Pengumuman penerimaan sekolah akhirnya tiba. Setelah menunggu cukup lama akhirnya hari ini datang juga. Suli ke sekolah bersama temannya yang juga mendaftar di sekolah yang sama. Mereka berlima janjian bertemu di sekolah untuk menunggu hasil pengumuman keluar.
“Suli, boleh ndak aku tanya?” ucap Maemunah dengan wajah ingin tahunya.
“Iya boleh lah. Apa emangnya kok serius gitu mukamu?”
“Aku dengar dari ibuku kemarin lalu, bener ya kamu dilamar sama Bu Sum buat jadi istrine Budi?” Maemunah sangat bersemangat bertanya.
“He’eh, dan itu membuat aku dan keluargaku sangat sedih karena nggak bisa nerima lamaranne Bu Sum,” ucap Suli, berusaha tidak menghina keluarga Bu Sum di depan orang lain.
“Wah, Li. Kemarin itu ibuku ketemu sama Bu Sum. Banyak sekali yang dia omongin tentang kamu sama keluargamu loh. Yo gitu kan kamu paham maksudku toh. Wih jan tenan Bu Sum kalau nggak suka lagi sama orang semua terasa jelek, nggak ada satu pun perkataannya yang bagus deh,” ucap Maemunah menjelaskan semua perkataan Bu Sum yang menghina dan merendahkan keluarga Suli, dengan sifatnya yang memang sudah bisa ditebak.
“Nggak papa lah, mau gimana lagi kan aku emang nggak mau nikah sek toh, masih pengen sekolah. Aku pengen cari uang dulu buat Bapak dan Ibu ben nggak terus-terusan kerja susah payah lagi. Kalo anak’e bisa saling bantu, kan alhamdulillah toh,” Jawab Suli tegas dan yakin dengan keputusannya.
“Iya sih bener kamu lah. Wong nggak suka kok dipaksa. Lagian siapa sih yang mau sama Budi, cowok petakilan gitu. Sopannya kalau ada ibune aja. Takutnya kalau ada bapake aja. Kamu ingat kan dulu sampai dia ditangkap polisi karena susah dikasih tahu dan nggak pulang-pulang main game. Iya kalau cuma main game, wis ngerokok, nggak sopan, palingan juga pasti minum juga itu anak. Tampangnya begitu eh.”
Ucapan kesal Maemunah yang tak karuan membuat Suli menegurnya.
“Jangan ngomong gitu, nanti kedengeran orang. Lagian nggak baik ngomongin buruk’e orang. Kalau itu keburukan dan benar adanya itu namanya kamu ghibah loh. Jika itu keburukan dan tidak benar, adanya namanya itu kamu fitnah loh. Dua-duanya tidak baik dan dosa besar, jadi wis nggak usah dibahas lagi.” Tegas perkataan Suli kepada temannya yang baik, yang sedang membelanya, mengkhawatirkannya dan juga Suli tau niat mereka adalah untuk membelanya.
“Tapi Li, aku juga denger sesuatu yang sedikit gimana ya, soalnya aku kan waktu itu nyamperin ibuku buat disuruh pulang sama bapakku. Aku denger langsung, katane Bu Sum kamu nggak bakal diterima di sekolah ini. Pas mereka lihat aku datang, Bu Sum langsung diam dan masuk ke rumahnya. Ibuku pesan ke aku biar aku nggak kasih tau kamu, tapi gimana ya, Li. Kan nggak adil seperti itu toh. Aku kasihan sama kamu, gimana nanti kamu?” Ucapan temannya yang begitu mengkhawatirkan Suli membuat dia tersadar.
“Oh iya ya, sekolah ini kan kepala sekolahnya Kakeknya Budi, Pak Beni Darmawan.”
Dan, semua yang dikatakan Maemunah menjadi kenyataan, sebab keluarga Bu Sum memang pendendam. Suli dalam hati berusaha untuk tetap tenang dan tawakal kepada Allah.
Akhirnya, jam menunjukkan pukul 10 pagi, yang dimana papan besar di teras sekolah sudah terpasang beserta kertas pengumuman yang ditempelkan di papan itu. Kami segera mengakhiri obrolan kami dan langsung menuju papan pengumuman itu untuk mencari nama nama kami.
Kami terus mencari satu per satu, temen-teman Suli sudah menemukan nama mereka, sedangkan dia masih mencari namanya yang sepertinya tidak ada dalam kertas besar itu. Semua temannya membantu sekali lagi mencari nama Suli dan benar saja bahwa namanya tidak ada.
Suli menghela napas panjang saat selesai melakukan pencarian itu. Maemunah menyarankan untuk bertanya ke kantor guru untuk memastikan namanya, tapi Suli menolak dan mengajak teman-temannya untuk pulang saja.
“Ndak usah lah, bagaimanapun ini kan pengumuman sudah valid. Kalau nama aku ndak ada ya berarti aku ndak diterima, hemmm.”
“Tapi coba aja sih, siapa tahu kan Nem kamu bagus dan ujian kemarin juga kamu bisa mengerjakan semuanya, siapa tahu, Li?”
“Ndak usah, aku nggak papa. Kita pulang yuk.”
Sampai di rumah, Suli memberitahu Bapak, Ibu dan kakang-kakangnya bahwa dia tidak diterima di sekolah itu. Dia tidak menceritakan apa yang dia dengar dari Maemunah soal Bu Sum. Suli takut membuat ibunya jadi kepikiran dan malah jatuh sakit. Walaupun semua keluarga sudah tahu pasti ini akan terjadi, apalagi kepala sekolahnya, Pak Beni, yang memiliki sifat yang hampir sama dengan Bu Sum.
“Alhamdulliah, nggak papa ya nak, sing sabar dan nggak usah sedih ya. Lagian sekolah itu juga agak jauh kan. Bu’e kasian sama kamu nak harus berangkat pagi-pagi sekali. Besok coba daftar di sekolah Mas Yoto aja ya. Walaupun nggak favorit, tapi insyaallah juga baik.”
Ucapan ibunya yang tenang sambil tersenyum membuat Suli ikut tersenyum dan bahagia karena kegagalan ini malah membuat Suli dan keluarganya bersyukur sekali. Apapun itu, pasti ada hikmah di balik semua ini.
Selalu yakin kalau takdir Allah jauh lebih baik dari rencana kita. Takutnya, jika Suli diterima di sekolah itu nanti malah hari-harinya dibuat susah oleh keluarga Bu Sum, entah itu ucapan, cemoohan, atau bahkan hinaan yang takutnya nanti membuat Suli jadi tidak bisa belajar di sekolah dengan tenang.
Selalu menerima dengan sabar, bersyukur dan tersenyum untuk setiap cobaan hidup adalah solusi terbaik, terima dulu, sabari, dan berdoa dengan sholat memohon pertolongan Allah dan berikhtiar semampu kita hasilnya pasrahkan saja semua sama Allah.
Seperti halnya di surah Al-Baqarah ayat 152 & 153, surah favorit Suli yang berbunyi bahwa :
“Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.”
“Hai orang-orang yang beriman, carilah pertolongan dengan kesabaran dan sholat, Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Cobaan ini mungkin terasa sulit dan menyedihkan, dimana Suli sangat ingin bersekolah di sekolah yang sudah direkomendasikan oleh gurunya, yang mana nantinya Suli ingin mengajukan beasiswa pendidikan jika dia bisa diterima di sekolah itu. Daripada meminta bantuan kemiskinan, Suli ingin sekali bisa mendapatkan bantuan dari prestasinya, bukan dari kemiskinannya. Tapi apalah daya, ternyata cobaan datang di awal Suli memasuki babak baru dalam pendidikannya. Malah hal itu membuat Suli makin kuat dan tegar dalam menghadapi hari esok, walaupun dia tidak tahu cobaan apalagi yang sedang menanti dia di depan. Sekarang cukup sedihnya dan bangkit, membuka pikiran seluas-luasnya bahwa jika itu menjadi rezeki, maka akan menemukan jalannya sendiri datang kepadamu. Jika itu bukan rezeki, maka dia juga akan menemukan jalannya sendiri untuk pergi dari kamu, karena rezeki tidak akan tertukar, dan Allah tidak memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.
“Aku pasti bisa, dimanapun nanti aku sekolah itu tidak masalah yang penting sekolah dengan tujuan menuntut ilmu yang bermanfaat agar nanti saat sudah waktunya kerja aku mampu menghadapi apapun ke depannya.”
“Alhamdulillah, Allah tidak menjadikan sekolah itu sebagai rezekiku tapi sebagai ujianku, agar aku sadar bahwa rencana Allah jauh lebih baik daripada rencanaku.”
“Allah lebih tahu apa yang aku butuhkan dibandingkan dengan apa yang aku inginkan.”
“Harus selalu yakin sama Allah, bahwa takdirnya untukku selalu yang terbaik untukku.”
Kreator : Siti Purwaningsih (Nengshuwartii)
Comment Closed: BAB 9 – KEGAGALAN YANG MEMBAWA SENYUM
Sorry, comment are closed for this post.