
Pagi itu, perjalanan kami dimulai dengan langkah pelan menyusuri jalan tanah yang masih basah oleh hujan malam. Udara terasa lebih berat dibanding hari sebelumnya seakan membawa pertanda tentang kisah yang akan kami temui di balik barisan pohon sawit yang menjulang. Matahari baru saja naik, dan sinarnya memantul di genangan air, menampakkan jejak banjir yang belum sepenuhnya hilang.
Dari kejauhan, hamparan sawit tampak teratur seperti barisan tentara: rapat, seragam, dan dingin. Namun semakin kami mendekat, keseragaman itu justru memperlihatkan ketidakwajaran. Di tanah yang dulu diceritakan para kepala marga sebagai kampung sagu dan rawa hidup, kini hanya tersisa garis-garis panjang akar sawit yang memakan ruang tanpa suara.
Kami menelusuri jalan rusak yang semalam dilalui truk hasil panen, melewati jembatan darurat dari batang kelapa yang dibangun seadanya oleh warga. Drainase sebagian tertutup lumpur, sebagian lagi berubah menjadi kolam kecil yang memantulkan raut wajah kami saat menengok ke dalam. Di titik inilah, aku menyadari: bukan hanya air yang berubah alirannya, tapi juga kehidupan yang menggantung padanya.
Di tengah survei, tim kami berdiskusi kecil tentang rencana tata ruang, tentang drainase yang harus diperbaiki, tentang kontur tanah yang tidak lagi sama. Iwan mengecek GPS, Hafidz memastikan data elakusi, sementara Dian sibuk menggambar sketsa bentuk jalan ideal. Di sela-sela itu, aku bertanya pada diri sendiri di mana batas antara perencanaan yang ideal dan kenyataan yang tak bisa dihindari?
Rawa yang mengering, sungai yang berpindah alur, sawit yang terus merangsek: semua ini bukan hanya fenomena ekologis, tetapi juga potret benturan ruang yang memengaruhi nasib banyak orang. Setiap langkah yang kami ambil terasa seperti menjejak sejarah perubahan lanskap perubahan yang sering kali lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk menyesuaikannya.
Dan di titik inilah aku memahami: pembangunan tidak hanya menciptakan ruang baru, tetapi juga meninggalkan jejak kehilangan yang diam-diam tumbuh di hati manusia dan di tubuh alam.
Dengan catatan lapangan yang mulai penuh, kami melanjutkan perjalanan. Di depan sana, antara sawit dan sungai, terbentang kisah yang lebih rumit daripada yang terlihat di peta kisah tentang ruang yang diperebutkan, air yang menghilang, dan harapan yang tetap bertahan di sela-sela akar pohon.
Hari Kedua
Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya. Udara Ulilin terasa sejuk dan bersih, seperti udara yang sudah lama hilang di kota-kota besar. Setelah sholat subuh, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sebelum sarapan. Jalan di depan rumah masih berupa tanah merah yang basah oleh embun, dengan jejak roda motor yang tertinggal di atasnya. Di kejauhan, suara ayam dan burung hutan bersahutan, menandai awal hari di kampung ini.
Aku berjalan perlahan sambil menikmati suasana. Mata aku tiba-tiba tertarik pada sosok seorang bapak dan istrinya yang sedang memetik sayuran di halaman rumahnya. Tanaman sawi dan kangkung tumbuh rapi di bedengan kecil yang dibuat dari papan kayu bekas. Aku menyapanya dengan senyum, dan ia menjawab ramah, “Pagi, Bu.”
Kami pun berbincang. Dari ceritanya, aku tahu bahwa beliau juga seorang transmigran, berasal dari Jawa Tengah. Sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di sini bersama keluarganya. “Sayur ini buat makan sehari-hari, Bu,” katanya sambil tersenyum. “Kalau lebih, ya kadang dijual ke tetangga atau di pasar kecil dekat jalan besar.”
Aku bertanya pelan, “Bagaimana hubungan bapak dan warga transmigran lain dengan masyarakat asli di sini? Pernah ada konflik?”
Beliau menggeleng pelan. “Tidak pernah, Bu. Kami semua hidup dengan tenang di sini. Orang kampung asli baik-baik, mereka juga sering bantu kalau ada acara. Kami saling menghargai.”
Aku mengangguk, mendengarkan dengan hati hangat. Ada ketenangan dalam jawabannya, seperti akar yang sudah menancap dalam di tanah baru tidak hanya hidup, tapi juga menyatu.
Udara pagi semakin terasa segar. Aku melanjutkan langkah perlahan kembali ke rumah, sambil berpikir tentang betapa kuatnya manusia dalam beradaptasi, menemukan rumah di tanah yang dulu asing, dan menumbuhkan kehidupan di antara segala perbedaan
Setelah sarapan sederhana bersama tim dan keluarga Pak Wiryo, kami bersiap untuk kegiatan survei lapangan. Matahari mulai naik perlahan, menembus sela pepohonan kelapa dan pisang di sekitar rumah. Jalanan tanah merah yang semalam lembap kini mulai mengering, meninggalkan debu halus yang berterbangan setiap kali kendaraan melintas.
Kami menaiki mobil dinas menuju beberapa titik lokasi di sekitar Distrik Ulilin. Rute pertama adalah kawasan yang berbatasan langsung dengan perkebunan sawit. Di sisi kiri jalan, hamparan tanaman sawit tampak seragam, sejauh mata memandang. Namun di sela-selanya, aku melihat sisa-sisa pohon hutan yang masih berdiri seperti saksi sunyi dari perubahan besar yang pernah terjadi di sini.
Ketika kami tiba di tepian Kali Kombe, pemandangan itu membuat langkah aku terhenti. Sungai yang disebut warga dulunya lebar dan dalam, kini mengecil menjadi cekungan besar yang nyaris tanpa aliran. Di dasar sungai, puluhan batang pohon tua tergeletak seperti tulang belulang raksasa, sebagian tersangkut, sebagian tertimbun pasir yang terbawa erosi dari kebun sawit di hulu.
Iwan berjalan di depan dengan GPS tergantung di leher, sementara Hafidz mengikuti sambil memeriksa peta cetak yang semalam kami tandai dengan garis-garis merah. Dian mengambil foto dan mencatat perubahan kontur tanah. Aku sendiri berjalan pelan di belakang mereka, memperhatikan setiap detail yang mungkin terlewat: bau lumpur yang pekat, suara ranting yang patah, dan bayangan batang-batang pohon mati yang terpaku di aliran sungai kering.
Di sisi sungai, sampah plastik menyangkut di rerumputan sisa kemasan, botol air, dan potongan barang yang tak lagi bisa dikenali. “Tidak ada TPS di sini,” kata Iwan pelan. “Tidak ada pilihan lain bagi warga selain buang ke sungai.”
Aku mengambil beberapa foto, lalu menunduk. Di tempat ini, hilangnya ekosistem terasa nyata. Tidak perlu data rumit untuk melihat bahwa air kehilangan arahnya.
Kami berhenti di tepi sungai kecil yang oleh warga disebut Kali Kombe. Airnya tampak keruh kecokelatan. Aku mencatat kondisi sungai itu dalam buku lapangan: warna air, lebar sungai, dan aktivitas masyarakat di sekitarnya. Dari hasil diskusi kemarin, inilah salah satu titik yang disebut warga mengalami pencemaran akibat aktivitas perkebunan.
Mas Erland dan dua orang staf lain mulai mengukur lebar aliran sungai dan mencatat koordinat titik sampel. Aku berbincang dengan seorang bapak yang kebetulan lewat membawa hasil kebun. Ia mengatakan bahwa dulu air sungai ini jernih dan bisa diminum langsung. “Sekarang sudah tidak, Bu,” katanya. “Kalau musim hujan, airnya bau dan banyak buihnya.”
Saat tiba di Kali Kombe, aku sempat terdiam cukup lama di tepiannya. Sungai itu sebenarnya cukup besar, namun kini alirannya tampak kecil, hampir mengering di beberapa bagian. Di dasar sungai terlihat banyak batang-batang pohon tumbang yang terbawa arus dan tersangkut di antara batu-batu besar. Pemandangan itu membuat aku membayangkan betapa derasnya aliran air di musim hujan sekaligus betapa rapuhnya kondisi sungai ini di musim kemarau.
Mas Erland memotret beberapa sudut sungai, sementara aku mencatat kondisi fisik dan aktivitas di sekitarnya. Di beberapa titik terlihat tumpukan sampah plastik, botol bekas, dan sisa kemasan rumah tangga yang tersangkut di akar-akar pohon di tepi sungai. Bau lembap bercampur dengan aroma sisa bahan organik yang membusuk.
Seorang ibu yang sedang melintas dengan ember di tangan berhenti sejenak di dekat kami. Ia berkata, “Kalau air sedang banyak, sampahnya hanyut semua ke bawah. Di sini tidak ada tempat buang sampah, Bu.” Kalimat itu sederhana, tapi mencerminkan persoalan yang lebih dalam bukan semata soal perilaku, tapi juga tentang ketiadaan sistem pengelolaan lingkungan yang memadai.
Aku menulis di catatan lapangan:
“Kepedulian masyarakat terhadap sampah masih rendah bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena tidak adanya fasilitas pendukung seperti TPS atau pengangkutan rutin. Sungai menjadi tempat pembuangan terakhir yang dianggap ‘alami’, padahal justru menjadi korban dari kebiasaan tanpa pilihan.”
Aku berdiri kembali menatap sungai yang nyaris kering itu. Di bawah teriknya matahari Ulilin, Kali Kombe terasa seperti cermin memantulkan gambaran hubungan manusia dan alam yang mulai renggang, perlahan-lahan kehilangan keseimbangannya.
Dari Kali Kombe kami melanjutkan perjalanan menuju area tapal batas antara tanah adat dan kawasan perkebunan sawit. Jalan menuju lokasi itu sempit dan tidak sepenuhnya beraspal; sebagian masih berupa tanah dengan batu-batu besar yang menonjol di permukaannya.
Di sinilah persoalan tapal batas sering muncul, seperti yang terungkap dalam FGD kemarin. Seorang kepala marga yang menemani kami berkata pelan, “Tanah ini bukan sekadar lahan, Bu. Ini bagian dari kami.”
Ketika kami tiba di lokasi, beberapa warga sudah menunggu. Di antara mereka ada kepala marga setempat, yang kemudian menjelaskan situasi di lapangan. Ia menunjuk ke arah jalan tanah yang membelah area perkebunan. “Dulu jalan ini kami gunakan untuk ke kebun dan ke kampung seberang,” katanya, “tapi sejak lahan ini dikelola perusahaan, kami tidak boleh lagi lewat. Katanya, ini sudah masuk wilayah konsesi mereka.”
Menurut cerita warga, pernah terjadi perselisihan antara kelompok masyarakat adat dengan pihak perusahaan sawit ketika warga memaksa melewati jalan tersebut untuk membawa hasil panen. Perusahaan menuduh mereka melanggar batas area konsesi, sementara warga menegaskan bahwa jalan itu sudah ada jauh sebelum perusahaan datang. Sejak saat itu, hubungan kedua pihak menjadi renggang.
Aku berdiri di titik yang mereka maksud, memperhatikan garis imajiner yang disebut “batas”. Tidak ada pagar, tidak ada tanda khusus, hanya deretan pohon sawit di satu sisi dan hamparan semak di sisi lain. Namun di antara dua ruang itu, ada perbedaan makna yang sangat dalam bagi perusahaan, ini wilayah produksi; bagi masyarakat, ini tanah warisan leluhur.
Aku mencatat dalam buku lapangan:
“Persoalan akses jalan menunjukkan bagaimana ruang menjadi arena konflik makna antara kepentingan ekonomi dan hak kultural. Ruang fisik yang seharusnya menghubungkan justru menjadi pemisah ketika definisi kepemilikan tidak berpihak pada keseimbangan sosial.”
Kadang aku berpikir: ruang hidup seseorang tidak hilang dalam sekejap. Ia hilang perlahan pelan sekali seperti air yang menyusut dari sungai Kali Kombe, seperti rawa yang mengering tanpa suara.
Dan hari ini aku menyaksikan itu dalam bentuk paling kasarnya: sebuah portal besi.
Portal yang berdiri begitu kokoh, begitu pasti, seolah mengatakan:
“Yang di dalam milik kami. Yang di luar terserah kalian.”
Sederhana. Dingin. Tanpa hati.
Aku berdiri cukup lama di depan portal itu. Lebih lama dari yang seharusnya.
Sampai aku merasa tanah merah di bawah kakiku seperti berdenyut seperti sedang mengingatkan bahwa tanah ini punya cerita jauh lebih tua dari garis batas perusahaan mana pun.
Yang membuatku tercekat bukan hanya bahwa masyarakat tidak bisa lewat.
Aku mencoba membayangkan:
Apa rasanya tidak bisa masuk ke hutan tempat ayahmu berburu sejak kecil?
Apa rasanya melihat jalur yang kau buka dengan tanganmu sendiri dikunci oleh orang yang tidak tahu sejarahnya?
Apa rasanya ketika jalan menuju kebun sagu yang menjadi tulang punggung hidup keluargamu tiba-tiba bukan lagi “hak” tetapi “izin”?
Dan lebih menyesakkan lagi adalah ketika semua itu dianggap “masalah kecil” oleh pihak yang menguncinya.
Sebelum meninggalkan lokasi, kepala marga berkata pelan, “Kami tidak menolak pembangunan, Bu. Kami hanya ingin tidak kehilangan jalan kami sendiri.” Kalimat itu terngiang lama dalam kepala aku, bahkan saat mobil kembali melaju di antara deretan sawit yang seolah tanpa ujung.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju kawasan pemukiman lama para transmigran. Di sana, sebagian rumah masih berdinding papan, namun tampak terawat. Beberapa halaman rumah ditanami sayuran, jagung, dan singkong. Aku memperhatikan bagaimana pola ruang kampung ini terbentuk secara alami tanpa perencanaan yang kaku, namun tumbuh sesuai kebutuhan dan hubungan sosial warganya.
Dalam hati aku berpikir, inilah bentuk lain dari perencanaan ruang perencanaan yang tumbuh dari bawah, dari naluri hidup, bukan dari garis-garis di atas peta.
Menjelang siang, kami menutup kegiatan survei di sebuah lokasi yang disebut warga sebagai batas antara tanah adat dan area perkebunan. Di sinilah persoalan tapal batas sering muncul, seperti yang terungkap dalam FGD kemarin. Seorang kepala marga yang menemani kami berkata pelan, “Tanah ini bukan sekadar lahan, Bu. Ini bagian dari kami.”
Setelah mendengarkan penjelasan warga, kami melanjutkan perjalanan untuk melakukan pengukuran jalan dan drainase, yang nantinya akan menjadi bagian dari rencana perbaikan infrastruktur..
Di tengah survei, tim kami berdiskusi kecil tentang rencana tata ruang, tentang drainase yang harus diperbaiki, tentang kontur tanah yang tidak lagi sama. Iwan mengecek GPS, Hafidz memastikan data elakusi, sementara Dian sibuk menggambar sketsa bentuk jalan ideal. Di sela-sela itu, aku bertanya pada diri sendiri di mana batas antara perencanaan yang ideal dan kenyataan yang tak bisa dihindari?
Rawa yang mengering, sungai yang berpindah alur, sawit yang terus merangsek: semua ini bukan hanya fenomena ekologis, tetapi juga potret benturan ruang yang memengaruhi nasib banyak orang. Setiap langkah yang kami ambil terasa seperti menjejak sejarah perubahan lanskap perubahan yang sering kali lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk menyesuaikannya.
Dan di titik inilah aku memahami: pembangunan tidak hanya menciptakan ruang baru, tetapi juga meninggalkan jejak kehilangan yang diam-diam tumbuh di hati manusia dan di tubuh alam.
Dengan catatan lapangan yang mulai penuh, kami melanjutkan perjalanan. Di depan sana, antara sawit dan sungai, terbentang kisah yang lebih rumit daripada yang terlihat di peta kisah tentang ruang yang diperebutkan, air yang menghilang, dan harapan yang tetap bertahan di sela-sela akar pohon.
Tiba-tiba rintik hujan kecil mulai turun, menyentuh tanah dan dedaunan dengan suara lembut. Udara yang sudah segar kini semakin segar dan harum, menguatkan rasa tenang di tengah aktivitas yang padat.
Saat kami berhenti di salah satu titik untuk mencatat hasil pengukuran, aku menatap ke langit. Pelangi muncul tiba-tiba, membentang melengkung dari satu ujung lembah ke ujung lainnya. Warna-warni cahaya itu menembus kabut tipis hujan, memantulkan kilau di permukaan dedaunan dan tanah basah.
Aku terdiam sejenak, kagum. Momen itu terasa seperti hadiah kecil dari alam, mengingatkan bahwa di tengah kerja teknis, survei, dan catatan lapangan, ada keindahan yang sederhana namun luar biasa. Pelangi itu seolah menjadi simbol harapan bahwa meskipun ada konflik ruang, tantangan lingkungan, dan perubahan yang terjadi, selalu ada kemungkinan untuk harmoni dan keseimbangan.
Mas Erland menyela sambil tersenyum, “Cantik ya, Bu?” Aku hanya mengangguk sambil menatap pelangi yang perlahan memudar, berpikir bahwa momen sederhana seperti ini memberi energi untuk melanjutkan pekerjaan dan mengingatkan betapa dekatnya manusia dengan alam di tanah Ulilin.
Sementara Hafidz dan Iwan sibuk dengan alat GPS, mencatat koordinat dan titik-titik ukur, mereka tampak tersadar sejenak ketika melihat pelangi yang membentang di langit. Kedua anak muda itu saling bertukar pandang, tersenyum kecil, seolah momen itu mengingatkan mereka bahwa di tengah kegiatan teknis, ada keindahan yang tidak bisa diukur dengan alat apa pun.
Di sisi lain, Dian, sang arsitek, sibuk dengan pena dan buku catatannya, terus mencoret-coret sketsa sambil menyesuaikan ide dengan kondisi lapangan. Aku menghampirinya dan bertanya, “Dian, sudahkah terbayang bagaimana nanti bentuk jalan, drainase, pembuangan, dan konsep permukiman yang kita bahas kemarin?”
Dian menatap peta di tangannya sejenak, lalu menjawab sambil tersenyum tipis, “Iya, Bu. Sepertinya aku bisa menyesuaikan jalur jalan dengan lereng alami, memanfaatkan drainase yang sudah ada, dan mengatur pembuangan air agar tidak mengganggu rumah warga. Konsep permukiman juga bisa mengikuti pola organik kampung, tetap menghormati akses tradisional, tapi lebih teratur.”
Aku mengangguk puas. Mendengar jawaban Dian membuat aku merasa lega ide perencanaan tidak sekadar teori di atas kertas, tetapi mulai mengalir mengikuti kondisi nyata dan cerita masyarakat. Di saat yang sama, pelangi yang masih terlihat samar di langit seakan memberi pesan: bahwa setiap langkah teknis yang kami ambil harus selaras dengan alam dan kehidupan masyarakat di sekitar.
Kami berhenti sejenak di tepi jalan. Mata aku tertuju pada hamparan sawit yang tampak seragam dan monoton, membentang sejauh mata memandang. Namun di sela-selanya, terlihat bekas kebun sagu yang dulunya dimanfaatkan masyarakat adat. Seorang perempuan adat yang kami temui berdiri di dekat pohon sagu yang tersisa, wajahnya muram.
“Dulu ini kebun keluarga aku,” katanya pelan. “Sekarang sebagian besar berubah menjadi sawit. Kami tidak bisa menanam sagu lagi, tidak ada akses ke tanah itu.”
Sementara itu, tim aku sibuk melakukan pengukuran. Hafidz mencatat kondisi drainase dan lereng tanah, Iwan menandai titik-titik rusak untuk perbaikan, dan Dian membuat sketsa jalur jalan yang memungkinkan perbaikan tetap mempertahankan akses tradisional masyarakat.
Setelah semua pengukuran selesai, kami berhenti sejenak di tepi jalan untuk meninjau catatan dan koordinat yang telah dikumpulkan. Hafidz dan Iwan memeriksa data GPS, memastikan titik-titik lokasi tercatat dengan akurat. Dian membuka buku sketsanya, menyesuaikan skema jalan dan drainase dengan kontur lapangan yang baru saja kami ukur.
Aku berdiri di samping mereka, menatap hamparan sawit dan jalur tanah yang baru kami ukur. Meskipun kegiatan teknis hari itu padat, ada kepuasan tersendiri melihat bagaimana semua unsur mulai terhubung jalan, drainase, pembuangan, dan pola permukiman membentuk kesatuan yang bisa diterapkan di lapangan, sambil tetap menghormati akses tradisional masyarakat.
Rintik hujan yang menyertai kegiatan siang tadi perlahan berhenti, menyisakan tanah yang basah dan aroma segar yang khas. Kami melanjutkan perjalanan pulang, melewati jalanan tanah merah yang kini sedikit licin akibat hujan. Di kejauhan, cahaya matahari sore menembus celah pepohonan, menciptakan bayangan panjang dan lembut di permukaan tanah
Dalam perjalanan pulang, tim duduk di mobil, membahas temuan hari itu. Diskusi internal mulai menyinggung konflik batin: idealisme perencanaan yang ingin memulihkan akses dan ekologi, versus kenyataan ekonomi dan kepemilikan lahan yang kompleks. Dian berkata, “Kalau kita membuat jalan di sini, harus hati-hati. Jangan sampai merusak lahan yang masih bisa dimanfaatkan masyarakat.”
Saat kami berdiskusi di mobil, konflik internal tim muncul. Dian berkata, “Kalau kita membuat jalan terlalu langsung, bisa merusak sisa rawa dan pohon sagu. Tapi kalau menyesuaikan jalur alami, biaya dan waktu meningkat.” Hafidz menambahkan, “Drainase harus efektif, tapi jangan sampai mengganggu akses warga ke kebun.” Iwan mengingatkan, “Sawit ini penting bagi ekonomi, tapi harus ada keseimbangan dengan hak adat.”
Tiba di titik terakhir pengamatan, rintik hujan turun lagi, menyisakan aroma tanah basah. Pelangi muncul lagi, samar, membentang di langit, mengingatkan kami bahwa meski ada konflik, masih ada harapan untuk keseimbangan
Aku merenung di kursi belakang, memperhatikan bayangan sawit yang menari diterpa cahaya sore, sementara air sungai memantulkan langit jingga. Terlihat jelas dua kekuatan yang saling menelan ruang hidup manusia: sawit sebagai kebutuhan ekonomi, air sebagai elemen ekologis yang menentukan kehidupan.
Aku menulis catatan reflektif:
“Di antara sawit dan sungai, manusia terus menyesuaikan diri. Pembangunan menawarkan kesempatan, tapi juga kehilangan. Setiap pohon yang ditebang, setiap aliran air yang tersumbat, meninggalkan jejak yang tak hanya fisik, tapi juga emosional dan budaya.”
Dalam perjalanan, kami saling berbagi catatan dan kesan sementara. Hafidz menyoroti titik-titik yang rawan banjir, sementara Iwan memberi masukan tentang kemiringan drainase yang perlu disesuaikan. Dian menambahkan beberapa ide tentang jalur alternatif untuk akses rumah warga agar tetap aman dan tidak mengganggu kebun atau tanah adat.
Sepanjang perjalanan pulang dari survei, pikiran aku tidak bisa diam. Mobil berguncang pelan mengikuti jalan tanah yang penuh lubang, sementara hujan tipis mulai mengaburkan pandangan ke luar jendela. Di balik kaca yang berembun, aku melihat wajah Ulilin seperti potret yang sedang berubah pelan, tapi pasti.
Aku memikirkan sungai yang kehilangan airnya.
Aku memikirkan hutan adat yang kini tinggal fragmen.
Aku memikirkan pelangi yang tadi muncul di antara sawit dan rawa kering cantik, tapi getir.
Dan di tengah semua itu, aku memikirkan peran kami sebagai perencana.
Sejak awal bekerja di bidang ini, aku percaya bahwa perencanaan adalah jembatan antara ide dan kenyataan; antara kebutuhan manusia dan kapasitas alam. Tapi Ulilin mengajarkan sesuatu yang lebih kompleks: bahwa ruang bukan hanya hasil keputusan teknokratis, melainkan juga arena ingatan, identitas, bahkan luka.
Aku teringat kalimat seorang kepala marga, kemarin di FGD:
“Tanah ini bukan sekadar tempat kami tinggal. Ini tempat kami jadi manusia.”
Kalimat itu kembali menggema seperti bisikan yang mencoba menegur idealisme aku yang selama ini digerakkan oleh peta, data, dan keputusan administratif. Tiba-tiba semua hal yang selama ini terasa jelas dalam dokumen rencana menjadi kabur. Garis batas yang aku gambar bisa menentukan nasib orang lain. Pola ruang yang aku plot bisa mengubah kehidupan seluruh kampung.
Apa yang terjadi jika rencana yang kami buat tidak memulihkan, tapi justru menambah beban bagi mereka?
Dian yang duduk di samping aku tiba-tiba berkata pelan, tanpa menoleh, seakan membaca kegelisahan aku:
“Bu, kadang aku takut… konsep ideal yang kita buat tidak bisa diterapkan di sini, karena kenyataannya terlalu jauh berbeda dari di kertas.”
Aku mengangguk perlahan.
“Perencanaan yang baik bukan yang sempurna di atas kertas,” jawab aku pelan. “Tapi yang tumbuh dari suara orang-orang yang hidup di dalamnya.”
Hafidz dari kursi belakang menimpali, “Berarti kita harus mulai dari mereka, ya?”
“Ya,” jawab aku. “Bukan dari rencana besar, tapi dari ruang-ruang kecil tempat mereka bertahan.”
Dan saat itulah sebuah pemahaman sederhana muncul:
Di Ulilin, pembangunan dan kehilangan bukan dua hal yang terpisah keduanya berjalan bersama, saling mempengaruhi, saling melukai, dan kadang saling memperbaiki.
Aku menarik napas panjang.
Di tanah ini, sebagai perencana, tugas aku bukan memilih siapa yang benar atau salah; tetapi memastikan bahwa ruang hidup ke depan tidak hanya memberi tempat pada pembangunan, tetapi juga pada ingatan, identitas, dan hak untuk bertahan.
Dalam hati aku berjanji:
Bahwa setiap garis yang aku tarik di peta nanti harus memihak pada mereka yang selama ini paling dekat dengan tanah dan paling dekat dengan kehilangan.
Saat matahari tenggelam, kami tiba kembali di rumah Pak Wiryo. Wajah lelah tapi puas. Sesampainya di rumah Pak Wiryo, kami disambut aroma masakan sore yang hangat. Secara spontan, kami duduk di beranda sambil menata peralatan dan catatan. Aku membuka buku lapangan dan menuliskan refleksi hari itu:
“Hari kedua ini mengajarkan bahwa survei lapangan bukan sekadar mengukur fisik, tetapi memahami kehidupan yang melekat pada ruang. Jalan, sungai, dan drainase bukan hanya konstruksi, tapi bagian dari cerita manusia yang tinggal di sini. Pelangi di sore tadi menjadi pengingat: setiap upaya teknis harus selaras dengan alam dan manusia yang menempatinya.”
Malam itu, setelah makan sederhana di rumah kayu Pak Wiryo, kami berkumpul di ruang tengah. Lampu bohlam kecil yang digantung di sudut ruangan memberi cahaya kekuningan yang lembut, cukup untuk membuat kami merasa hangat dan tenang, tetapi tidak cukup untuk mengusir bayangan-bayangan persoalan besar yang baru kami lihat siang tadi. Di luar, hujan tipis turun perlahan, seperti mengetuk atap seng dengan irama yang sabar.
Aku membuka percakapan, menyampaikan apa yang kami temui di lapangan. “Konflik tanah di sini bukan sekadar soal batas,” kataku, “tapi soal cara memahami ruang, sejarah, dan hak hidup.”
Iwan mengangguk, sambil memeriksa catatannya. “Tadi Pak Kepala Marga bilang, batas tanah ulayat mereka sebenarnya jelas dalam ingatan. Tapi tidak ada peta resmi. Selama ini, mereka hanya pakai tanda-tanda alam.”
“Dan perusahaan masuk dengan HGU yang berbasis berkas administratif,” tambah Dian. “Dua sistem pengetahuan yang berbeda bertabrakan.”
Kami terdiam beberapa saat. Di luar, suara kodok mulai terdengar dari arah rawa.
Aku kemudian menjelaskan rangkuman hasil analisis kami kepada tim—dengan kata-kata yang sudah aku pilih hati-hati sejak sore.
“Konflik ini muncul karena tumpang tindih klaim antara hak ulayat masyarakat Malind dan HGU perusahaan sawit. Proses perolehan lahannya dulu tidak sepenuhnya mengikuti prinsip FPIC. Tidak semua marga benar-benar paham isi perjanjian. Ada yang bilang mereka tanda tangan untuk izin menanam sementara, bukan pelepasan lahan.”
Hafidz meletakkan GPS di meja. “Artinya, masalah ini bukan hanya teknis. Ada ketidakseimbangan informasi sejak awal.”
“Dan ketidaksamaan persepsi internal,” timpal Dian. “Beberapa marga setuju, beberapa tidak. Ada pula yang sekadar ikut arus karena merasa tidak punya pilihan.”
Aku melanjutkan, “Akibatnya, bukan hanya hutan adat yang hilang. Sungai berubah. Rawa mengering. Dan sosial mereka terbelah kemandirian ekonomi melemah.”
“Lalu apa yang bisa kita rekomendasikan, teh?” tanya Iwan pelan.
Aku menarik napas panjang. “Penyelesaiannya harus terpadu. Kita butuh pemetaan partisipatif berbasis marga. Audit FPIC. Peninjauan ulang pola kemitraan. Dan yang paling penting: penguatan lembaga adat. Tanpa itu, konflik akan selalu berulang.”
Dian menutup bukunya. “Sebenarnya ini bukan hanya soal tanah,” katanya, suaranya pelan tapi tegas. “Ini soal upaya masyarakat mempertahankan identitas.”
Kata-kata itu membuat aku kembali memikirkan kalimat yang terucap kemarin: “Ruang itu juga ingatan.”
Aku menaruh buku catatan di meja. Hafidz sudah duduk lebih dulu, menyandarkan punggung pada dinding. Iwan masih mengelap tanah merah yang menempel di sepatunya setelah seharian berjalan menyusuri batas HGU yang tak jelas. Peta 1:25.000 yang diremas hujan siang tadi terbentang di lantai warnanya luntur, tapi garis-garis konflik semakin tajam di mata mereka.
“Masalahnya bukan sekadar siapa yang benar,” kata Aku, membuka pembicaraan. “Tapi siapa yang didengar lebih dulu.”
Hafidz mengangguk pelan.
“Dan siapa yang punya dokumen,” tambahnya. “Perusahaan punya HGU. Masyarakat punya ingatan. Pemerintah… ya tergantung siapa yang memegang arsip.”
Iwan menimpali, suaranya rendah.
“Di lapangan tadi, penduduk yang cerita soal sagu itu bukan cuma kehilangan sumber pangan. Itu kehilangan identitas. Tapi di berkas konsesi, itu cuma dianggap ‘lahan semak belukar’. Bahasa peta bisa sangat kejam.”
Aku meremas ujung peta. “Persoalan FPIC itu sebenarnya bukan soal prosedur teknis. Ini soal ketimpangan kuasa. Orang-orang diminta tanda tangan sebelum mereka benar-benar paham apa yang hilang.”
Hafidz memutar bolpoinnya, lalu berkata, “Dan kita datang kesini membawa mandat analisis tata ruang, seolah-olah semua bisa dirapikan dengan matriks dan rekomendasi kebijakan. Tapi di luar sana” ia menunjuk ke arah jendela gelap, “orang-orang bertahan dengan cerita, bukan tabel.”
Iwan menatap dua rekannya. “Aku cuma takut kita membuat laporan yang rapi… tapi tak berguna. Yang formalitas. Yang hanya memperkuat narasi siapa yang paling kuat.”
Aku menarik napas panjang. Ada rasa getir di dadanya.
“Kita tidak bisa menyelesaikan konflik tanah ulayat ini. Tapi kita bisa memastikan cerita-cerita yang kita dengar masuk ke dalam dokumen. Masuk ke peta. Masuk ke ruang yang biasanya steril dari suara manusia.”
Hafidz menegakkan posturnya. “Kita buat dua jalur. Analisis resmi ya, itu wajib. Tapi juga narasi lapangan, pemetaan partisipatif versi masyarakat, dan catatan tentang proses FPIC. Kita tulis apa adanya.”
“Walaupun nanti ada yang merasa itu terlalu kritis?” tanya Iwan.
“Kalau kita diam, itu lebih berbahaya,” jawabku. “Laporan ini tidak akan menghentikan ekspansi sawit, tapi mungkin bisa menggeser sedikit cara orang memandang tanah ini. Sedikit saja pun berarti.”
Hafidz menunjuk salah satu koordinat di peta BIG.
“Menurut dokumen ini, batas Desa X memotong sungai di sini. Tapi di lapangan tadi, tokoh adat bilang batasnya mengikuti punggungan bukit. Dua kilometer bedanya, Aku. Dua kilometer itu bisa berarti ratusan hektar.”
Iwan mendecakkan lidahnya pelan.
“Masalah ini bukan teknis. Ini politis. Kalau batas mengikuti sungai, maka sebagian kebun sagu masuk wilayah desa transmigrasi. Kalau mengikuti punggungan bukit, itu tanah marga. Dan perusahaan memegang HGU berdasarkan batas versi BIG.”
“Ketidaksinkronan batas desa ini seperti akar dari semua konflik,” kata Aku akhirnya.
“Kalau peta administratifnya keliru, maka seluruh proses perizinan keliru. HGU keliru. Kompensasi keliru. Klaim masyarakat dianggap tak sah hanya karena garis di dokumen pusat tidak sama dengan garis yang mereka warisi turun-temurun.”
Hafidz bersandar ke kursinya.
“BIG mengacu pada penegasan batas lama, yang banyak dibuat dari citra satelit tanpa verifikasi. Sementara masyarakat adat mengacu pada noken cerita batas berdasarkan pengalaman ruang, jejak berburu, dan sejarah marga. Dua bahasa yang berbeda.”
Iwan mengangkat peta lapangan mereka tadi.
“Kita sudah cek. Patok batas administratif yang dipasang beberapa tahun lalu sudah tumbang. Ada yang hilang, ada yang bergeser. Dan masyarakat tidak pernah diajak saat pematangannya.”
Aku menatap peta BIG itu lama, hampir seperti memandang luka yang tak bisa ditutup.
“Masalahnya bukan hanya data yang salah,” katanya pelan.
“Masalahnya: keputusan besar dibuat berdasarkan data yang tidak pernah dipertanyakan.”
Hafidz menambahkan dengan nada getir,
“Dan begitu batas itu masuk dokumen resmi, statusnya seperti hukum alam. Padahal itu cuma garis digital.”
Iwan akhirnya memecah keheningan.
“Jadi apa langkah kita? Kalau kita tulis apa adanya, laporan ini bisa bikin gerah banyak orang.”
Aku menutup laptop perlahan.
“Kita tulis. Dengan bahasa yang tepat. Kita beri opsi: verifikasi batas partisipatif, overlay spasial tiga versi batas dari BIG, pemetaan adat, dan realitas lapangan. Kita jelaskan risikonya. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk memperlihatkan fakta.”
“Dan untuk masyarakat?” tanya Hafidz.
“Kita sampaikan bahwa batas bukan sekadar garis,” jawabku. “Ini penentu nasib. Dan tugas kita adalah memastikan garis itu tidak ditarik tanpa mereka.”
Di luar, hujan mulai turun pelan, tapi tebal menampar atap seng seperti ketukan kode Morse. Dan di dalam rumah yang hangat namun gelisah itu, kita bertiga menyadari bahwa konflik batas desa bukan sekadar persoalan kartografi.
Ini adalah persoalan keadilan ruang.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka melihat betapa beratnya tugas yang mereka emban.
Di pangkuanku, peta administratif itu terlipat rapi seakan tak bersalah, seakan bukan ia yang menjadi sumber pertengkaran begitu banyak orang.
Padahal, di balik setiap garisnya, ada cerita yang tidak digambar.
Garis lurus yang memotong rawa yang di atas kertas terlihat sederhana di lapangan berarti kebun sagu milik seorang ibu yang kini tak bisa lagi masuk tanpa izin.
Garis patah yang mengekor Sungai yang mudah diklik di layar computer berarti jalan kecil yang ditutup perusahaan, memaksa anak-anak sekolah memutar lebih jauh.
Garis kotak yang membingkai sebuah konsesi yang tampak rapi dan presisi berarti hutan berburu leluhur seolah lenyap hanya karena tinta di dokumen negara berkata lain.
Aku meremas tepi peta itu pelan.
Mengapa kehidupan manusia bisa ditentukan oleh garis-garis yang digambar oleh orang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah ini?
Garis yang tidak mencium bau tanah lembab Ulilin.
Garis yang tidak tahu rasa takut ketika mendengar cerita orang kehilangan ruang hidupnya.
Garis yang tidak melihat mata perempuan adat ketika mengenang pamali yang kini tinggal nama.
Aku pernah percaya bahwa perencanaan adalah soal rasionalitas, logika, dan data. Tapi malam itu aku sadar: perencanaan juga adalah tentang mendengarkan sunyi, suara yang sering tidak masuk dalam tabel dan laporan.
Dan tiba-tiba aku merasa kecil sekali seperti tak lebih dari sebutir pasir di sungai yang mengering.
Hujan kembali turun pelan. Dari balik tirai air itu, aku teringat perkataan seorang tetua adat siang tadi:
“Ibu, batas itu bukan garis. Itu cerita. Kalau cerita kami tidak ikut digambar, garis itu tidak sah.”
Mungkin itulah yang selama ini hilang dari banyak proses pembangunan: cerita yang tidak didengar.
Aku menatap peta itu lama sekali, berpikir bahwa pekerjaan kami bukan hanya menggambar ulang batas, bukan hanya membuat rekomendasi, bukan hanya memberi tanda pada koordinat.
Pekerjaan kami adalah mengembalikan manusia ke dalam peta.
Karena tanpa manusia dan kisahnya, peta hanyalah kertas kosong yang menyamar sebagai kebenaran.
Dan malam itu, di tanah Ulilin yang basah dan sunyi, aku merasa garis-garis itu tidak lagi netral. Mereka hidup, mereka punya kuasa. Dan tugas kami adalah memastikan kuasa itu tidak merampas yang seharusnya dilindungi.
Di tengah malam yang sunyi, aku merasa peran kami jauh lebih besar dari sekadar membuat rencana teknis. Kami sedang menulis ulang cara orang memahami masa depan mereka di tanah yang menyimpan begitu banyak cerita, luka, dan harapan.
Dan dalam hati, aku tahu: pekerjaan kami di Ulilin baru dimulai.
Aku duduk di beranda, menatap gelapnya malam Ulilin. Suara katak dan gemericik air dari rawa yang tersisa mengisi ruang. Aku menyadari, tugas kami bukan sekadar membuat peta atau jalan, tetapi memahami dinamika yang hidup di antara sawit dan sungai di mana manusia, alam, dan pembangunan saling bertaut dan terkadang bertabrakan dan di dalam hati aku tersimpan satu keyakinan: bahwa pekerjaan kami di Ulilin lebih dari sekadar peta dan angka, tetapi tentang menenun kembali hubungan manusia dengan ruang yang mereka tinggali.
Kreator : Eva Siti Sundari (evoy1972)
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Bab III-Antara Sawit dan Sungai
Sorry, comment are closed for this post.