
Langit pagi di ujung selatan Papua selalu tampak berbeda. Ada semacam ketenangan yang tidak dijumpai di kota mana pun hening yang tidak kosong, tapi penuh isyarat tentang kehidupan yang terus beradaptasi. Di sini, di Ulilin, segala sesuatu seolah berjalan lebih lambat; udara masih mengandung aroma tanah basah dan dedaunan, dan suara jangkrik bersahut dengan ayam kampung dari kejauhan.
Di tengah bentang alam yang luas ini, berdiri sebuah kampung transmigrasi yang menjadi saksi pertemuan dua dunia: dunia para pendatang dari tanah Jawa, dan dunia masyarakat asli pemilik tanah ini sejak ratusan tahun lalu. Keduanya berbagi ruang yang sama, namun membawa ingatan, kebiasaan, dan cara pandang yang berbeda tentang tanah, air, dan kehidupan.
Kampung ini seperti cermin kecil dari Indonesia yang luas tempat di mana pembangunan dan kebudayaan, tradisi dan modernitas, harapan dan kehilangan, semuanya saling bersinggungan. Dari rumah-rumah kayu beratap seng, hingga ladang singkong dan sagu, dari sungai yang mengering hingga kebun sawit yang terus meluas, semuanya menyimpan kisah tentang perjuangan dan adaptasi.
Bagi saya, perjalanan ke Ulilin bukan sekadar tugas teknis sebagai perencana lingkungan, melainkan perjalanan untuk memahami bagaimana ruang dan manusia saling membentuk. Setiap langkah di tanah merah ini membuka lapisan-lapisan makna: tentang kerja keras, kesetiaan pada tanah, dan dialog diam antara pendatang dan alam yang belum selesai ditafsirkan.
Dan dari sinilah, kisah ini dimulai kisah tentang kampung transmigrasi dan cerita dari tanah baru, tempat di mana setiap jengkal tanah menyimpan harapan, dan setiap perjumpaan menjadi pelajaran tentang bagaimana manusia mencoba menata ruangnya sendiri di tengah perubahan yang tak terelakkan.
Pagi-pagi, sekitar pukul lima, saya terbangun oleh suara ayam berkokok dari halaman belakang. Udara masih dingin dan lembap; kabut tipis menggantung rendah di antara pepohonan. Setelah sholat Subuh, samar-samar terdengar suara dari dapur suara panci beradu, aroma bawang goreng dan kayu bakar yang menyusup hingga ke ruang tidur.
Saya beranjak perlahan ke dapur. Di sana, Bu Sri, istri Pak Wiryo, sedang sibuk menyiapkan sarapan. Api di tungku menyala kecil, cahayanya menari di wajah beliau yang tenang namun penuh kesibukan. Di meja kayu kecil tersusun bahan-bahan sederhana: telur, ikan asin, sambal terasi, dan sepiring nasi yang masih mengepul hangat.
“Selamat pagi, Bu,” saya menyapa pelan.
“Pagi, Nak Eva. Sudah bangun? Ini lagi masak buat kalian. Nanti kalau sudah siap semua, sarapan dulu sebelum berangkat,” jawabnya sambil tersenyum.
Saya lalu ikut membantu, mengambil piring, menyiapkan air panas untuk kopi, dan memotong sayur. Dapur itu sederhana lantainya masih semen, dindingnya dari papan yang sebagian menghitam karena asap. Namun di tengah kesederhanaan itu ada kehangatan yang sulit dijelaskan. Suara gemericik minyak, aroma sambal yang digoreng, dan percakapan kecil antara kami membuat waktu berjalan lebih lambat, lebih manusiawi.
Bu Sri bercerita sedikit tentang kehidupan di kampung transmigrasi ini tentang masa awal mereka datang, ketika jalan belum sepenuhnya terbuka dan listrik hanya menyala beberapa jam di malam hari. Ia bercerita tanpa keluh, dengan nada yang lebih seperti kenangan.
“Dulu waktu baru datang, kami belum punya apa-apa. Tapi lama-lama, kalau dijalani dengan sabar, tanah ini juga jadi rumah,” katanya sambil membalik telur goreng.
Saya mendengarkan sambil tersenyum, merasakan bagaimana ruang dapur kecil itu menjadi tempat perjumpaan antara masa lalu dan masa kini antara kisah perjuangan dan kenyamanan sederhana yang kini mereka miliki.
Setelah semuanya siap, saya segera memanggil tim untuk sarapan. Satu per satu mereka keluar dari kamar, masih dengan wajah setengah mengantuk namun ceria. Di meja makan sederhana yang terbuat dari papan, Bu Sri sudah menata hidangan dengan rapi: nasi hangat, telur goreng, sambal terasi, sayur tumis, dan satu menu khas yang langsung menarik perhatian kami daging rusa yang dimasak dengan kecap.
Aroma masakannya begitu kuat, perpaduan antara gurih dan manis yang menggoda. Namun di benak saya tiba-tiba muncul bayangan rusa yang pernah kami lihat melintas di tepi jalan ketika perjalanan menuju Ulilin kemarin matanya tajam, tubuhnya ramping, dan langkahnya lincah di antara semak-semak. Bayangan itu membuat dada saya sesak sejenak. Ada rasa enggan yang sulit dijelaskan.
Saya hanya tersenyum kecil, lalu mengambil telur goreng, sambal, dan sedikit sayur. “Saya makan yang ini saja, Bu,” ujar saya pelan. Bu Sri menatap sekilas lalu tersenyum maklum. “Iya, Nak Eva. Daging rusa memang agak khas, tidak semua orang suka,” katanya sambil menambah nasi di piring salah satu anggota tim.
Suasana sarapan terasa hangat dan penuh keakraban. Di tengah aroma kopi dan bunyi sendok beradu dengan piring enamel, percakapan kami mengalir ringan. Kami saling bercerita tentang perjalanan panjang kemarin, ketika mobil kami sempat terjebak banjir di jalan Trans Papua. Semua menertawakan momen itu kini, meski kemarin terasa menegangkan air setinggi lutut, jalanan yang nyaris tak terlihat, dan upaya mendorong mobil bersama-sama di tengah hujan deras.
Bu Sri mendengarkan sambil sesekali tertawa kecil. “Di sini kalau musim hujan, memang sering begitu,” katanya. “Tapi nanti kalau sudah tahu jalannya, sudah biasa.”
Matahari mulai naik perlahan, menyusup melalui celah papan dinding dan menyinari wajah-wajah kami yang lelah namun bahagia. Di meja makan sederhana itu, antara kopi panas dan tawa ringan, saya merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan—sebuah rasa kebersamaan yang lahir dari perjalanan, kesederhanaan, dan keramahan tanah baru ini.
Sekitar pukul delapan pagi, Pak Kabid datang menemui kami. Dengan suara tenang namun tegas, beliau meminta kami bersiap menuju kantor kelurahan untuk melaksanakan focus group discussion (FGD) bersama beberapa ketua marga, kepala suku, dan perwakilan masyarakat dari lima desa: Kumaaf, Nggayu, Kafyamke, Mandkeman, dan Rawahayu.
Udara pagi terasa semakin hangat, dan sinar matahari mulai menembus sela-sela pepohonan di halaman rumah. Saya segera memeriksa kembali bahan-bahan presentasi—peta tematik, lembar isian, dan beberapa foto lapangan yang sudah saya siapkan malam sebelumnya. Di meja, map-map berwarna biru tersusun rapi; semuanya harus siap karena pertemuan ini akan menjadi titik penting dalam memahami persepsi masyarakat terhadap ruang dan lahan di wilayah Ulilin.
Sebelum berangkat, Bu Sri sempat membekali kami dengan air minum dan beberapa potong pisang goreng. “Biar tidak lapar di jalan,” katanya sambil tersenyum. Gestur sederhana itu terasa hangat, seperti doa tanpa kata.
Kami pun berangkat menggunakan mobil dinas yang sama seperti kemarin. Jalanan menuju kelurahan cukup baik, meski di beberapa bagian masih berlumpur sisa banjir semalam. Sepanjang perjalanan, pemandangan berganti antara kebun sawit, semak belukar, dan beberapa rumah warga yang berdiri berjarak jauh satu sama lain.
Sesampainya di kantor kelurahan, kami disambut oleh Pak Lurah dan beberapa stafnya. Gedungnya sederhana, bercat kuning pudar, namun bersih dan tertata. Di halaman depan, bendera merah putih berkibar pelan diterpa angin.
“Selamat datang, Ibu dan Bapak sekalian,” sapa Pak Lurah sambil menjabat tangan kami satu per satu. “Kami sudah menyiapkan aula untuk pertemuan, sebagian masyarakat sudah datang sejak tadi pagi.”
Saya mengangguk dan membalas senyum ramah itu. Di dalam aula, kursi plastik tersusun melingkar, papan tulis besar berdiri di depan, dan di sudut ruangan terlihat beberapa tokoh masyarakat sedang berbincang. Di antara mereka, saya mengenali wajah Pak Marthen, kepala adat yang kemarin sempat berbicara tentang makna tanah dan ingatan.
Ada perasaan campur aduk antara antusias dan haru. Dalam hati saya berpikir hari ini bukan sekadar tentang mempresentasikan peta, tetapi tentang membuka ruang dialog antara dua pandangan dunia: ruang yang dipetakan oleh negara, dan ruang yang dihayati oleh masyarakatnya sendiri.
Tak lama setelah kami tiba dan menata perlengkapan, satu per satu penduduk asli mulai berdatangan. Mereka adalah para ketua marga dan perwakilan masyarakat dari lima desa yang diundang. Penampilan mereka sederhana namun berwibawa sebagian mengenakan kaos dan celana panjang, ada yang memakai sepatu kebun yang masih berlumur tanah, dan beberapa lagi datang dengan sandal jepit serta tas noken yang disampirkan di bahu.
Saya memperhatikan mereka satu per satu. Di wajah-wajah itu tergambar ketegasan dan kehangatan sekaligus orang-orang yang telah lama hidup bersama tanah ini, memahami setiap alur sungai dan lekuk hutan lebih dalam dari siapa pun. Ada rasa bangga yang tiba-tiba muncul dalam diri saya; bangga karena mereka datang dengan semangat, tanpa pretensi, dan dengan kesederhanaan yang tulus.
Satu hal yang membuat saya terkesan: meski undangan ini datang dari pihak pemerintah daerah, mereka datang tepat waktu, membawa sikap terbuka dan rasa ingin tahu. Saya tahu, bagi sebagian dari mereka, pertemuan seperti ini mungkin bukan hal yang biasa. Namun cara mereka duduk, saling menyapa, dan menatap peta-peta yang kami bawa menunjukkan keinginan besar untuk terlibat untuk didengar, bukan sekadar mendengar.
Sebelum acara dimulai, kami saling berkenalan. Saya menyebut nama dan peran saya sebagai bagian dari tim perencana yang sedang menyusun kajian tata ruang wilayah Ulilin, sementara satu per satu dari mereka memperkenalkan diri dengan bangga menyebut nama marganya tanda identitas yang sangat penting dalam struktur sosial mereka.
Suasana ruangan terasa hangat dan bersahabat. Di antara tawa kecil dan saling sapa, saya menyadari bahwa momen ini lebih dari sekadar pertemuan formal. Ia adalah pertemuan dua cara pandang tentang ruang satu yang lahir dari peta dan kebijakan, dan satu lagi yang tumbuh dari pengalaman turun-temurun menjaga tanah dan hutan.
Acara Focus Group Discussion (FGD) dimulai sekitar pukul sembilan pagi. Suasana di aula kelurahan terasa akrab dan sedikit riuh pada awalnya, namun perlahan berubah menjadi tenang ketika Pak Kabid membuka kegiatan dengan sambutan singkat. Ia menjelaskan tujuan pertemuan hari itu untuk mendengarkan pandangan masyarakat tentang kondisi ruang, lahan, dan arah pembangunan di wilayah Ulilin.
Setelah sambutan pembuka selesai, saya berdiri dan mengambil alih jalannya pertemuan. Dengan suara tenang, saya menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan kami.
“Saya dan tim datang bukan untuk menilai,” saya memulai, “tapi untuk mendengarkan dan belajar. Ini adalah pertemuan pertama, dan akan ada pertemuan lanjutan setelah ini. Hari ini, kami ingin mengenali bersama isu-isu lingkungan dan sosial yang terjadi di wilayah bapak dan ibu sekalian
Selanjutnya saya mulai mempresentasikan peta-peta tematik yang sudah kami siapkan: peta tata guna lahan, jaringan jalan, batas desa, hingga rencana kawasan lindung dan budidaya. Saya mencoba menjelaskan dengan bahasa yang sederhana, agar tidak terlalu teknis dan bisa dipahami oleh semua peserta.
Beberapa tokoh adat memperhatikan dengan serius. Saya melihat Pak Marthen duduk di barisan depan, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Tangannya sesekali menunjuk ke arah aliran sungai dan hutan yang menjadi wilayah adat mereka.
“Di sini,” katanya pelan sambil menyentuh peta, “kami berburu, kami juga ambil rotan dan damar. Tapi sekarang banyak yang sudah jadi kebun sawit. Sungai pun kadang jadi keruh.”
Kata-katanya menembus keheningan ruangan. Semua mata tertuju pada peta yang sama. Saya mencatat setiap detail lokasi yang disebut, jenis kegiatan, dan kekhawatiran yang muncul. Di momen itu saya merasa bahwa peta di meja bukan lagi sekadar lembaran data, melainkan ruang dialog yang mempertemukan dua pandangan dunia: antara perencana yang menggambar batas-batas secara sistematis, dan masyarakat yang menghidupi ruang itu setiap hari.
Beberapa ketua marga lain ikut menimpali. Seorang bapak dari Desa Nggayu berbicara dengan nada tegas, namun sopan:
“Kalau batas ini ditarik ke sini, nanti kebun kami masuk zona hutan. Padahal dari dulu kami sudah tanam di situ. Anak-anak kami pun sekolah dari hasil kebun itu.”
Saya menatap peta dan mencoba menjelaskan dasar penetapan zona. Namun dalam hati saya sadar peta kami memang belum sepenuhnya menggambarkan kenyataan sosial di lapangan. Ada ruang hidup yang tidak terekam oleh data, ada memori kolektif yang tidak tertulis di lembar legenda.
Saya membagi peserta berdasarkan kampung asal mereka: Kumaaf, Nggayu, Kafyamke, Mandkeman, dan Rawahayu. Setiap kelompok ditemani oleh satu anggota tim kami. Aula yang semula tenang perlahan berubah menjadi ruang penuh percakapan. Di setiap sudut, terlihat para tokoh adat, ketua marga, dan warga saling berdiskusi, sesekali menunjuk ke peta besar yang kami bentangkan di atas meja.
Diskusi berlangsung hidup. Sesekali tawa kecil pecah ketika ada perdebatan ringan antar ketua marga tentang batas sungai atau arah jalan lama yang kini tertutup semak. Namun di antara tawa itu, terselip juga nada serius, terutama saat pembicaraan menyentuh isu penguasaan lahan oleh perusahaan sawit.
Saya menulis cepat di buku catatan lapangan:
“Mereka memahami ruang dengan tubuh, dengan langkah, bukan hanya dengan garis.”
Menjelang siang, suasana semakin cair. Para peserta mulai terbuka, saling melengkapi cerita satu sama lain. Peta di meja kini penuh dengan coretan pensil, tanda panah, dan lingkaran hasil dialog antara kami dan mereka. Di situ saya menyadari bahwa perencanaan sejati bukan hanya soal mengatur ruang, tapi menyusun ulang makna ruang bersama mereka yang menempatinya.
Beberapa kepala mengangguk pelan, tanda mereka memahami. Saya melihat di mata mereka ada rasa ingin tahu sekaligus kehati-hatian sesuatu yang wajar dalam pertemuan lintas latar seperti ini. Saya lalu melanjutkan, menjelaskan bahwa kegiatan ini akan dilakukan dengan cara berdiskusi langsung dalam kelompok kecil agar setiap kampung bisa menyampaikan pandangan dan pengalaman mereka dengan lebih bebas.
Suara-suara mereka terdengar bersahutan tentang air sungai yang makin keruh, lahan kebun yang terendam banjir saat musim hujan, jalan yang rusak karena truk sawit, dan juga tentang perubahan pola tanam karena hutan sekitar mulai berkurang. Ada pula yang bercerita tentang kesulitan akses pendidikan dan kesehatan, tentang anak-anak yang harus berjalan jauh ke sekolah, atau ibu-ibu yang sulit mendapatkan air bersih.
Saya berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lain, mendengarkan dengan saksama setiap penjelasan yang disampaikan. Sesekali saya bertanya kembali, mencoba memastikan pemahaman saya tidak salah tafsir. Bagi saya, ini bukan sekadar sesi pengumpulan data, tetapi ruang belajar tentang cara mereka membaca dan memahami lingkungannya sendiri.
Setelah sekitar satu jam berdiskusi, saya kembali memanggil semua peserta untuk berkumpul di tengah aula. Dengan senyum dan nada lembut, saya meminta perwakilan dari masing-masing kampung untuk maju dan menyampaikan hasil diskusi kelompok mereka.
Satu per satu mereka berdiri, menjelaskan isu yang dihadapi dan menggambarkannya langsung di peta besar yang kami sediakan. Tangan-tangan mereka menggambar dengan percaya diri mengelilingi area yang rawan banjir, menandai titik di mana hutan mereka mulai berkurang, dan menandai jalur jalan lama yang sudah tertutup.
Saya memperhatikan setiap goresan itu. Di situ saya melihat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar data: ruang hidup yang mereka rasakan, ruang yang diingat oleh tubuh dan pengalaman mereka sendiri.
Selama diskusi berlangsung, saya berusaha untuk mendengar lebih banyak daripada berbicara. Ketika ada pertanyaan atau perbedaan pandangan, saya menanggapinya dengan dialog dua arah bukan untuk mengoreksi, tetapi untuk memahami.
Dalam hati, saya merasa bahwa hari itu, di aula sederhana kelurahan Ulilin, kami sedang menyusun peta bukan dengan garis-garis teknis, melainkan dengan suara dan cerita manusia.
Dari hasil diskusi kelompok, muncul beragam isu lingkungan dan sosial yang disampaikan langsung oleh masyarakat dari lima desa. Setiap kelompok berbicara dengan gaya mereka sendiri ada yang menggunakan bahasa lokal, ada yang pelan dan penuh jeda, namun semuanya menyampaikan persoalan dengan kejujuran yang menggetarkan.
Dari Desa Kumaaf dan sekitarnya, masyarakat menyoroti pencemaran air sungai Kali Kombe yang semakin parah akibat aktivitas perkebunan sawit di hulu. Air yang dulu jernih kini berubah keruh dan berminyak, bahkan ikan-ikan yang biasa ditangkap mulai berkurang. Selain itu, mereka mengeluhkan sanitasi lingkungan yang buruk, terutama di wilayah padat penduduk dekat sungai. Beberapa warga juga menyampaikan kekhawatiran terhadap penambangan pasir di sekitar Kali Kafyamke, yang menyebabkan erosi dan pendangkalan aliran air.
Sementara dari Desa Mandekman, Rawahayu, Kafyamke, dan Nggayu, isu yang muncul lebih kompleks. Mereka menyoroti alih fungsi lahan tanah adat menjadi perkebunan sawit, yang berlangsung secara bertahap dan sering kali tanpa kesepakatan yang jelas. Para ketua marga menekankan pentingnya penegasan tapal batas oleh pemerintah daerah, karena di lapangan sering terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan antara masyarakat adat dan perusahaan.
Selain itu, muncul pula kekhawatiran terhadap alih fungsi hutan menjadi lahan sawit dan pertambangan, yang tidak hanya mengancam ekosistem lokal, tetapi juga menghapus ruang-ruang tradisional tempat masyarakat biasa berburu, mengambil kayu, dan melaksanakan upacara adat. Beberapa peserta juga menyoroti alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan, serta pergeseran lahan ulayat menjadi kawasan permukiman akibat meningkatnya jumlah pendatang dan pembukaan jalan baru.
Saat mereka satu per satu menjelaskan isu-isu tersebut di depan peta, suasana ruangan berubah hening. Setiap garis yang mereka gambar di peta terasa seperti jejak pengalaman jejak kehilangan ruang dan identitas. Saya mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat setiap istilah lokal yang mereka sebut, dan mencoba memahami bagaimana pergeseran ruang telah mengubah kehidupan mereka.
Di momen itu saya kembali teringat kata-kata Pak Marthen beberapa hari lalu:
“Ruang itu juga ingatan.”
Dan memang benar. Dari peta yang kini penuh coretan dan tanda panah, saya melihat bukan sekadar data, melainkan ingatan kolektif masyarakat tentang perubahan yang mereka alami perubahan yang ingin mereka pahami dan perjuangkan bersama.
Menjelang siang, suasana diskusi mulai mereda. Di peta besar yang terbentang di meja, kini tampak coretan-coretan tangan masyarakat garis batas, tanda lingkaran, dan panah-panah yang menandai lokasi-lokasi penting: sungai, hutan, kebun, dan wilayah adat. Peta itu tampak semrawut, tetapi di dalamnya tersimpan narasi ruang yang hidup, hasil dari pandangan dan pengalaman nyata masyarakat setempat.
Saya menutup sesi dengan ucapan terima kasih.
“Saya sangat berterima kasih kepada bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian,” saya berkata dengan nada pelan namun tegas. “Apa yang disampaikan hari ini sangat berharga. Semua masukan akan kami dokumentasikan, dan kita akan bertemu kembali pada pertemuan berikutnya untuk membahas hasilnya bersama.”
Beberapa ketua marga mengangguk sambil tersenyum. Seorang bapak dari Desa Rawahayu menepuk pundak saya pelan, “Yang penting, kami mau diajak bicara seperti ini. Supaya kami juga tahu ke mana arah tanah ini nanti.”
Kalimat itu sederhana, tapi menyentuh hati saya. Karena di baliknya ada harapan besar agar suara mereka tidak sekadar didengar, tapi benar-benar menjadi bagian dari keputusan ruang. Sebelum acara ditutup masing-masing perwakilan dari Marga dan Desa menandatangi berita acara kesepakatan hasil dari diskusi tadi
Setelah acara ditutup, kami berfoto bersama di depan aula kelurahan. Latar belakangnya sederhana tembok bercat kuning pudar dan bendera merah putih yang berkibar di tiang bambu. Namun senyum mereka lebar, penuh kebanggaan. Ada rasa kepercayaan yang tumbuh perlahan di antara kami.
Sore itu, ketika matahari mulai condong ke barat, kami kembali menuju rumah Pak Wiryo. Jalan yang kami lewati kini terasa berbeda. Pemandangan kebun sawit, hutan yang tersisa, dan sungai yang berkelok kembali menjadi bahan renungan. Setiap tempat yang kami lihat terasa mengandung cerita dari suara-suara yang baru saja kami dengar di aula tadi.
Di beranda rumah, saya duduk sejenak sambil membuka buku catatan lapangan. Suara anak-anak bermain di kejauhan terdengar samar, diselingi kokok ayam dan bunyi angin menerpa pepohonan. Saya menuliskan refleksi kecil:
“Ruang bukan sekadar bentang fisik yang bisa diukur dengan peta. Ia adalah wadah ingatan, tempat nilai dan harapan hidup berdialog. Dalam perencanaan, tugas kita bukan hanya menggambar batas, tapi menemukan kembali hubungan antara manusia dan tanahnya.”
Langit Ulilin sore itu berwarna jingga keemasan. Dari kejauhan, tampak kabut tipis naik dari arah sungai. Di tengah kesunyian, saya merasa telah menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar pertemuan teknis sebuah pemahaman bahwa setiap garis di peta sejatinya adalah kisah hidup manusia yang menempatinya.
Sore hari kami menikmati kopi dan makanan ringan yang kami bawa dari Merauke, juga beberapa hidangan yang telah disiapkan oleh tuan rumah. Suasana terasa santai; angin sore berhembus lembut dari arah kebun, membawa aroma tanah basah yang khas setelah hujan pagi tadi.
Tiba-tiba salah seorang staf, Erland yang biasa saya panggil Mas Erland, karena sudah menjadi kebiasaan saya memanggil yang lebih muda dengan sebutan Mas datang menghampiri sambil membawa piring kecil. “Bu, coba ini, cilok. Ada yang jual keliling tadi,” katanya dengan nada antusias.
Saya terkejut. “Lho, di sini juga ada cilok?” tanya saya sambil tertawa kecil. Di tempat sejauh ini dari Bandung, saya tidak menyangka bisa menemukan jajanan khas kampung halaman. Saya pun mengambil satu dan mencicipinya. Rasanya enak, gurih seperti biasanya, tapi ada sesuatu yang berbeda. “Dagingnya agak kenyal ya, Mas… ini daging rusa ya?”
Mas Erland tersenyum kecil. “Bukan, Bu… itu daging kasuari.”
Saya langsung terdiam, bahkan sempat berdiri karena kaget. “Daging kasuari?” saya mengulang pelan. Dalam bayangan saya, muncul sosok burung kasuari yang elok, dengan bulu tebal dan warna biru-hitam yang memukau. Rasanya campur aduk antara tak percaya dan tak tega.
Saya kembali duduk perlahan, menatap sisa cilok di piring sambil tersenyum getir. Dunia memang selalu punya caranya sendiri memberi kejutan, pikir saya dalam hati. Dan sore itu, di sebuah rumah sederhana di pinggiran Ulilin, saya merasa kembali diingatkan bahwa setiap tempat memiliki rasa, kebiasaan, dan cerita yang tak bisa ditebak seperti secuil daging kasuari yang diam-diam mengajarkan tentang perbedaan dan penerimaan.
Menjelang malam, udara Ulilin terasa lembap dan sunyi. Hujan yang turun sebentar sore tadi menyisakan aroma tanah basah yang pekat, menyelinap lewat celah-celah dinding papan rumah. Lampu di dapur masih menyala redup, sementara dari kamar terdengar suara percakapan lirih anggota tim yang mulai bersiap untuk tidur.
Bu Sri tampak membereskan piring dan gelas di meja makan. Saya menghampirinya untuk membantu, tapi seperti biasa, beliau menolak dengan senyum hangat. “Sudah, Mbak Eva istirahat saja. Besok pasti capek lagi,” katanya lembut. Ada sesuatu yang menenangkan dalam cara ia berbicara seperti seorang ibu yang sudah terbiasa menenangkan anak-anaknya.
Pak Wiryo duduk di teras, menyalakan rokok lintingannya sambil menatap ke arah jalan tanah di depan rumah. “Dulu waktu pertama kali datang ke sini,” katanya tiba-tiba, “belum ada listrik, belum ada jalan begini. Semua masih hutan.” Ia bercerita bagaimana mereka membangun rumah ini sedikit demi sedikit, menebang kayu sendiri, menanam singkong dan jagung untuk makan sehari-hari.
Saya mendengarkan dalam diam. Dari caranya bercerita, saya bisa merasakan bagaimana perjuangan itu menjadi bagian dari napas kehidupan mereka. Di antara suara jangkrik malam, percakapan itu seperti mengalir ke ruang yang lebih dalam tentang keteguhan, kehilangan, dan harapan.
Sebelum tidur, saya mencatat beberapa hal di buku kecil yang selalu saya bawa. Di halaman terakhir saya tulis satu kalimat:
“Ruang bukan hanya soal batas dan fungsi. Ia juga ingatan tentang mereka yang datang, menetap, dan bertahan.”
Lampu dimatikan. Hanya suara serangga malam yang menemani. Di tengah sunyi itu, saya merasa bahwa tugas kami di sini bukan sekadar membuat peta, melainkan mencoba memahami cerita di balik setiap jengkal tanah yang kami injak.
Sore di Ulilin terasa begitu tenang. Matahari perlahan tenggelam di balik barisan pohon sawit, meninggalkan cahaya jingga yang lembut di dinding rumah kayu tempat kami menginap. Suara anak-anak bermain di jalan tanah merah mulai mereda, berganti dengan bunyi cengkerik dan desir angin yang membawa aroma sisa hujan siang tadi.
Saya duduk di beranda, menatap langit yang berangsur gelap. Di dalam rumah, Bu Sri sedang menyiapkan makan malam, sementara Pak Wiryo bercerita tentang tahun-tahun pertama mereka datang ke tanah ini tentang lumpur, ketakutan, dan harapan yang tidak pernah padam. Di antara kata-kata mereka, saya menangkap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kisah transmigrasi: ini adalah kisah tentang bertahan dan belajar hidup berdampingan.
Di luar, kehidupan tampak sederhana. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada dinamika yang kompleks antara masyarakat adat dan pendatang, antara negara dan tanah ulayat, antara pembangunan dan keberlanjutan. Semua tersusun seperti lapisan-lapisan tanah di bawah kaki kami, yang perlahan membentuk wajah baru dari ruang hidup bersama.
Saya teringat dialog siang tadi di kantor kelurahan, ketika salah seorang kepala marga berkata pelan, “Ruang itu juga ingatan.” Kalimat itu menancap dalam. Sebagai perencana, saya terbiasa melihat ruang dari garis dan angka, dari fungsi dan zonasi. Tapi di Ulilin, ruang memiliki makna yang lebih luas: ia menyimpan memori, identitas, dan bahkan luka yang tidak selalu tampak di peta.
Malam semakin larut. Lampu-lampu rumah satu per satu padam, meninggalkan bintang-bintang yang terang di langit Papua. Saya menutup buku catatan lapangan, menyadari bahwa pekerjaan kami baru dimulai.
Esok hari kami akan menelusuri tepian sungai dan kebun sawit tempat di mana ruang, air, dan manusia saling bertemu dan bertabrakan. Namun sebelum itu, malam ini saya ingin mengingat kembali kehangatan kampung ini: suara sendok yang beradu di dapur, tawa kecil anak-anak, dan rumah kayu yang menjadi simbol keteguhan di antara dua dunia.
“Di tanah baru ini, manusia tidak hanya membangun rumah, tetapi juga menanam makna tentang hidup, ruang, dan kebersamaan.”
Kreator : Eva Siti Sundari (evoy1972)
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Bab II -Kampung Transmigrsi dan Cerita Tanah Baru
Sorry, comment are closed for this post.