kondisi tuannya kalau masih berada di dalam gua.
Tok! Tok! Tok!
“Wira, kamu sudah bangun, Nak?”
Suara ketukan pintu kamar mengejutkan kedua makhluk yang sedang sibuk beradu argumen.
“Gawat!” Maesa menghampiri tubuh tuannya dan langsung membungkusnya dengan selimut, sedangkan Rewanda memicingkan mata melihat kelakuan Maesa.
“Mau kau apakan Tuan Wira!?”
Maesa menghentikan kegiatannya dan menatap sahabatnya tak percaya. Tentu saja ia ingin menyembunyikan tuannya. Kalau ibunya tahu, pasti saat tuannya terbangun dan ada keributan mereka berdua yang akan kena getahnya.
“Menyembunyikannya, apalagi!?” jawab Maesa setengah jengkel.
“Ke mana?”
“Kolong!”
Rewanda melebarkan matanya. Secepat kilat tubuhnya berpindah tempat ke sebelah sahabatnya dan tanpa ampun menggeplak kepala Maesa.
“SAKIT!”
“Pantas saja tuan sering mengataimu bodoh! Kita diciptakan mempunyai kelebihan, salah satunya menghilangkan hawa keberadaan seseorang!”
Maesa nyengir lebar merasa kelakuannya tak berguna sama sekali.
“Jadi, sedari tadi yang kita perdebatkan itu tidak ada artinya? Berarti kita sama-sama bodoh.”
“Diam! lakukan tugasmu dan aku melakukan tugasku!”
Tiba-tiba wajah Maesa berubah keruh. Kok perasaan, dirinya selalu menjadi pihak yang selalu salah.
Maesa bergegas melakukan tugasnya untuk menyembunyikan hawa keberadaan tuannya dari manusia lainnya. Sementara Rewanda membuka pintu kamar dan berpura-pura menjadi Wira.
“Ibu, ada apa?”
“Kamu kerasukan jin?” Wanita setengah baya dengan gelungan rambut asalnya, memperhatikan dengan seksama pemuda di depannya. Biasanya Wira sulit dibangunkan di pagi buta seperti ini. Kalau sudah bangun sebelum di bangunkan, berarti Wira sedang kerasukan. Selalu seperti itu penilaian wanita berstatus ibu bagi Wira.
“Ibu mah gitu, anaknya rajin dikira kerasukan. Males dibilang bukan anak Ibu.”
Wanita paruh baya setinggi dada Wira hanya tersenyum menanggapi pernyataan anaknya. “Ibu seneng kalau kamu lagi kerasukan. lebih nurut. Subuhan gih, habis itu bantu ibu masak,” tanpa menunggu jawaban dari yang bersangkutan, ibu Wira berlalu dari hadapan Rewanda.
Pemikiran yang sungguh tak masuk diakal. Mana ada orangtua yang merasa senang anaknya kerasukan. Mengangkat bahu, Rewanda menutup pintu kamar dan menghampiri Maesa yang masih setia menunggu tuannya terbangun. “Apa yang terjadi di gua saat aku pergi?” Rewanda melipat kedua tangannya di atas perut. Tatapan tajam dilayangkan pada Maesa.
“Kemungkinan Tuan Wira mengeluarkan kekuatan di luar batas kemampuannya.” Menghela nafas sejenak, Maesa memandang majikannya yang masih belum ada tanda-tanda kemungkinan akan terbangun dengan cepat. “Kamu tahu, ‘kan, kemarin Tuan Wira puasa mutih 40 hari. Setelah itu dia memakai kekuatan berlebihan untuk membantu beberapa jin lepas dari perbudakan. Membebaskan makhluk kuat seperti itu pun memerlukan kekuatan yang tidaklah sedikit. Alhasil, jadi seperti ini.”
Rewanda melangkah perlahan menghampiri sang Tuan. Memejamkan mata, jari telunjuknya mengarah ke kening tuannya itu. Ia mulai berkonsentrasi menyalurkan sedikit tenaga untuk memulihkan keadaan Wira. Dirasa cukup, Rewanda membuka mata, menjauh dari sisi tempat tidur. Pandangannya beralih ke arah sang sahabat. “Jaga Tuan Wira. Dia hanya tertidur untuk saat ini. Jangan berulah. Aku akan menggantikannya sampai dia terbangun.”
Maesa mengangguk menanggapi perintah Rewanda. Pandangannya tak pernah lepas dari wajah sang tuan. Tuannya itu terlihat seperti pemuda yang manis kala tertidur. Berbeda ketika membuka mata. Tuannya lebih sering marah-marah jika matanya terbuka.
***
Hari menjelang sore kala Wira membuka mata. Tenaganya sedikit terisi setelah tertidur dalam waktu lebih dari 10 jam lamanya. Pertama yang dilihat saat membuka mata adalah kedua pengikutnya yang setia menunggunya terbangun.
Wira sudah kembali ke aktivitas hariannya. Karena tidak ada kendala berarti dan melihat kedua pengikutnya terlihat kelelahan, Wira memerintahkan keduanya untuk beristirahat.
Sedangkan Wira berjalan-jalan menghirup udara segar di pinggiran hutan. Saat sedang asyik bersenandung, tak sengaja penglihatannya menangkap siluet sahabat karibnya Apta. Sahabatnya terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu. “Apta!” Tersenyum lebar Wira berjalan menghampiri pemuda berperawakan sedang yang berdiri di depan sebuah jalan setapak menuju hutan..
“Hai, Wira!” Apta menoleh melambaikan tangan.
Saat melihat wajah sahabatnya Wira kini tahu apa tujuan pemuda tersebut. Namun untuk memastikannya, Wira berlari kecil menuju Apta. ”Mau ke mana?”
Apta tak langsung menjawab pertanyaan Wira. Namun hanya dengan sebuah pandangan yang diperlihatkan Apta, membuat Wira yakin akan tujuan orang idiot di depannya. “SERIUS!?”
Karena tak ingin siapa pun tahu, Apta menggeplak bagian belakang kepala Wira. Jika suara Wira terdengar penduduk yang lewat, bisa-bisa rencana mencari orang pintar yang menurut desas-desus ada di dalam daerah hutan terdalam akan gagal.
“Tapi ini berbahaya, Apta,” ucap Wira memperingatkan. Di dalam hutan saat malam tiba bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan tempat yang aman untuk berkeliaran.
“Aku juga ragu, tapi ….”
“Aku ikut!”
Apta spontan menoleh ke arah sahabatnya. Ada keraguan di mata pemuda itu untuk melibatkan Wira dalam urusannya.
Wira yang menyadari ada keraguan sahabatnya, segera menarik tangan Apta. Ia akan membuktikan bahwa apa yang menurutnya baik adalah hal terburuk yang sahabatnya lakukan. Bukan hanya sekedar nyali, tapi juga nyawa dipertaruhkan. Mereka adalah jenis makhluk yang tak kasat mata yang hanya menjanjikan kepalsuan. Hanya manis di awal sebagai pancingan menuju jalan kehancuran. Wira tak peduli meski bertemu dengan makhluk berbahaya dalam kondisi tenaga yang baru pulih. Ia akan menunjukan kelamnya dunia yang tak seharusnya sahabatnya masuki.
Kreator : Lastri
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: BAB 7 jinjang
Sorry, comment are closed for this post.