Ata memandang pelataran rumahnya dengan perasaan was was.
Ia enggan melangkahkan kakinya menghampiri pemuda empat tahun lebih tua darinya.
Perasaannya mulai kalut kala mendapati suasana lain dari biasanya. Apalagi saat matanya menangkap sebuah bendera kuning tertancap di pohon jambu tempat biasa menghabiskan waktu untuk belajar di bawahnya, membuatnya kian makin waswas. Rasa penasaran yang besar membuat Ata melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menghampiri sang pemuda. “Mas Heru?”
Senyuman pahit yang tergambar di wajah sang kakak adalah sesuatu yang membuat Ata tak pernah nyaman. Biasa wajah tersenyum kakaknya adalah sesuatu yang membuatnya ikut tersenyum, tapi untuk kali ini Ata hanya membalasnya dengan wajah muram dan bibir sedikit bergetar.
Heru segera membawa sang adik ke dalam rengkuhannya. Ia tak mau memperlihatkan wajah menyedihkannya pada adik yang sangat Ia sayangi. “Ata … maaf.”
“Mas Heru, ada apa? Jangan membuatku takut seperti ini.”
“Ayah dan Bunda sudah tidak bisa bersama kita lagi. Mereka pergi meninggalkan kita.”
Ata berusaha melepaskan rengkuhan Heru untuk melihat wajah sang kakak saat mengatakan hal buruk. Ia ingin memastikan kebenarannya saja, namun Heru semakin mengeratkan rengkuhannya. Ia tak mau jika adiknya melihat wajahnya yang kacau.
“Maksud Mas apa?”Ata hanya pasrah dengan perlakuan sang kakak.
“Kau tau benar apa maksudku ini. Jangan membuatku mengatakan hal yang lebih menyakitkan dari perkataanku.”
Keheningan melanda untuk beberapa saat hingga Ata tak lagi dapat menahan berat tubuhnya.
Jika Heru tak memeluknya mungkin gadis itu sudah jatuh terkulai di tanah. “Ata!” Heru segera membopong adiknya dan berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah.
Wira yang berdiri tak jauh dari tempat kakak beradik tersebut pun terkejut melihat keadaan Ata.
Dan dengan langkah lebar Wira mengikuti sepupunya masuk ke dalam rumah.
Ia berharap tak ada sesuatu yang buruk menimpa Ata.
***
Ruang tamu berukuran 5 X 5 meter di rumah duka begitu hening. Masing-masing anggota kerabat terdiam dengan pemikiran mereka masing-masing.
“Aku berharap Ata baik-baik saja.” Wanita paruh baya berusia 45 tahun, berambut hitam tergelung rapi mulai memecah keheningan yang terasa kurang nyaman itu.
Semua mata memandang ke arah wanita satu-satunya di ruangan tersebut. Pemakaman kedua orang tua Ata telah selesai sejam yang lalu. Mereka enggan beranjak dari tempat tersebut karena masih khawatir dengan keadaan Ata.
Ayah Wira yang melihat istrinya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja segera menggenggam tangan wanita pendamping hidupnya. Ia berharap dengan melakukan hal tersebut dapat meringankan beban sang istri.
“Kita akan membawa Ata ke rumah kita, untuk menghindari hal hal yang tak diinginkan. Sepertinya kasus lima belas tahun lalu muncul kembali ke permukaan.”
Semua orang terdiam mendengar perkataan sang Kepala Desa.
Mereka mengingat kembali bagaimana kejadian yang sama terjadi.
Demi mendalami ilmu hitam, seseorang telah mengacau di desa yang mereka tinggali.
Beruntung belum banyak korban yang berjatuhan sang pelaku telah lebih dulu meregang nyawa karena dibakar hidup-hidup oleh warga. Warga percaya jika ingin memusnahkan orang yang sedang mendalami ilmu hitam adalah dengan membakar sang pelaku.
Saat itu ayah WiraーNanditama Pambudi biasa dipanggil Tamaーmasihlah pegawai kelurahan. Ia berusaha berbicara dengan warga agar menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwajib.
Namun apa mau dikata, banyak warga yang sudah geram dengan perbuatan sang pelaku hingga membuat mereka tak lagi berpikir jernih, hingga aksi anarkis tersebut berlangsung ia hanya bisa terdiam dalam amarahnya. Dia marah pada dirinya sendiri kenapa ia tak sanggup berbuat banyak saat melihat kejadian tersebut di depan matanya. Mulai dari saat itu dirinya bertekad suatu saat ia akan menjadi Kepala Desa dan berusaha menyelamatkan nyawa setiap warganya. Meski seseorang telah melakukan kesalahan, namun ia tak setuju jika penyelesaiannya seperti itu. Selalu ada jalan lain untuk mengubah seseorang bukan?
***
Malam telah larut, namun itu tak membuat seorang Ata mampu memejamkan mata. Gadis itu mencengkram erat selimutnya. Biasanya ia akan tertidur dengan keadaan lampu kamar mati, namun kali ini enggan melakukannya. Ia enggan beranjak dari tempat tidur dan semua berawal ketika ia sedang menangis, tiba-tiba perasaannya berubah takut. Entah apa yang membuatnya takut, namun sedari tadi jantungnya berdebar kencang.
Ini adalah malam pertama di mana ia tak lagi menempati kamar tercintanya.
Mulai tadi sore ia sudah pindah ke rumah pak dhenya. Ia ingin menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, namun saat mencobanya, nafasnya sedikit tersendat karena terlalu banyak menangis. Dan kini posisinya berbaring miring membelakangi jendela kamar yang ditempatinya.
GEDEBUM!
Ata semakin mengeratkan genggamannya kala suara benda yang sangat besar terjatuh di belakang tubuhnya. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya yang semakin menggila.
Ia berharap apapun yang jatuh di belakangnya bukanlah sesuatu yang buruk.
Sesaat kemudian setelah suara benda berat jatuh di belakang tubuhnya, aroma busuk menyengat menyapa indera penciumannya. Semakin lama aroma tersebut makin membuatnya tak nyaman. Dengan sedikit keberanian Ata mencoba berbalik untuk melihat benda tersebut.
Namun saat berbalik, ia tak ada sesuatu apa pun yang terlihat oleh pandangannya.
Perlahan ia mendudukkan diri dan mengamati keadaan sekitarnya. Saat pandangannya menangkap benda yang kemungkinan terjatuh tadi, ia sedikit terkejut.
Benda yang terjatuh kemungkinan sangat besar, bahkan ia dapat merasakan pergerakan angin yang tercipta oleh benda tersebut.
Perlahan tangannya terulur mengambil benda tersebut, namun pergerakannya terhenti bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh terkulai.
“Dasar jin sialan!” Maesa mengambil benda yang berada di samping Ata. “Menjijikan,” kemudian bergumam sambil memandangi benda yang berada dalam apitan dua jari tangannya. Benda tersebut berbentuk seperti ular. Tidak terlalu besar karena hanya seukuran pensil kayu biasa.
Ular tersebut adalah perwujudan jin yang bertarung dengannya.
Plak!
“Berhenti memukul kepalaku Rewanda! Kamu membuatku semakin bodoh!”
Rewanda terkikik geli mendengar ocehan sahabatnya. “Akhirnya kamu mengakuinya.”
“Mengakui apa?” Maesa memandang Rewanda dengan kening berkerut.
“Mengakui kebodohanmu.”
“Sialan!”
Cklek!
Suara pintu kamar yang terbuka membuat kedua makhluk tersebut terdiam. Mereka melihat Tuan mereka sedang menghampiri keduanya.
“Bisakah kalian diam. Aku lelah.”
“Maaf atas kecerobohan saya Tuan. Saya menyebabkan jin yang saya musnahkan terjatuh di sini dan membuat adik Tuan ketakutan.” Maesa menjelaskan sebab keributan antara dirinya dan sahabatnya.
Wira menghela nafas sejenak, kemudian menghampiri Ata. Perlahan ia membenarkan posisi tidur Ata dan menyelimutinya. “Berjagalah kembali, aku lelah ingin beristirahat.”
“Baik, Tuan.” Rewanda dan Maesa segera meninggalkan ruangan tersebut.
Sedangkan Wira beranjak pergi menuju ke kamarnya. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia sangat lelah menghadapi hari ini. Namun demi Ata, ia akan berusaha untuk tetap kuat dan bersikap seolah-olah tak terjadi apapun meski hatinya sangat sakit. Dirinya tak mengira dalam hidupnya akan mengalami kehilangan sesuatu yang berharga dengan cara yang sangat mengenaskan.
Ia berjanji akan segera mencari dalang dibalik kematian sang paman dan bibinya.
TBC.
Kreator : Lastri
Comment Closed: BAB 9 jinjang
Sorry, comment are closed for this post.