KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » BAB 8 jinjang

    BAB 8 jinjang

    BY 25 Agu 2024 Dilihat: 95 kali
    Jinjang1_alineaku

    “Ish! Dasar ibu-ibu hobi kangkungan level maksimal. Ga mikirin anaknya yang ganteng jadi jelek gara-gara ngapelin kakus mulu, ugh!” Wira menggerutu  dalam ritual panggilan alam yang sedang dilakukannya. Saat terbangun tadi senja, perutnya terasa kosong. Seperti biasa ibunya akan meninggalkan makan siang untuknya di rumah. Pantang baginya membuang makanan meski hidup berkecukupan. Orangtuanya selalu mengajarkan untuk menghargai makanan. Banyak orang yang mungkin tak seberuntung dirinya, masih bisa menikmati makanan yang layak, tapi kadang ibunya kalau masak suka khilaf. Mentang-mentang cabai tinggal petik kalau masak suka lupa mana cabai, mana bawang. 

     

    Membayangkan cabai di rumahnya membuat perut Wira makin melilit. Ibunya suka beralasan saat masak terlalu pedas katanya harga cabai sedang melambung, jadi sayang kalau ga dipakai nanti busuk, mubazir. “Untung lagi di sungai, coba di tengah hutan yang ga ada airnya, hoek!” Wira membekap mulutnya kala rasa mual mendera.Bergidik ngeri membayangkan buang hajat tanpa air. “Kalau gak dimakan, ngomongnya pedes bener kaya masakannya.” Wira memandang ke sekitar tempatnya berada. Ia merasakan aura negatif yang sangat kental.

     

    Setelah perutnya terasa lebih baik, Wira memakai celana pendeknya kembali. Pandangannya beralih ke arah sang sahabat yang masih berdiri membelakanginya. Menengadah ke langit, pemuda itu melihat awan hitam berarak. Sebuah bulan sabit, timbul tenggelam di antara awan yang berarak tersebut.

    Wira mengalihkan pandangannya dan berbalik saat merasakan hawa keberadaan Apta di belakangnya. Keningnya berkerut dalam kala mendapati raut muka sahabatnya berubah menjadi ketakutan kala melihatnya. “OI! APTA!” Wira panik kala Apta lari meninggalkannya seperti baru saja melihat sesuatu yang menakutkan.

     

    “Hawa ini” Wira terdiam sejenak memusatkan pikiran untuk mengetahui bahwa dugaannya salah. “SIAL!” Namun dugaanya tak meleset. Sepertinya ada yang sedang memanipulasi pikiran Apta.

     

    Wira berlari menuju batu yang dipergunakan oleh Apta untuk duduk, menyambar ransel Apta dan memasukkan asal sepatu sahabatnya yang tertinggal. Dengan tergesa-gesa ia memakai sandalnya dan menyampirkan tas ransel di punggungnya. Kakinya berlari cepat menyusul Apta.

    Maesa!, datang segera ke tempatku. Aku membutuhkan kekuatanmu saat ini!” Wira terus berlari berharap bisa menyusul sahabatnya. Meski sedang berlari, Wira berusaha menjernihkan pikirannya. Matanya fokus menatap jalan terjal di depannya. Sial! Ia tak berpikir kejadian seperti ini akan menimpa dirinya. Bagaimana jika ia kembali tak sadarkan diri sebelum menyelamatkan sahabatnya?

     

    Apa yang Anda butuhkan Tuanku?”

     

    Wira berhenti berlari, kaos hitamnya sedikit basah karena keringat. Ia menatap pengikutnya dalam bentuk manusianya. “Tolong lacak keberadaan Apta di sekitar sini. Beritahu aku jika kau melihatnya. Aku tak sanggup jika harus berlari lebih jauh lagi.”

     

    “Baik, Tuan.” Maesa menghilang dari hadapan tuannya.

     

    Wira menetralkan nafasnya untuk memulihkan kondisi fisiknya. Merasa lebih baik, Wira  berjalan menyusuri jalan di hadapannya.

     

    Tak berapa lama setelah pengikutnya menghilang dari jangkauannya, Wira kini dapat merasakan kembali hawa keberadaan Maesa. “Bagaimana?”

    Saat saya mengikutinya, dia sempat terjatuh, dan ada sebangsa kami membawanya ke sebuah gubuk tua tak jauh dari sini Tuan. Sepertinya ada yang mengendalikan makhluk tersebut.”

    Wira mengusap wajahnya kasar. Bagaimana cara menghadapi makhluk tersebut. Ia tak mungkin bertarung di hadapan Apta. “Kalau begitu bawa aku ke sana!”

     

    “Baik, Tuan!

     

    Wira memejamkan mata berkonsentrasi untuk memerintahkan alam bawah sadarnya untuk memasrahkan jiwa dan raganya pada makhluk di depannya.

    Hanya membutuhkan waktu sepersekian detik untuk Wira dan Maesa berpindah tempat. Merasa tempat yang dipijaknya berubah, Wira membuka matanya dan melihat ke sekeliling tempat tersebut. Sebuah gubuk tua yang gelap dan reot tertangkap pandangannya. “Maesa, bisakah kamu masuk ke dalam tubuhku. Aku membutuhkan energi lebih.”

     

    “Baik, Tuan.” Maesa segera melaksanakan perintah Wira. Meski Maesa berada dalam tubuh tuannya, namun ia tak bisa menguasai pikiran tuannya. Ada batasan tertentu yang tak bisa dilanggar. Sekali Maesa melewati batasannya, maka dirinya akan lenyap tak berbekas. Wira seolah membentengi pikirannya dengan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan oleh Maesa. Pemuda memiliki keteguhan hati untuk tidak tunduk pada makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Di dunia para makhluk halus, Wira terkenal akan keangkuhannya. Selalu berbuat seenaknya, bahkan selalu melenyapkan beberapa diantara mereka yang dianggap mengganggu. Namun itu menurut mereka, tidak menurutnya. Wira hanya ingin memberitahu batasan yang harus dipatuhi oleh semua makhluk ciptaan Tuhan. Dia tak menyukai sesuatu di luar batas.

     

    Wira berjalan mengendap-endap menghampiri gubuk di hadapannya. Setelah sampai di ambang pintu ia melihat sosok sahabatnya yang sedang duduk di atas dipan. Saat beradu pandang dengan Apta, ia dapat melihat kelegaan di raut wajah sahabatnya.

    Wira membawa telunjuknya ke depan bibirnya ketika melihat gerakan Apta yang seakan ingin memanggilnya. Sahabatnya kembali terdiam, dan dengan hati-hati ia berjalan menghampiri Apta. Wira mengubah posisi tas ransel yang bertengger di punggungnya menjadi di depan dadanya. Ia berusaha meyakinkan Apta untuk percaya dengan apa yang Ia lakukan. Meski awalnya ada keraguan yang diperlihatkan Apta, namun akhirnya pemuda itu menuruti perintahnya.

     

    “Mau kau bawa ke mana Aptaku?”

     

    Wira terus berjalan mengabaikan suara di belakang sana. Bibirnya bergumam mengucapkan beberapa mantra. Sebenarnya mantra itu adalah mantra untuk menghilangkan halusinasi dari pikiran Apta. “Kau melihatnya?”

     

    Apta yang sempat menoleh terkejut dengan perubahan gadis yang menurutnya adalah Kirani.

    “Siapa gadis itu?” 

     

    Wira kembali berkonsentrasi untuk memperlihatkan lebih jelas makhluk di belakang mereka.

    “Diamlah!  Dan jangan terus menengok ke belakang. Kalau perlu tutup rapat matamu, sialan!” Wira menyerah untuk membebaskan pikiran Apta dari manipulasi makhluk di belakangnya. Ia tak dapat berkonsentrasi dengan benar, pikirannya selalu tak fokus karena energi Maesa yang Ia keluarkan secara paksa untuk membantunya sudah mulai menipis. Ia harus pandai memanfaatkan sisa energinya.

     

    Plak! 

     

    Wira hampir kehilangan keseimbangan kala Apta menggeplak bagian belakang kepalanya.

    “Apa masalahmu, hah!?” Tiba-tiba Wira merasa emosi dengan kelakuan sahabatnya. Rencana yang sedang ia susun tiba-tiba menguap entah ke mana.

     

    “Kau menyebutku sialan beberapa kali.”

     

    Wira menghela nafas sejenak untuk menstabilkan emosinya. Ia tak ingin usaha pelariannya sia-sia. “Hentikan perdebatan ini, kau membuatku membuang buang energi dan turuti perintahku untuk saat ini.” Wira bernapas lega ketika merasakan sahabatnya tak lagi berulah. 

     

    Setelah merasa posisi mereka di luar jangkauan makhluk jejadian di belakang mereka, Wira memperlambat langkahnya. Sesekali ia menanggapi pertanyaan singkat Apta yang mengkhawatirkan keadaannya. Satu hal yang tak disadari oleh Apta, sebagian energi dalam tubuhnya diserap oleh Maesa hingga tak berapa lama ia merasa lelah dan tertidur di punggung Wira. Meski Wira menyadari hal tersebut, namun tak membuatnya menghentikan Maesa. Ia tahu pengikutnya tak pernah melampaui batas yang seharusnya.

     

    Wira memutuskan untuk menginap di rumah sepupunya. Kebetulan paman dan bibinya sedang berada di desa sebelah. Sekalian bisa menemani sang sepupu yang sendirian. Dan lagi rumahnya tidak terlalu jauh dari tempatnya saat ini. Ia juga tak mau repot-repot menghabiskan energi lagi jika ia harus pulang ke rumahnya yang masih jauh.

     

    Dengan langkah tenang Wira menghampiri rumah sepupunya yang bernama Ata.

    Setelah sampai dan mengetuk pintu rumah didepannya,tak lama kemudian muncullah gadis manis pujaan hatinya. Ata mempersilahkan Wira untuk masuk meski ada sedikit keraguan di hatinya.

     

    Ata sempat terkejut ketika melihat kondisi sepupu serta sahabat sepupunya. Namun ia tak boleh panik. Ia berusaha tenang dan membantu mereka sebisanya. Setelah semuanya teratasi, Wira mengungkapkan keinginannya untuk menginap dengan alasan sudah terlalu lelah.

    Melihat wajah lelah saudara sepupunya, Ata hanya pasrah dan membiarkan mereka menginap di kamar sang kakak.Urusan tetangga pikir belakangan, yang penting Wira dapat beristirahat dengan baik.

     

    ***

     

    Pagi menjelang dihiasi celotehan Ata. Namun itu hanya sebentar saja. Setelah Ata meninggalkan rumah untuk pergi ke sekolah, rumah itu terasa sepi. Wira yang telah selesai menikmati sarapannya pun hanya terdiam memandang piring kotor di hadapannya.

     

    “Jangan melamun pagi-pagi Wir, tidak baik.”

     

    Wira berjengit kaget mengalihkan pandangannya ke arah pemuda yang semalam hampir menjadi korban kejahilan seseorang. “Makanlah sarapanmu, aku ingin berbicara denganmu.”

     

    Apta hanya mengangguk dan berjalan dengan sedikit pincang menghampiri meja makan, kemudian memulai sarapan dengan tenang.

     

    “Apa yang kamu lihat di sungai?”

     

    Wira memulai pembicaraan saat Apta telah menghabiskan sarapan paginya. Ia penasaran makhluk seperti apa yang terlihat oleh pandangan Apta.

     

    “Entahlah … yang jelas itu sangat mengerikan. Ia memiliki perawakan seperti manusia, tapi kepalanya menyerupai babi.”

     

    Wira mencondongkan tubuhnya hingga dadanya menempel di pinggiran meja. Raut mukanya berubah menjadi lebih serius. Dia menatap intens pemuda di seberang meja.

    “Kau tahu, itu bukanlah makhluk jejadian seperti yang kamu kira.”

     

    Apta mengerutkankan kening heran, kalau bukan makhluk jejadian, lalu apa?

     

    “Itu aku.”

     

    Sepasang pupil Apta melebar. Badannya sedikit bergetar. Ia merasa waswas dengan pemuda di depannya. “Ja … Jadi kamu setan, bukan Wira!”

     

    “Bodoh! Tentu saja aku Wira. Seseorang telah mengirim guna-guna padamu. Manipulasi pikiran.” Wira memandang intens sahabat karibnya. “Siapa pun yang kamu temui akan terlihat seperti makhluk itut. Meski kamu bertemu dengan demit lainnya, bentuknya akan sama, kecuali kamu bertemu dengan sang tersangka. Seharusnya kamu menyadari hal ganjil lainnya.”

    Apta terdiam berusaha berpikir tentang hal ganjil yang dimaksudkan. Namun sekeras apa pun ia berpikir tetap tak menemukan jawabannya.

     

    Sedangkan Wira yang melihat Apta begitu keras berpikir hanya diam memandangi pemuda yang duduk di seberang meja. “Sudah menemukannya?” 

     

    Apta memandang Wira seraya menggeleng tanda tak menemukan hal yang ganjil. Wira menghela napas lemah, punggungnya bersandar di sandaran kursi yang didudukinya. Kedua tangannya terlipat di atas perut. “Mana ada seorang gadis berkeliaran di tengah hutan di malam hari. Membawa seorang pemuda yang sedang terluka tanpa kendala yang berarti.”

     

    Seperti tersadar dari sesuatu, Apta tersenyum kikuk. Memang waktu itu, gadis yang ia kira Kirani itu dengan mudah membawanya ke gubuk untuk mencari pertolongan.

    “Kau seorang guru. Guru matematika lebih tepatnya. Memangnya kamu gak bisa mengira-ngira berat badanmu dengan wanita!”

     

    “He he he, karena terlalu terpesona melihatnya dan dia datang seperti pahlawan, jadi aku gak kepikiran sampai sana.”

     

    Wira beranjak dari tempat duduknya, memutari meja hanya untuk menghampiri Apta dan dengan kekuatan yang tak main-main menggeplak bagian belakang kepala Apta.

     

    “SAKIT!”

     

    “Biar otakmu kembali ke tempatnya!” Wira menatap sinis Apta yang sedang mengelus bagian belakang kepalanya. 

     

    Suara gaduh berasal dari depan rumah menginterupsi keduanya yang masih melakukan perdebatan. Wira berjalan terburu-buru menuju ke luar rumah. Apta menyusul dengan berjalan sedikit tertatih. Setelah membuka pintu utama, Wira melihat beberapa warga desa dan juga ayahnya yang terlihat kacau sedang membawa sesuatu. Dua buah tandu di letakkan di teras depan rumah. “Ada apa ini Pak? Kenapa ramai begini? Ini apa?”

     

    Ayah Wira menghampiri sang putra dan memeluknya.

     

    Wira hanya terdiam mendapat perlakuan seperti itu. Di balik punggung sang ayah, ia melihat ibunya menangis sesenggukan.

     

    “Maaf,” sebuah bisikan lembut terlontar dari bibir sang ayah.

     

    Wira yang masih memproses semuanya hanya terpaku. Ia merasakan firasat buruk tentang kedatangan beberapa warga desa. Dan lagi apa isi tandu yang dibawa oleh warga? Kalau diperhatikan dengan seksama itu seperti sosok seseorang, dari bentuk yang terlihat dari kain yang menutupinya. Perlahan Wira melepaskan pelukan sang ayah. Ia berjongkok di bagian atas tandu. Dengan tangan gemetar Wira berusaha membuka kain yang menutupi apa yang dibawa warga desa.

     

    Setelah melihat bahwa benda yang dibawa oleh warga adalah jasad sang paman, ia kembali membuka tandu yang satunya. Seketika dunianya hancur, wajah sang bibi yang selalu dipanggilnya ‘Bunda’ terlihat pucat. Dengan kasar ia membuka seluruh penutup ke-dua jasad tersebut. Ia dapat melihat luka di bagian dada kiri sang bibi berlubang. Ia dapat menyimpulkan jantungnya tak lagi ditempat. Begitu juga sang paman.

     

    Perlahan Wira berdiri dengan badan sedikit bergetar entah menahan tangis atau amarah.

     

    PRANG!

     

    “BRENGSEK! SIALAN!”

     

    Beberapa warga desa terkejut melihat reaksi Wira. Dengan membabi buta pemuda itu meninju kaca jendela hingga pecah. Tak ada yang berani mendekati Wira yang bak kesetanan melampiaskan kemarahan pada benda apa pun yang berada dalam jangkauannya. Bahkan pintu utama hampir lepas dari engselnya saat Wira menendangnya.

     

    BUGH!

     

    Wira tersungkur di atas lantai teras saat seseorang dengan sekuat tenaga memukul rahangnya. Wira terdiam masih pada posisinya. Pemuda yang memukulnya sedang mengatur emosinya.

     

    Merasa tak ada pergerakan lagi dari Wira, pemuda yang memiliki tinggi hampir setara dengan Wira, bahkan bentuk wajah itu tak berbeda jauhーhanya saja, kumis tipis menghiasi wajah pemuda tersebutーberjalan menghampiri sepupunya itu. Didekapnya Wira dengan sayang. “Jangan seperti ini, ingat Ata. Ia bisa gila melihat kakaknya gila.”

     

    Tangisan Wira pecah. Pemuda itu meraung di pelukan sang sepupu bernama Heru Cahyono. “Heru, Bunda!”

     

    “Aku tahu. Aku juga sakit mendengar berita yang tak pernah ingin kudengar. Mereka orangtuaku yang sangat kucintai.” Heru mengelus punggung Wira untuk menenangkan pemuda itu. Heru melepas rengkuhannya dan membantu Wira berdiri.

     

    Wira melihat sekeliling tempatnya berada. Ibunya menangis di pelukan sang ayah. Warga hanya terdiam tak berani berbuat banyak. Sepeda motor Heru tergeletak begitu saja dalam keadaan mesin menyala. Sepertinya Heru terlalu mengkhawatirkannya. Keadaan jendela dan pintu tak kalah mengenaskan. “Saya minta maaf atas semua kekacauan yang terjadi.”

     

    Para warga hanya tersenyum dan memaklumi sikap pemuda itu. Mereka sangat tahu kalau Wira sangat dekat dengan sang bibi. Karena sang bibi selalu terlihat bersamanya jika sang anak tidak ada di rumah. Ibu Wira selalu sibuk dan hanya pulang ketika makan siang untuk memasakkan sesuatu untuk anaknya dan juga Apta. Setelah itu, Ningrum akan pergi lagi dan pulang menjelang maghrib. Pemuda itu terlihat sering menggoda bibinya saat anak-anaknya berada di luar rumah.

     

    Dengan alasan kesepian Wira sering menemani bibinya mengobrol. Jika lelah ia akan tidur di kamar Heru. Itulah mengapa ia selalu memanggil bibinya dengan sebutan Bunda.

    Ia selalu membantu sang bibi menyapu halaman, memasak, atau membenarkan genteng yang bocor. Pamannya bekerja di kantor kelurahan bersama sang ayah. Wira tak ingin melanjutkan kuliah di kota. Merepotkan menurutnya. Jadi setelah tamat SMA, Wira hanya melakukan kegiatan apa saja yang menurutnya menyenangkan. Membuat ibunya naik pitam juga menyenangkan.

     

    Sesaat setelah keadaan terkendali, semua warga yang hadir mulai melakukan tugas masing-masing. Para warga berhenti sejenak dari aktivitas harian mereka saat tahu tetangga mereka tertimpa musibah. Warga berbondong-bondong mengucapkan bela sungkawa merasa kehilangan tetangga yang baik dan juga ramah.

     

    Wira terus berpikir bagaimana menyampaikan berita duka pada Ata. Ia hanya terdiam. Tatapannya kosong melayang entah ke mana. Ia tak sadar sang pengikut masih dalam tubuhnya merasakan kemarahan sang Tuan. 

     

    Bahkan Rewanda tak bergeming. Tuannya seketika seperti mayat hidup. Ia lebih baik mendapat makian sang Tuan daripada seperti ini.

     

     

    Kreator : Lastri

    Bagikan ke

    Comment Closed: BAB 8 jinjang

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021